Mari Dengarkan Suara Mereka
Selama ini suara anak-anak jarang dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan atas keputusan terkait pandemi 2021. Padahal, mereka termasuk yang paling merasakan dampaknya. Sekarang, waktunya mendengar suara mereka.
Siapa tak rindu mendengar gelak tawa anak-anak? Celotehan yang kerap tak disangka, tetapi jujur apa adanya. Gedung sekolah kini senyap tanpa mereka. Arena bermain kehilangan nyawa. Taman kosong tanpa jejak dari para penguasa kecil yang gemar berlari melepaskan bahagianya.
Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli kembali sepi. Perhelatan virtual dengan maksud memberikan penghiburan tetap tak mampu mengalahkan jemu anak-anak yang harus berdiam diri di rumah. Mereka diminta untuk mengerti kondisi yang belum sepenuhnya mereka pahami.
Suara mereka layak didengar. Ini bukan keluh kesah. Ini balon-balon harapan dengan asa yang besar agar dunia terlahir lagi lebih baik dan lebih aman bagi mereka untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Berikut yang mereka ungkapkan.
Rafael Umbu RE Hutahaean (13), Serua, Ciputat
Waktu mulai belajar di rumah, awalnya senang saja karena katanya cuma dua minggu, tapi ternyata bablas sampai hampir dua tahun. Jadinya sedih, aku enggak ngerasain ujian akhir di sekolah terus lulus SD ”jalur covid”. Terus nyesel enggak bisa kamping di vila gitu. Kalau enggak ada covid, aku pasti bisa liburan. Sekarang aku sudah kelas II SMP.
Selama pandemi ini, aku kena covid dua kali. Pertama, tahu positif itu aku nangis karena takut nularin Papa dan Mama. Tapi Mama bilang nilai CT-ku tinggi dan aku juga OTG, jadi aku enggak rasa apa-apa dan happy aja. Banyak istirahat, jaga jarak, dan minum vitamin terus sembuh.
Tahun ini, aku juga sedih banget. Gara-gara covid dan ada sakit autoimun, aku enggak boleh temenin Papa di rumah sakit. Kalau enggak ada covid, aku pasti bisa lihat Papa untuk terakhir kalinya. Pas Papa enggak ada, aku sedih. Tapi, habis itu Mama kena covid, terus aku kena covid untuk kedua kalinya. Akhirnya, kita berusaha happy biar enggak makin sakit. Aku nonton Youtube, istirahat, dan nonton yang lucu-lucu sampai sembuh.
Harapan aku, covid bisa hilang secepatnya. Aku udah rindu main sepak bola bersama teman-teman di sekolah. Kalau di rumah, aku buat bola dari sisa-sisa kertas yang aku lipat. Biasanya aku main sendiri, soalnya Kakak Kezia lebih suka senam.
Egia Avara Medina (7), Tangerang Selatan, Banten
Covid-19 itu virus berbahaya. Jahat, nularin orang-orang dan bikin mati. Aku pengin korona cepat selesai. Aku kangen main di luar rumah, ke rumah teman, dan makan di mal. Sekarang, jajan di warung saja enggak boleh kelamaan. Rasanya kesal. Bosan. Biar senang, aku main gim pakai hape. Tadinya, bareng Mama, soalnya aku belum bisa baca. Tapi Mama enggak selalu bisa nemenin karena kerja, jadi aku belajar baca.
Sehari, aku boleh main enam jam, tapi tugas sekolah harus selesai dulu. Berhenti main waktu mandi dan makan. Kalau sudah jam sembilan malam, enggak bisa main lagi. Aku suka lihat channel dance anak-anak di Youtube dan dari gim. Kalau Tiktok, Mama enggak bolehin nonton. Aku piara kucing juga, dua. Masih anak-anak.
Aku lebih senang belajar di rumah. Bisa kerjain tugas di mana saja. Tapi tetap ada sedihnya enggak bisa ke sekolah. Belum pernah ketemu teman-teman baru.
Kalau udah enggak pandemi, aku ingin piknik, jalan-jalan naik kereta ke Semarang dan Yogya. Ke rumah saudaraku. Sekarang, jarang ketemu. Terakhir, kita kumpul waktu Lebaran. Pernah juga naik kereta ke Yogya terus Semarang. Senang banget sampai enggak tidur. Lihat pemandangan.
Hana Aila Naufalyn (7), Tokyo, Jepang
Sedih karena enggak bisa ke rumah nenek di Indonesia. Di sini, summer holiday mulai tanggal 20 lalu, harusnya bisa ke Indonesia. Karena korona, jadi enggak bisa. Tapi aku senang juga karena sekarang Mama dan Papa kerja di rumah. Walau Mama dan Papa sibuk terus, sekali-kali bisa jalan bareng di sekitar rumah. Ada adik bayi juga sekarang. Walau hanya berempat di rumah, tapi senang karena bisa terus bareng-bareng.
Aku juga udah ke sekolah dari Juni 2020, tapi tetap harus pakai masker dan enggak boleh banyak ngobrol sama teman.
Kangen banget perjalanan jauh. Ke Indonesia, bawa mainan banyak dan bawa Anya, boneka kucingku. Kalau pandemi selesai, pengin ke Indonesia dan jalan-jalan di Jepang. Oh ya, Hana pengin main ke pool yang banyak permainannya. Pengin juga kalau udah enggak ada korona, aturan yang ada pas korona kayak pakai masker itu enggak lagi. Panas, lagi summer tetap pakai masker.
Mast Rakata Baraputra (9), Depok, Jawa Barat
Sekarang sedih ya enggak bisa bebas main di luar, main dengan teman-teman, terus enggak bisa pergi ke sekolah. Tapi senang juga karena bisa main dengan orangtua. Biasanya, kan, orangtua kerja. Kadang main juga dengan tetangga atau akhirnya main online bersama teman-teman. Kalau korona sudah enggak ada, aku mau main dengan teman sekolah dan teman tetangga lagi. Sekarang, lagi enggak boleh keluar rumah sama sekali.
Aku mau punya normal life lagi. Normal life itu pergi tanpa pakai masker, bisa beli-beli kapan saja, dan hidupnya seru.
Alea (15), Bekasi, Jawa Barat
Pengalaman sepanjang pandemi ini, aku dan keluarga pernah positif. Kondisi pas awal itu tenggorokan sakit, batuk, demam. Kondisi keluarga enggak beda jauh. Yang aku rasain cuma mau cepat sembuh biar bisa ngelakuin hal yang aku suka di rumah.
Yang aku kangenin sepanjang pandemi itu ikut ekskul PMR. Di SMP dulu, aku ikut PMR. Tiap Sabtu bisa ke sekolah, latihan untuk lomba. Latihan bareng teman dan kakak senior. Cerita dan bercanda bareng. Piket di UKS, nungguin jemputan dan jajan bareng. Biasanya juga kerja kelompok bareng teman.
Harapanku, mau bisa sekolah tatap muka lagi. Mau sekolah dan pengin ekskul lagi. Bisa ikut lomba dan ngumpul bareng teman baru di sekolah baruku.
Alesha (8), Cibubur, Jawa Barat
Karena ada pandemi, sekolah jadi online. Rasanya enggak senang. Enggak bisa main dengan teman, enggak bisa belajar bareng. Kalau di sekolah, kan, bisa main dengan teman langsung. Main gim, sport, lari-lari. Kalau dengan teman rumah sekarang juga cuma tiga anak, biasanya banyak. Mainnya harus pakai masker. Kalau pas lari-lari sesek, kalau naik sepeda enggak apa.
Kangen guru dan teman-teman kelas. Kangen pulang kampung, mau ketemu ninik, aik, uti, dan saudara.
Yang bikin senang di rumah bisa main sama adik, bikin gambar, bikin istana. Agak-agak senang juga ada Mama dan Papa di rumah. Agak-agak karena Mama dan Papa sibuk untuk diajak main. Kalau aku ganggui, dimarahin.
Tapi, aku lebih senang kalau Mama dan Papa kerja di rumah. Kalau ke kantor, kan, bahaya banget kecuali pakai masker dobel dan sering cuci tangan. Aku sedih kalau Papa harus ke kantor karena bahaya.
Temanku, ayahnya udah meninggal karena covid. Sedih banget karena jadinya enggak bisa main kayak dulu. Jadinya, sekarang aku harus menjaga Mama dan Papa dan ikut aturan Mama dan Papa. Kalau covid enggak ada, mau mudik dan main ke kantor Mama.
Jasmeen (9), Tangerang Selatan, Banten
Selama pandemi, di rumah cuma bobok, nonton, main gim, baca buku, main tab, gitu-gitulah. Kondisi keluarga, ayah waktu itu positif, PCR ke rumah sakit. Terus kita sekeluarga isoman. Jadi sedih dan susah gitu lho, enggak boleh peluk nenek. Waktu PCR di rumah, nangis. Tapi Jani (adiknya) nangis-nya yang heboh.
Kangen main keluar dengan teman-teman, main sepeda. Kangen mal, Dufan, sekolah, toko buku. Senangnya, sih, jadi boleh main gim. Baca buku dan menyibukkan diri di rumah bikin tetap senang di rumah aja. Kalau covid udah enggak ada, pertama mau beli buku ke mal, beli boneka, beli baju baru.
Aisyah Shofyatun (10), Sleman, DI Yogyakarta
Sejak pandemi, biasanya ngerjain tugas sekolah online. Main gim dengan saudara atau main di halaman rumah, kebetulan banyak saudara tinggal di rumah. Ini juga yang tetap bikin aku senang di rumah aja karena banyak saudara yang bisa diajak main. Kadang ke sawah bareng, jalan-jalan. Main sama kucing juga. Sedihnya kalau tugas sekolah banyak sampai kepalaku pusing.
Pengin main ke rumah teman kayak dulu lagi. Sekarang, kan, susah dan pada sibuk sendiri juga sekolah online. Harapannya, aku mau ke pantai, mau ke sekolah, dan jalan-jalan ke Jepang.
Muhammad Fatan Azizi (14), Bekasi, Jawa Barat
Walaupun saat pandemi ini, saya bersyukur tetap bisa makan dan berterima kasih dapat hape karena sekarang sekolah daring dan ini sangat membantu saya. Penghasilan ayah sebagai pedagang ayam menurun. Bantuan ini membantu sekali.
Yang saya kangen, berkumpul bersama teman karena itu menambah semangat belajar. Terus bersyukur juga masih berkumpul bersama keluarga. Kalau pandemi enggak ada, ingin terus belajar dan masuk SMA negeri. Terus bisa masuk juga ke universitas negeri jurusan bahasa Jepang.
Begitulah isi hati anak-anak selama pandemi. Mari dengarkan dengan baik suara mereka. Dengarkan dengan baik suara mereka. Pesan ini harapan paling murni dari hati anak-anak yang ingin kembali menjalani hidup sesuai usia mereka. (BAY/LSA/BSW)