Penuh Cinta Merawat Cagar Budaya di Lasem
Ibarat berlian dalam lumpur, peninggalan sejarah menjadi bersinar setelah anak muda ikut serta merawat dan melestarikan warisan budaya.
Peninggalan sejarah identik dengan sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman. Namun, di tangan anak-anak muda, bangunan-bangunan bersejarah dan benda-benda yang terlihat usang menemukan nilainya. Ibarat berlian dalam lumpur, peninggalan sejarah menjadi bersinar setelah anak muda ikut serta merawat dan melestarikan warisan budaya.
Antusiasme generasi milenial untuk mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah terlihat di sejumlah daerah di Indonesia. Di Lasem, Kabupaten Rembang, Jateng, generasi muda aktif dalam komunitas Kesengsem Lasem dan Yayasan Lasem Heritage.
Di komunitas ini, anak muda melakukan berbagai kegiatan untuk melestarikan kawasan cagar budaya. Mereka juga berkolaborasi memasarkan kuliner tradisional dan mengolah batik tulis menjadi produk dengan nilai guna, seperti menjadi pakaian, masker, dan scraft.
Selain itu, di Palembang, Sumsel, anak-anak muda tergabung dalam Komunitas Sahabat Cagar Budaya. Bersama komunitas ini, mereka mengikuti heritage walk, yaitu kegiatan menjelajah tempat bersejarah. ”Budak Mudo” alias anak muda Palembang mengunjungi antara lain situs Talang Tuwo, tempat Prasasti Talang Tuwo ditemukan; dan Rumah Kapitan, bangunan berusia 377 tahun yang pernah ditempati Kapitan Palembang, Tjoa Ham Lim. Selain menjelajah, mereka juga berdiskusi tentang kedatangan orang China di Palembang.
Mendata bangunan
Pada Senin-Jumat, 24-28 Mei 2021, sebanyak 16 anak muda asal Lasem mendata 215 bangunan kuno yang berada di 160 hektar kawasan cara budaya Lasem. Anak muda ini berasal dari berbagai latar belakang, seperti tour guide, guru, dan mahasiswa dari berbagai jurusan, seperti sosiologi, arsitek, ekonomi, dan arkeologi.
Dengan tekun dan antusias, anak muda mewawancarai narasumber, memotret, dan menggambar denah bangunan-bangunan bersejarah, termasukrumah, sekolah, stasiun, pesantren, dan klenteng. Setelah proses wawancara selesai, mereka memasukkan data-data ke dalam aplikasi yang sudah disiapkan. Dengan cara ini, proses pengumpulan data lebih cepat.
Dalam menjalankan tugasnya, anak-anak muda didampingi oleh Tim Ahli Cagar Budaya, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendataan ini dilakukan untuk menyambut Lasem sebagai kawasan cagar budaya nasional.
Intan Yustikha Sari (23), mahasiswa Jurusan Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan, dulunya ia menganggap Lasem sebagai daerah ketinggalan zaman. Barulah ketika menempuh pendidikan di luar kota, ia sadar bahwa Lasem merupakan kota yang unik.
”Ketika kuliah di Semarang, aku lihat ada kawasan pecinan yang mirip sekali dengan Lasem. Selain itu, di sosial media aku melihat orang-orang berfoto di kota lama Semarang. Aku baru tertarik pada Lasem justru setelah keluar kota,” ujar perempuan yang lahir di Rembang ini.
Kesadaran melihat daerahnya sebagai sesuatu yang punya keunikan memanggil Intan untuk berkontribusi. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika diajak untuk masuk dalam tim pendataan cagar budaya Lasem. Ia percaya, dengan menjadikan Lasem sebagai kawasan cagar budaya nasional, daerah ini bisa berkembang.
”Aku berharap dengan menjadi kawasan cagar budaya nasional, maka tingkat ekonomi masyarakat Lasem meningkat, dan masyarakat bisa hidup lebih sejahtera,” katanya.
Sebelum mendata kawasan cagar budaya, Intan mengikuti pelatihan seperti memotret arsitektur bangunan cagar budaya, mengisi aplikasi dan mengukur luas bangunan. Sebagai mahasiswa dengan latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, semula Intan merasa bingung dalam mendata rumah-rumah kuno. Ia tidak terlalu memahami perbedaan bentuk bangunan pengaruh kebudayaan China, Jawa, dan Indische Empire khas Belanda.
Ia juga sulit membedakan bangunan-bangunan yang masih asli atau mengalami perubahan bentuk. Beruntunglah, Intan dan kawan-kawan mendapatkan penjelasan dan pendampingan dari Tim Ahli Cagar Budaya. Pengalaman mendata bangunan-bangunan yang sudah berusia ratusan tahun ini menambah pengetahuan dan membuatnya semakin mengenal daerahnya.
Selama mengikuti pendataan rumah-rumah kuno, Intan dan kawan-kawan mendapatkan banyak pengalaman. Mereka menjadi lebih mengenal penghuni rumah kuno, dan mengetahui bentuk-bentuk rumah yang biasanya dikelilingi oleh pagar tembok yang tinggi dan tebal.
Hakam Kurniawan (25), mahasiswa S-2 Urban Design Institut Teknologi Bandung, mengatakan, biasanya ia hanya melihat rumah kuno dari bagian depan saja. ”Kalau mau foto-foto paling hanya di pintu atau pekarangan rumah. Tidak pernah masuk ke dalam,” ujarnya.
Berkat bergabung menjadi tim pendata kawasan cagar budaya, Hakam mendapat kesempatan masuk ke dalam pekarangan rumah warga dan berbincang dengan pemilik rumah.
”Aku baru tahu kalau tidak semua orang China itu kaya raya. Biasanya aku menganggap mereka kaya karena rumahnya besar-besar. Ternyata itu rumah turun temurun dari keluarga. Mereka yang sekarang tinggal di rumah kuno itu ternyata orang biasa saja,” ujarnya.
Dari proses pendataan ini, terungkap bahwa sebagian rumah kuno sudah tidak terawat. Sebagian rumah lainnya juga dibangun dan diubah fungsinya menjadi tempat penginapan, atau toko. Pembangunan ini, menurut Hakam memberikan dua dampak positif dan negatif.
”Di satu sisi, pembangunan rumah kuno ini menunjukkan ada pembaruan, tetapi kalau penambahan bangunannya ngawur bisa menghancurkan wajah kota,” ujarnya.
Ia mencontohkan, penambahan toko yang bentuknya menonjol di depan rumah kuno membuat landscape kota kurang enak dipandang. Demikian juga pembangunan tempat ibadah dengan bentuk atap tidak mengikuti sejarah dan budaya setempat terasa mengganggu.
Dengan terlibat sebagai tim survei, Hakam mendapatkan banyak pengalaman. Ia bisa berbincang-bincang dengan pemilik rumah dan mengetahui sejarah tempat tinggal mereka. ”Kadang-kadang tidak terasa waktu habis, kami terlalu asyik mendengar cerita,” tuturnya.
Abdul Karim (27), semula tidak terlalu tertarik untuk mengembangkan daerahnya. Apalagi, bekerja di Lasem pendapan sangat minim. Begitu lulus sekolah, Karim memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ia sudah merantau selama lima tahun pada 2012-2017.
Perjalanannya ke luar kota, justru memanggilnya untuk kembali pulang. ”Di Jakarta, aku melihat teman-teman aku berkunjung ke Lasem dan mereka mengatakan bahwa Lasem itu keren. Ditambah membaca tulisan-tulisan tentang Lasem, di situlah baru tumbuh benih-benih kesengsem, atau jatuh cinta pada Lasem,” ujar pendiri Gerobak Baca Kang Karim itu.
Pegiat komunitas dan pendiri komunitas Kesengsem Lasem, Agni Malagina menjelaskan, ini merupakan pertama kalinya anak-anak muda dilibatkan dalam kegiatan penetapan kawasan cagar budaya nasional. ”Biasanya, pendataan dilakukan sepenuhnya oleh tim ahli, atau tidak melibatkan anak-anak muda dari daerah setempat,” katanya.
Baca juga: Agni Malagina, Menularkan ”Virus” Kesengsem Lasem
Menurut Agni, keterlibatan anak dalam upaya-upaya pelestarian cagar budaya sangat penting. Dalam proses pendataan cagar budaya Lasem misalnya, anak muda mendapatkan tambahan wawasan,mengenal sejarah dan budaya, dan membangun jejaring sosial. ”Pengetahuan dan networking ini sangat penting agar anak muda bisa membangun daerah,” katanya.
Di sisi lain, pelibatan anak muda dalam proses pendataan cagar budaya sangat membantu tim ahli karena pekerjaan jadi berjalan lebih cepat. ”Bagaimanapun, anak muda ini yang lebih mengenal daerahnya. Penetapan kawasan cagar budaya nasional juga untuk mereka, generasi penerus Lasem, bukan untuk turis atau orang asing yang datang ke Lasem sehingga penting untuk melibatkan anak muda dalam kegiatan-kegiatan pelestarian cagar budaya,” ujarnya.