Banjir ide untuk mengembangkan usaha kadang tidak sejalan dengan kemampuan kita mempertahankan usaha itu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revolusi industri 4.0 membuka banyak peluang bagi dunia wirausaha. Namun, banjir ide kadang tidak sejalan dengan kemampuan untuk memulai, bahkan mempertahankan usaha. Bagi anak muda yang ingin berwirausaha, mereka harus semakin lihai membuat usaha dengan nilai tambah bagi konsumen.
Salah satu faktor penting yang menjamin keberlangsungan suatu usaha adalah bagaimana produk atau jasa yang ditawarkan memiliki proporsi nilai. Proporsi nilai (value proposition) adalah nilai tambah unik pada produk atau jasa yang ditawarkan suatu perusahaan kepada konsumen.
”Kita harus tahu di industri itu sendiri apakah kita bisa memberi value proposition yang lebih dari kompetitor. Kalau tidak ada, bukannya tidak mungkin, tetapi bisa sulit untuk bisnis kita,” kata Chief of Innovation Officer Mycotech Lab (MYCL) Ronaldiaz Hartantyo.
Adapun poin tersebut muncul dalam webinar kolaborasi harian Kompas bersama East Ventures bertajuk ”Goes to Campus: Entering the Competitive World” bersama mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rabu (7/7/2021). Webinar ini adalah rangkaian acara menjelang Kompasfest Navigate yang akan berlangsung pada 20-21 Agustus 2021.
Ronaldiaz melanjutkan, MYCL, misalnya, adalah perusahaan bioteknologi yang menumbuhkan material dari jamur. Kebutuhan material berkelanjutan sudah muncul di beberapa negara, seperti untuk industri mode yang tidak lagi mau menggunakan kulit. Meski sudah ada pengembangan material berkelanjutan dari serat nanas atau jaring laba-laba, pemain dalam industri ini belum banyak di Indonesia.
Contoh lainnya adalah Zoom yang dibuat Eric Yuan pada 2011. Zoom berhasil berkembang pesat selama pandemi. Padahal, sudah ada platform konferensi video lainnya yang telah eksis terlebih dulu, seperti Skype sejak 2003.
Untuk itu, kata Ronaldiaz, penting bagi wirausaha fokus pada kebutuhan konsumen lewat inovasi sehingga bisa lebih mudah masuk ke pasar ketimbang menciptakan hal baru. ”Dalam bisnis, market itu nomor satu, jadi invention tapi enggak ada market enggak ada gunanya,” ujarnya.
Co-CEO Fore Coffee Elisa Suteja menambahkan, di industri makanan dan minuman, inovasi merupakan suatu hal mutlak. Namun, inovasi harus menyesuaikan model bisnis masing-masing perusahaan daripada mengikuti pesaing. Ini agar operasional bisnis tidak terganggu.
Fore Coffee, misalnya, tidak mengikuti jenama lain yang memasarkan penggunaan susu almond dalam minuman. Perusahaan ini justru menyesuaikannya dengan menciptakan rasa minuman yang lebih cocok dan terjangkau dengan selera pasar lokal, seperti penggunaan susu gandum dan perasa pandan.
”Kompetisi itu kayak lagi balapan. Kalau kita lihat mobil di samping terus, kita nyetir malah jadi gak fokus. Yang terpenting itu fokus pada apa yang kita lakukan, pastikan itu menciptakan nilai yang tepat guna,” kata Elisa.
Elisa menambahkan, operasional bisnis juga harus ditopang oleh kampanye, pemasaran, dan kemitraan dengan partner yang baik agar selalu diingat konsumen. Ketika operasional bisnis sudah bisa berjalan mulus dan mandiri, barulah wirausaha bisa mereplikasi model bisnis itu atau membuat cabang baru ke pasar.
Membekali diri
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UNJ Abdul Sukur menambahkan, di era revolusi industri 4.0, generasi muda perlu bersikap tangkas agar bisa bersaing di ranah global. Mereka juga perlu merealisasi ide kreatif serta memanfaatkan jejaring sosial dan teknologi untuk membekali diri sebelum terjun ke dunia kerja.
Elisa mengatakan, bagi anak muda yang ingin berwirausaha, mereka sebaiknya memiliki tujuan berbisnis yang tidak sempit agar produk tidak terlalu spesifik. Wirausaha perlu memiliki perspektif yang luas agar model bisnis bisa berkembang mengikuti kebutuhan pasar.
Fore Coffee memiliki visi untuk membuat konsumsi kopi di Indonesia lebih mudah. Apalagi, Indonesia adalah penghasil kopi terbesar nomor empat di dunia. Fore Coffee tidak memiliki visi untuk membuat toko kopi.
Perilaku serupa juga terlihat dari visi bisnis perusahaan rintisan unicorn, seperti Traveloka. ”Traveloka awalnya itu hanya membandingkan harga tiket pesawat, tetapi akhirnya mereka mengembangkan bisnis menjadi agen travel online yang tepercaya karena melihat kebutuhan pasar.
Ronaldiaz mengingatkan, berbisnis tidak bisa memiliki hasil yang instan atau sama persis dengan bisnis yang lain. ”Saya lihat saat ini generasi muda terbiasa dengan serba instan sehingga tidak ada kesabaran mengikuti proses. Padahal, dunia bisnis membutuhkan kegigihan dan kemampuan menciptakan peluang sendiri,” katanya.