Barisan Sukarelawan dari Kampus
Aksi solidaritas ditunjukkan mahasiswa dengan menjadi sukarelawan selama pandemi Covid-19. Ada yang menjadi vaksinator, mencari bantuan makanan, hingga mengurus pemulasaraan jenazah.
Korban pandemi Covid-19 terus berjatuhan. Sadar perlu keterlibatan banyak orang untuk mengatasi pandemi, sejumlah mahasiswa dan anak muda menyediakan diri sebagai sukarelawan.
Bermacam peran mereka ambil, mulai dari membantu mencarikan bantuan bagi mahasiswa perantau yang mulai kesulitan pangan, menjadi vaksinator, sopir ambulans, membantu pemulasaraan jenazah terpapar Covid-19, hingga terlibat membuat peti jenazah.
Aktivitas sukarelawan itu, antara lain, terlihat di posko pemadam kebakaran Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (23/7/2021) petang. Suasana saat itu riuh. Raungan sirene ambulans terdengar berkali-kali. Lokasi posko kebetulan berada di pelintasan jalur menuju beberapa rumah sakit besar di Yogyakarta.
Sebelas sukarelawan Djogja Gotong Royong (DGR) sibuk melapisi peti jenazah berukuran jumbo dengan plastik di sisi dalamnya, sesuai protokol penanganan jenazah pasien Covid-19. Sebagian besar sukarelawan yang bekerja itu adalah mahasiswa UGM yang tergabung dalam Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa UGM (Forkom).
Jadhug Ario Bismo (22), Ketua Forkom, ikut turun tangan. Sejak sepekan terakhir, dia dan beberapa kawannya bergabung dengan DGR, bentukan alumni aktivis Gelanggang Mahasiswa—kelompok mahasiswa UGM di luar struktural kampus.
Sejak awal Juli, DGR membuat dan mendistribusikan peti jenazah. Hingga Jumat, 150 peti telah terdistribusi ke rumah sakit dan keluarga yang anggotanya meninggal saat isolasi mandiri. Sebanyak 60 peti ukuran standar dan 8 ukuran jumbo (lebar 90 cm) terkumpul di posko siap dikirim jika ada yang membutuhkan.
”Minggu lalu aku diajak teman, ’Ayo bantu angkut peti mati ke posko damkar’. Di sana terpikir untuk mengajak teman-teman lain di Forkom untuk ikutan,” kata mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi yang ”menunda” merampungkan skripsi demi kerja gotong royong ini. Salah satu teman yang dia ajak adalah Antonius Dharma, mahasiswa Fakultas Kehutanan.
Mereka lalu sibuk menjadi tukang, menggergaji, mengampelas, mendempul, mengelem, dan menyekrup antarbagian. Indrawan, alias Capung, penggagas DGR, menjelaskan cara kerja pertukangan itu.
”Sebagian besar kami belum pernah pegang alat (pertukangan). Tapi di sana ada senior yang mengajari. Awalnya bantu angkat-angkat tripleks, angkut peti. Lama-lama bisa bikin,” kata Dharma, perantau dari Jakarta.
Kurang edukasi
Di Universitas Udayana Bali, dokter muda (koas) Ni Putu Gita Raditya Sanjiwani (21) tengah menunggu pengaktifannya sebagai tenaga bantuan telemedicine (konsultasi daring) Covid-19 yang dibuat Kementerian Kesehatan. Telemedicine untuk membantu warga terpapar Covid yang menjalani isolasi mandiri.
Sebelumnya, ia menjadi sukarelawan tenaga vaksinator bersama 50 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ia bertugas di pasar-pasar dan banjar di Denpasar Selatan.
”Melihat antusiasme warga yang mau vaksinasi, apalagi massal dan dibuka di dalam pasar, saya ikut bersemangat. Setiap hari paling tidak 200 orang datang. Sayang, banyak warga tak paham mengapa harus ikut vaksinasi,” kata Sanjiwani.
Ternyata edukasi tentang kegunaan vaksin ke masyarakat sangat kurang. ”Saya pakai kesempatan sebelum dan sesudah menyuntikkan vaksin untuk memberi penjelasan kepada warga. Mereka datang karena melihat teman atau tetangga berdatangan ke tempat vaksinasi saja,” lanjutnya.
Meski harus menghadapi warga dalam jumlah banyak dengan bermacam tingkah laku, ia tak kesulitan menanganinya. ”Ada yang takut disuntik. Tiap kali lengannya saya pegang, ia meronta dan berteriak. Dengan bantuan istrinya, bapak itu baru mau disuntik vaksin,” tuturnya.
Bantu teman
Sementara itu, Nasrullah Rusdianto, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, menceritakan, solidaritas di antara mahasiswa perantau di lingkungan UIN Jakarta dan kampus-kampus sekitarnya cukup kuat.
”Kami saling bantu kalau ada teman kekurangan bahan makanan, seperti beras dan minyak,” ujar Nasrullah yang biasa disapa Anas, Kamis (22/7/2021).
Dia dan beberapa teman biasanya mencari informasi lembaga-lembaga yang menyalurkan bantuan bahan kebutuhan pokok untuk warga. Mereka juga mencari bantuan dari para senior yang baik hati. ”Alhamdulillah, kami pernah dapat bantuan sembako dua kali dalam jumlah lumayan banyak. Belum lama juga ada senior yang memberi kami uang Rp 200.000,” ujar Anas.
Pada Sabtu (17/7/2021), bantuan bahan kebutuhan pokok datang dari pembaca harian Kompas yang disalurkan oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Bantuan itu diserahkan di Aula Fastabiqul Khairat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat. Anas dan kawan-kawan membantu menyalurkan bantuan tersebut kepada mahasiswa perantau dari sejumlah daerah di Ciputat yang sangat membutuhkan. Bantuan serupa pernah diberikan Yayasan DKK tahun lalu.
Anas dan kawan-kawan juga ikut mengurus mahasiswa perantau yang terinfeksi Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri di rumah. ”Kami antarkan sembako, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan lain untuk teman-teman yang isoman ke kosnya. Saya pakai protokol kesehatan, Bang. Sebenarnya takut ketularan, tapi diberani-beraniin aja demi teman,” ujarnya.
Sopir ambulan
Di Surabaya, Deasy Ayu Juwita, Chaterine Gunawan, dan Diana bergabung dengan Relawan Surabaya Memanggil. Sejak awal Juli mereka bertugas di Pemulasaraan Jenazah Keputih Surabaya untuk membantu petugas dari Dinas Sosial Surabaya memandikan jenazah korban Covid-19, mengafani, atau memakaikan baju sesuai permintaan keluarga.
”Saya tugas di pemulasaraan jenazah perempuan karena petugas sangat terbatas, sedangkan jenazahnya banyak. Sampai antre panjang. Kasihan sama jenazahnya,” ujar Deasy (27), mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Ia juga menjadi sukarelawan sopir ambulans yang menjemput pasien Covid-19.
Deasy sudah terlatih menjadi sukarelawan bencana sebelumnya sehingga ia siap mendapat tugas apa pun. ”Orangtua enggak melarang, pokoknya yang penting harus jaga prokes (protokol kesehatan),” katanya.
Pemerintah Kota Surabaya menerapkan protokol kesehatan ketat bagi sukarelawan. ”Repotnya, dalam satu shift (sekitar enam jam), kami bisa berkali-kali ganti APD (alat pelindung diri). Mau makan harus copot APD. Belum selesai makan, ada jenazah datang, langsung pakai APD. Nanti lanjut istirahat, copot lagi APD, he-he,” tutur Deasy.
Para sukarelawan itu bekerja bahu-membahu tanpa pamrih. Mereka hanya ingin pandemi segera terkendali. Semoga itu tak lama lagi. (BSW)