Untuk Para Anak Hebat, Kami Bersamamu!
Pandemi ini bukan masalah orang dewasa saja. Anak-anak juga sedang berjuang di area perang mereka.
Bertahan. Berjuang. Itulah ”mantra” penguat setelah melalui pandemi selama setahun lebih. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun dituntut menyesuaikan diri, bahkan melampaui ambang batas fisik maupun psikis mereka. Masa tumbuh kembang yang berwarna dan kesempatan mencicipi aneka pengalaman dipaksa berlangsung di balik dinding rumah.
Ini, antara lain, dirasakan Brea (11), pelajar Kelas VI SD di Cilandak, Jakarta Selatan. Ia tidak mengira pengumuman sekolah daring selama dua pekan pada pertengahan Maret 2020 itu ternyata tak berkesudahan. Semula ia sempat bahagia.
”Sekarang saya merasa sedih karena sampai sekarang belum kembali ke sekolah,” kata Brea saat dihubungi, Kamis (22/7/2021).
Bersama kakaknya, Blair (12), kelas VII, siswa yang fasih berbahasa Inggris ini berjibaku untuk melalui tiap kelas daring yang kian hari dirasa kian membosankan. Sekolah yang dimulai sejak pukul 07.30 WIB hingga 16.30 terasa lambat.
Terkadang ia sengaja mematikan fitur kamera untuk bermain gim, sosial media, atau mengintip Youtube tanpa diketahui guru atau teman sekelasnya. Hal ini berdampak pada nilainya. ”Sebelumnya nilaiku selalu A, sekarang nilaiku menurun jadi B dan C,” katanya.
Sementara itu, Blair merasa mudah bosan dan lelah. Aktivitas belajar, bermain, dan beristirahat yang nyaris dihabiskan sambil tiduran membuatnya mati gaya untuk melepas penat. Ia juga merasa sukar memperoleh penjelasan yang optimal terkait pelajaran yang kurang dipahaminya. Interaksi sosial dengan teman-temannya juga hilang.
Pengalaman lain dialami Bilva Rizkia (15). Orangtua Bilva memindahkan pendidikannya dari pesantren di Cikarang, Bekasi, ke SMP Negeri ketika pandemi. Saat itu, ia baru naik ke Kelas IX. Sistem pembelajaran jarak jauh yang diterapkan akibat dari kebijakan penjarakan sosial berjilid-jilid membuatnya tak sempat berteman akrab dengan teman-teman barunya, sampai dirinya lulus dan melanjutkan ke Madrasah Aliyah.
Bilva ingin segera bisa pergi ke sekolah. Namun, akhir Juni 2021, ia terpapar Covid-19. Kompleks rumahnya berstatus zona merah karena 14 keluarga yang tinggal di perumahan itu teinfeksi. Kali ini, ia harus melakukan isolasi mandiri bersama ayah-bundanya selama 14 hari.
”Bosan minum obat melulu. Kalau sudah bingung mau ngapain, saya paling main hape dan nonton Youtube buat menghilangkan rasa bosan,” tuturnya.
Yang dialami Brea, Blair, dan Bilva menjadi gambaran konsep pembelajaran yang diadopsi saat ini berada pada titik jenuh. Belum lagi, anak-anak yang terkendala fasilitas. Mereka terpaksa tertinggal belajar. Kesenjangan pendidikan tak dapat dihindari.
Selain itu, mereka pun diminta lekas memproses perubahan kondisi sosial ekonomi dengan berbagai alasan. Misal, karena orangtua meninggal akibat Covid-19 atau kehilangan pekerjaan di masa pandemi. Padahal, relasi sosial dengan sebaya yang kadang menguatkan mereka kini terkorbankan. Hal ini makin menekan kesehatan mentalnya.
Dari childmind.org terlihat peningkatan anak-anak yang mengalami gangguan kecemasan hingga depresi di masa pandemi. Sekitar 72 persen mengeluhkan gejala awal sehingga para orangtua juga berburu pertolongan agar tak berlanjut buruk pada kesehatan mental anak.
Melalui laporan Unicef pada November 2020, pandemi ini pun disebut sebagai masa krisis bagi anak-anak. Ancaman lost generation atau hilangnya generasi unggul untuk masa depan berpotensi terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, menyampaikan hilangnya generasi ini memang besar kemungkinan terjadi apabila pandemi tidak tertangani dengan tepat. Masa pascapandemi nanti pun akan menjadi tantangan berat bagi anak-anak. Sebab, kondisi normal yang nanti dijalani seusai pandemi tentu berbeda dengan normal sebelum Covid-19 menyerang.
Saat ini, proses pembelajaran yang tidak optimal dapat mengikis daya kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. ”Dampaknya jangka panjang ini. Hilang generasi bukan semata-mata nyawa, tapi lebih kepada hilangnya daya juang dan motivasi karena kondisi saat ini, efeknya di masa depan,” ujar Syaifudin.
Persoalan mental juga patut diperhatikan untuk mengatasi ancaman hilangnya generasi. Lingkungan eksternal berpengaruh. Untuk itu, keluarga dan kerabat perlu membangun situasi kondusif bagi anak. Hal ini tidak mudah dilakukan oleh tiap keluarga dengan ragam latar belakang.
Menjaga anak
Amelia (42), Mala (44), dan Eriyana (43) adalah tiga ibu yang memilih cara melonggarkan aturan di rumahnya. Mereka menyadari perubahan ritme kehidupan anak-anaknya sejak pandemi. Memarahi mereka tentu bukan jalan keluar karena akan menambah tekanan bagi anak.
Jadwal maksimal dua jam pemakaian gawai tiap akhir pekan atau hari libur yang diterapkan Eriyana, misalnya, berubah. Mala pun membebaskan anaknya bermain gawai karena anaknya tak lagi boleh keluar rumah, terlebih setelah aturan PPKM darurat berlaku.
Untuk urusan sekolah, ketiganya juga menurunkan ekspektasi dengan tidak menuntut anak dan membebaninya. Mereka pun lebih fokus pada pemenuhan nutrisi dan kesehatan, dari makanan pokok, kudapan, hingga vitamin yang tak boleh terlewatkan. ”Termasuk agak longgar urusan boba-bobaan,” ujar Eriyana seraya terkekeh.
Pertarungan melawan Covid-19 sempat dijalani Eriyana dan anak-anak. Mereka harus isolasi mandiri. Meski berhasil melaluinya, Eriyana sempat down hingga kadang menangis seorang diri. ”Anak-anak mungkin selama serumah sudah recovery bisa balik biasa. Nah, kalau ada satu yang kalah battle lawan Covid-19, apalagi pencari nafkah utama, mungkin itu berpengaruh psikis banget,” katanya.
Itu yang dihadapi Rambu Modiu (46), akrab dipanggil Adie. Ia terpaksa menjadi orangtua tunggal untuk dua anaknya setelah kepergian mendadak suaminya akibat hipertensi di masa pandemi. Pekerjaannya di sebuah klinik kesehatan mengharuskannya meninggalkan anak tanpa pendamping di rumah saat hari kerja.
”Pasti sedih karena mereka tanpa pendamping. Tapi, semua masalah ada sisi positifnya. Mereka sekarang lebih mandiri dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas. Itu terlihat dari hasil belajar mereka yang sangat baik baru-baru ini,” kata Adie.
Kesehatan fisik dan mental anak-anak selalu diutamakannya. Selain mencukupi asupan gizinya, Adie selalu punya waktu untuk berbagi cerita kegiatan selama sehari dengan anak-anaknya. Kedua buah hatinya pun mendapat ruang berkeluh kesah tentang peristiwa hari itu, dari urusan di rumah hingga sekolah.
Momen berbincang dengan anak ini juga rutin dilakukan para pengasuh di Yayasan Sayap Ibu Jakarta. Atie Subiyanto, pengelola yayasan, menyampaikan hal ini cukup efektif untuk mengelola kondisi psikologis anak di tengah pandemi. Apalagi, dari 26 anak yang tinggal di panti ini, sebagian besar merupakan anak berkebutuhan khusus.
”Mereka jadi lebih sensitif. Gampang marah, gampang nangis. Maunya terus ditemani. Pengasuh yang ada pun memahami sehingga ekstra memberikan yang dibutuhkan. Jumlah pengasuh dengan anak-anak ini justru lebih banyak yang mendampinginya,” ujar Atie.
Pendidikan mereka pun tetap berjalan secara daring meski perangkat yang digunakan kadang bergantian atau memanfaatkan milik pengasuh. Kadang mereka juga diajak berkeliling dengan mobil panti untuk menghilangkan bosan. ”Tidak turun. Itu juga dijadwal misal hanya delapan anak dulu. Besok gantian,” ungkap Atie, yang juga bergantung pada donasi dari para dermawan untuk mencukupi nutrisi harian dan obat anak-anak.
Psikolog anak dari Pusat Konsultasi dan Informasi Psikologi TigaGenerasi Fathya Artha Utami menjelaskan pentingnya saling berbincang untuk mengomunikasikan emosi dan perasaannya saat pandemi. Keterbukaan antara anak dan orangtua di masa sulit seperti ini akan memberikan kekuatan bagi untuk bertahan, baik bagi anak maupun orangtua.
Emosi diri pun perlu dikenali lebih dalam saat pandemi. ”Kalau orangtua takut, sedih, dan letih, anak juga merasakannya. Sama. Jadi kalau anak tantrum atau nangis enggak selesai-selesai. Coba selami lagi pikiran anak. Tanyakan perasaannya,” ujar Fathya.
Orangtua pun diminta diam sejenak jika menghadapi kondisi yang tak mengenakkan di rumah, termasuk saat berhadapan dengan anak. Dengan demikian, orangtua dapat memberi respons yang tepat kepada anak daripada sekadar marah-marah yang memperburuk situasi.
Pandemi ini bukan masalah orang dewasa saja. Anak-anak juga sedang berjuang di area perang mereka. Rangkul dan peluklah! (DNA/LSA/DOE/BSW/BAY)