Ada Rindu di Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan yang memberi kesempatan kita berkumpul keluarga menjadi momen yang dirindukan banyak orang.
Bulan Ramadhan tahun ini, kita masih harus berjaga jarak. Ngabuburit bersama teman, sahabat, dan keluarga besar bisa dilakukan meski tak sebebas dulu. Perlahan-lahan, kerinduan suasana Ramadhan mulai terobati.
Menjalani puasa di masa pandemi Covid-19 membuat kita tak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan rindu tidak bertemu teman dan keluarga. Tahun ini, mereka mulai bisa beraktivitas di kawasan tempat tinggal meski harus berjaga jarak.
Fajar Wahyu Sejati (18), mahasiswa semester dua Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, mengisahkan, tahun ini dirinya senang sebab pengurus di desanya mengizinkan ada pembagian takjil. Itu artinya para anggota Karang Taruna Bangmalang RT 006, Dusun Cepit, Kalurahan Pendowoharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, sudah boleh ikut bakti sosial mengambil takjil dari rumah warga untuk dibawa ke masjid. Mereka membagikan takjil ke warga, lalu mencuci gelas tempat takjil.
”Alhamdulillah, sudah mulai ada sedikit pelonggaran. Protokol kesehatan di kampung saya ketat sekali. Jadi, tahun kemarin tak ada kegiatan di masjid, sekarang ini sedikit dilonggarkan walau kalau kami tarawih di masjid harus saling berjarak,” tutur Fajar pada Sabtu (17/4/2021) lewat sambungan telepon.
Agar anggota karang taruna tak banyak yang bertugas sehingga memunculkan kerumunan, petugas di desa mengatur ada giliran penugasan. Tidak setiap hari anak muda seperti dia boleh bertugas.
Bagi Fajar, berpuasa tanpa aktivitas justru membuat dirinya mengantuk. Apalagi, kalau pas waktunya kuliah daring, siang hari pula. ”Kuliah daring kadang-kadang pagi, siang atau sore, tergantung dosennya. Tapi hanya sampai pukul 15.00,” lanjutnya. Kondisi itu menguntungkan dia.
Setelah membersihkan diri, sekitar satu jam kemudian, jika waktunya piket, ia sudah bersiap-siap mengambil takjil dari rumah warga untuk buka puasa.
Fajar berterus terang, puasa tanpa aktivitas fisik walau ringan membuat badan lesu, mengantuk, dan merasakan rasa lapar. ”Kalau orang Jawa, ada kegiatan apa itu kuliah tatap muka, bertemu teman untuk ngobrol sambil nunggu azan bisa nylemurke. Waktu puasa yang panjang tidak terasa, perut juga tak merasa lapar. Sebaliknya tanpa kegiatan apa pun, seperti tahun lalu itu lemas dan lapar banget,” ujar Fajar sambal tergelak.
Anak muda alumnus SMK Negeri 1 Bantul itu biasanya punya rangkaian dalam ibadah puasa. Sebelum puasa, ia dan kawan-kawan sekolah di SMK biasanya melakukan tradisi padusan dengan mandi di kolam renang dekat mereka tinggal di Bantul. Padusan bermakna menyucikan diri lahir batin sebelum melakukan ibadah puasa.
Di kolam itu, ia sekaligus bersenang-senang sambil bermain air dengan kawan-kawannya, tetapi sejak pandemi, tradisi itu tak bisa dilakukan. Selain itu, ada gerakan mencuci karpet dan masjid desa. Biasanya, Fajar aktif ikut kerja sosial, lagi-lagi untuk sementara kerja sosial semacam itu belum bisa diikuti banyak orang.
Mengenai kebiasaan berburu takjil, ia mengaku tak terlalu sering melakukan. ”Paling-paling beli takjil dengan teman-teman kuliah di depan kampus waktu masih kuliah tatap muka,” katanya. Waktu menjelang buka puasa biasanya lebih banyak ia habiskan dengan nongkrong bareng sambil mengobrol di kampus.
Berburu takjil
Bisa jadi karena cowok, maka Fajar tak merindukan berburu takjil yang memunculkan kesenangan bagi para cewek. Pada masa pandemi yang memunculkan banyak pembatasan, membuat Annisa Prima Yulianti (20), mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang, justru merindukan saat bisa berburu takjil bersama kawan-kawan kuliahnya.
”Wah, senang sekali jalan dari ujung ke ujung di depan kampus untuk cari takjil. Begitu hari sudah sore, kami jalan ke depan kampus ya cari takjil. Senang rasanya. Lalu buka puasa mengadakan bukber tempat makan di mal,” kata Anissa yang berasal dari Gresik, Jawa Timur, Jumat (16/4/2021).
Jumlah mahasiswa UMM yang mencapai puluhan ribu membuat jumlah pedagang makanan di depan kampus juga banyak. Mereka menawarkan aneka makanan dan minuman. ”Pokoknya, pilih makanan walau kadang-kadang matahari masih panas itu menyenangkan karena ramai-ramai dengan teman-teman,” ujar mahasiswi semester enam itu.
Masa-masa menyenangkan itu, sejak dua tahun terakhir tak lagi ia rasakan. Memang, Annisa dan empat kawannya yang sedang melakukan KKN di Malang dan tetap tinggal di kos masih bisa mencari takjil di depan rumah kosnya, tapi suasana jauh beda.
”Banyak mahasiswa pulang kampung sehingga kos sepi. Rumah kos saya yang punya 20 kamar saja, hanya isi empat orang, termasuk saya. Akibatnya, penjualnya jauh berkurang. Ya, kurang serulah pokoknya,” kata Annisa.
Buka puasa bersama juga hanya bisa ia isi dengan makan bersama tiga kawannya di kos. ”Kalau mau bukber di mal, ada aturan jaga jarak. Terus kawannya hanya tiga orang. Lebih baik buka puasa di kos saja,” tambahnya. Beruntung ia masih bisa mengisi waktu dengan mengerjakan tugas untuk KKN yang ia lakukan di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, sehingga tak merasakan lapar pada jam kritis puasa yang biasanya mulai pukul 3 sore.
Sudah dua kali, puasa dilakukan pada masa pandemi. Tahun ini, kembali masa puasa tidak seperti dua tahun lalu, puasa yang dilakukan dengan situasi normal baru.
Suci Tiara, mahasiswa Perbanas Institute Jakarta, mengatakan, tidak terlalu banyak melakukan acara puasa bersama. ”Kalau dua tahun lalu, ada acara bukber bersama teman SD, teman SMP, dan teman SMA. Sekarang ya cuma terbatas saja, paling cuma satu dua kali. Itu pun tidak terlalu banyak. Aku juga mencari tempat untuk berbuka, melakukan protokol kesehatan dengan ketat,” kata Suci.
Selain menahan diri untuk tidak rajin berbuka bersama, Suci juga tidak terlalu heboh mencari makanan di luar rumah seperti takjil. ”Di masa seperti ini, aku lebih sering membuat takjil dan makanan sendiri. Jarang sekali beli makanan di luar,” ujar mahasiswa jurusan manajemen semester keempat ini.
Di tempat tinggalnya sudah menjadi zona hijau. Tetapi, dia mencermati kegiatan Tarawih belum seperti biasa. ”Biasanya, minggu pertama penuh sampai ke halaman masjid. Tapi sekarang hanya di dalam saja juga tidak penuh,” kata Suci lagi.
Dia juga sudah membayangkan tidak akan berlebaran di rumah neneknya di Banjar, Jawa Barat. ”Nenekku sudah tua, sudah dua Lebaran kami tidak ke sana karena takut menularkan. Paling hanya akan video call sama nenek,” ujarnya.
Suci tidak kesulitan menjalani masa puasa dan menyediakan makanan sahur karena masih tinggal bersama orangtuanya. Berbeda dengan Rafif Sulthan Ramadhan.
Puasa kali ini bagi Rafif merupakan puasa yang penuh tantangan. Dia baru saja memulai kuliahnya di Rheinisch-Westfalische Technische Hochschule Aachen, Jerman. ”Pada awal puasa ini, aku berpuasa selama 16 jam, nanti kalau di akhir bulan puasa bisa sampai 17 jam,” kata Rafif. Pada pertengahan April ini, cuaca di Aachen masih dingin, sekitar 10 derajat walaupun matahari bersinar.
Baca juga : Ramadhan, Sarung Batik Bertema Islami dari Solo Diburu Peminat
Pekan pertama terasa berat bagi Rafif. ”Hari pertama puasa, aku merasa lemas sekali. Sampai tidak sanggup belanja untuk beli makanan. Jadi titip ke teman-teman yang tidak berpuasa,” kisahnya. Tidak banyak yang menjual makanan takjil khas Indonesia untuk berbuka puasa di Aachen. Walau demikian, mahasiswa jurusan teknik mesin ini tidak kesulitan mendapatkan makanan untuk berbuka atau sahur. Dia sudah mulai mandiri memasak sendiri makanan yang diperlukan.
Di Aachen, ada tiga masjid dengan waktu azan yang berbeda tipis. Rafif secara konsisten mengikuti waktu adzan di satu masjid. Informasi itu didapatkan dari laman komunitas mahasiswa Muslim Indonesia di Aachen. Walaupun berpuasa dalam situasi yang sangat berbeda dengan di Indonesia, Rafif optimistis, akan menjalani bulan Ramadhan ini dengan baik.