Katharina Stogmuller dan Suara Hati Blasteran Austria-Bantul
Katharina Stogmuller (23) menulis buku untuk mengubah pandangan negatif orang terhadap anak-anak hasil perkawinan campur, juga para pelaku perkawinan campur itu sendiri.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·4 menit baca
ARSIP PRIBADI
Katharina Stogmuller dan bukunya Ich Komme Aus Sewon.
Berawal dari sejumlah artikel yang dimuat di situs Mojok.co, Katharina Stogmuller (23) berhasil merilis sebuah buku. Buku setebal 158 halaman itu ditulis dalam bahasa Indonesia, diberi judul berbahasa Jerman, Ich Komme aus Sewon. Dalam bahasa Indonesia artinya Aku dari Sewon.
Ich Komme aus Sewon yang baru dirilis pada awal Juni 2021 tersebut, berisi kisah yang diangkat dari pengalaman Katharina sebagai anak hasil perkawinan campur. Ayahnya berasal dari Austria, sementara Ibunya berasal dari Ngadisuryan, Yogyakarta.
Saat ini Katharina tercatat sebagai mahasiswa English Extension Course di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sebelumnya, Katharina lulus dari Jurusan Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Sebelum merilis buku tersebut, sejak kira-kira Februari 2020, Katharina yang akrab disapa Kathi (dibaca Keti), mulai rajin mengirimkan artikel-artikelnya ke Mojok.co.
Artikel-artikelnya itu cukup menarik perhatian karena tidak biasa. Ditulis dengan gaya jenaka, banyak menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, kisah-kisah Kathi menggambarkan betapa tidak mudahnya dia menyandang status sebagai anak blasteran.
Fisiknya yang bule, dengan kulit putih, bola mata coklat dan rambut pirang, seolah tak selaras dengan kultur Jawa Yogyakarta. Perlakuan berbeda, kadang sangat stereotipe, kerap dia terima.
Kathi, misalnya, menuliskan tentang pengalaman masa kecilnya di Yogyakarta. Di sekolah dan lingkungan rumahnya, Kathi kecil kerap mendapat perundungan karena fisiknya yang berbeda, dipanggil dengan sebutan londo alias bule. ”Dulu enggak suka, kayak merasa beda. Sampai suka tanya sama Ibu, kapan rambutku jadi hitam?” ujar Kathi dalam wawancara melalui telepon, Senin (14/6/2021).
Begitu juga dengan ketidakmampuannya berbahasa Inggris. Orang berasumsi, setiap bule jago berbahasa Inggris. Ayah Kathi, bule Austria, lebih fasih berbahasa Jerman. Di rumah, Kathi dan keluarganya yang kini berdomisili di Sewon, Kabupaten Bantul, lebih banyak berbahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa.
Kathi diboyong Ayah-Ibunya dari Austria ke Yogyakarta di usia 4 tahun. Selama tinggal di Austria, Kathi lebih akrab dengan bahasa Jerman. Di Yogyakarta, Kathi bersekolah di SD yang mayoritas anak-anaknya berbahasa Jawa. Saat itu, setelah terbiasa dengan bahasa Jerman, Kathi sedang berusaha mempelajari bahasa Indonesia. Situasi itu tak pelak membuat Kathi kesulitan beradaptasi.
ARSIP PRIBADI
Katharina Stogmuller baru saja menerbitkan buku perdananya, Ich Komme Aus Sewon.
”Pernah dulu waktu kelas III SD, aku enggak bisa nulis eight. Kebalik-balik antara huruf h sama huruf t-nya. Terus dimarah-marahingitu di kelas, di depan teman-teman. Bapakmu kan bule, londho, kok kamu enggak bisa bahasa Inggris,” kenang Kathi menirukan sang guru.
Dia makin sedih karena teman-temannya pun ikut menghakiminya dengan kalimat-kalimat yang kurang lebih sama. Pengalaman itu dicatatnya sebagai salah satu pengalaman yang tak menyenangkan dalam hidupnya.
Kisah lainnya adalah pengalaman keluarganya saat mengurus kepindahan ke Yogyakarta. Begitupun izin-izin lainnya yang harus selalu diurus dan dipenuhi oleh keluarganya sebagai keluarga campuran. Sudah ribet, juga berat di ongkos.
Meski sesungguhnya menggambarkan realitas yang menyedihkan, tetapi cara Kathi bertutur dengan gaya khas Yogya yang jenaka, membuat artikel-artikelnya segar. Jauh dari kesan mengharu-biru. Pesannya mengena, bahwa menjadi anak blasteran, hasil perkawinan campur tidak selalu menyenangkan, atau bahkan istimewa seperti anggapan orang.
”Mungkin aku baru bisa terima perlakuan-perlakuan seperti itu setelah SMA. Ya, udah nrimoaja. Mau gimana lagi,” lontar Kathi. Sekarang, Kathi sudah lebih santai menghadapi perlakuan-perlakuan tak menyenangkan karena penampilan fisiknya sebagai anak blasteran.
Ubah Pandangan
Februari 2021, Kathi mendapat kabar dari editor Buku Mojok bahwa artikelnya akan dibukukan. Kathi harus menambahkan beberapa artikel agar artikel-artikelnya layak diterbitkan menjadi buku. Setidaknya ada 20-an artikel di buku pertama Kathi tersebut.
ARSIP PRIBADI
Katharina Stogmuller dan bukunya, Ich Komme Aus Sewon.
”Rasanya seneng banget. Dulu waktu zaman kuliah pernah ada cita-cita mau jadi penulis buku, tetapi belum kesempaian juga,” kata Kathi yang juga menulis sebuah artikel tentang problematik sekaligus stereotipe negatif yang kerap disematkan pada perkawinan campur di situs Magdalene. Tak disangka, cita-citanya tercapai di waktu yang tak terduga.
Hobi menulisnya itu bermula dari kesukaannya menulis diari, yang lalu berlanjut menulis artikel dan dia kirimkan ke media massa. Kathi banyak belajar menulis dari teman-temannya.
Menulis, bagi Kathi, menjadi sarana untuk mencurahkan perasaannya, juga menumpahkan kesedihannya dari berbagai hal yang menimpanya. Dari tulisan-tulisan di diari-nya, Kathi akhirnya justru belajar banyak. ”Kadang, setelah sekian lama, ketawa juga bacanya,” kata Kathi.
Melalui artikel-artikelnya itu, Kathi berharap dia bisa berbagi pengalaman, juga informasi bahwa anak-anak hasil perkawinan campur tidak selalu seperti apa yang disangkakan orang selama ini. Bahwa anggapan atau stereotipe negatif yang melekat pada perkawinan campur, tidak selamanya benar.
”Aku pengin mengubah stereotipe-stereotipe itu meskipun memang enggak mudah,” imbuh Kathi yang sejak tahun 2018 sudah menyandang status sebagai warga negara Indonesia ini. Melalui bukunya, Ich Komme aus Sewon, Kathi berharap misinya itu bisa menjangkau lebih banyak orang lagi.
”Aku pengin itu orang-orang ke depannya bisa berubah pikirannya terhadap anak-anak perkawinan campur atau pelaku perkawinan campur,” kata Kathi. Dengan terus menulis, juga menerbitkan buku, Kathi berharap, apa yang dia cita-citakan bisa tercapai.
Katharina Stogmuller
Lahir: Vocklabruck, Austria, 3 Oktober 1997
Pendidikan:
1. S-1 Jurusan Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
2. English Extension Course Universitas Sanata Dharma Yogyakarta