Pendukung paham radikalisme dan kekerasan mengikuti apa yang sering dilakukan anak muda. Karena anak muda senang bergaul di media sosial, mereka juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan ajaran radikalisme.
Kaum muda menjadi target utama penyebaran ideologi terorisme lewat media sosial. Begitu kata Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lantas, apa yang bisa dilakukan kaum muda untuk menghindari bujuk rayu kelompok teroris?
September 2016, Febri berangkat ke Suriah. Ia ingin menyusul keluarganya yang lebih dulu berangkat ke sana. Selain itu, ia tergiur iming-iming hidup sejahtera di negeri yang dijuluki negeri berjuta keberkahan itu, seperti digambarkan di media sosial.
Begitu sampai di sana, apa yang ia lihat di Suriah justru sebaliknya. Negeri yang dikuasai kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) saat itu kacau balau. Pihak-pihak yang bertikai tak segan melakukan peran atau kekerasan atas nama agama. ”Apa yang mereka lakukan itu tidak mencerminkan Islam,” cerita Febri yang saat itu baru berusia 22 tahun, Minggu (11/4/2021).
”Bodohnya, ketika itu saya tidak mencari media pembanding sehingga percaya begitu saja apa yang saya baca di media sosial,” ujar Febri.
Beruntung ia berhasil keluar dari Suriah dan kembali ke Indonesia pada Februari 2017. Ia tak ingin orang lain terjerumus bujuk rayu kelompok NIIS sehingga ia menceritakan kisahnya dalam buku 300 Hari di Bumi Syam.
Ia bertemu dengan anak-anak sekolah dan pesantren untuk mengingatkan agar mereka tidak mudah termakan propaganda kelompok berideologi kekerasan yang disebar di media sosial. Selain itu, ia ikut mendampingi seorang remaja perempuan berusia 14 tahun yang terpapar ideologi kekerasan dari media sosial dan pamannya. ”Remaja itu berniat kabur dari pesantren untuk pergi ke Suriah,” kata Febri.
Peneliti dan penulis di Ruangobrol.id, Kharis Hadirin (31), berpendapat, kelompok-kelompok berideologi ekstrem kekerasan sudah lama melibatkan anak muda aksi terorisme, termasuk serangan bom di Makassar dan Mabes Polri akhir Maret dan awal April lalu. Namun, ada perubahan dalam hal perekrutan dan penyusunan aksi teror.
Dulu anak-anak muda direkrut melalui pertemuan, kajian, kampus, atau pesantren. Kharis mengalami sendiri ketika ia mondok di sebuah pesantren di Lamongan, Jawa Timur. Ia dan kawan-kawannya terpapar sempat ajaran kekerasan. Namun, ia bisa keluar dari ajaran itu setelah bertemu dengan banyak kelompok Islam lainnya yang moderat. Pandangannya tentang dunia langsung berubah.
Saat ini, kata Kharis, kelompok ekstrem kekerasan cukup melakukan rekrutmen dengan media sosial. ”Selama orang-orang itu punya pemikiran dan keyakinan yang sama, mereka sudah bisa menjadi satu jaringan,” ujar Khris.
Psikolog klinis Sustriana Saragih yang pernah menangani anak dan remaja yang termakan ajaran radikalisme pada 2017-2020 memaparkan, mereka yang berusia 6-18 tahun paling mudah termakan ajaran radikalisme. Pasalnya, di usia itu mereka belum matang. Selain itu, ada faktor lain, yakni relasi dengan orangtuanya, teman, atau lingkungan kurang baik.
”Kondisi itu membuat mereka merasa terasing. Lantas mereka mencari ’teman’ di dunia maya untuk mengisi batinnya,” jelas Sustriana.
Pada saat itulah, mereka bisa bertemu dengan kelompok radikal dan berideologi kekerasan. Awalnya jadi teman curhat. Belakangan si teman curhat menyuntikkan ajaran radikalisme.
Cara perekrutan anggota baru lewat jalur pertemanan virtual umum terjadi. Rata-rata anak dan remaja yang saya tangani terkena propaganda janji manis dari pertemuan di dunia maya.
”Cara perekrutan anggota baru lewat jalur pertemanan virtual umum terjadi. Rata-rata anak dan remaja yang saya tangani terkena propaganda janji manis dari pertemuan di dunia maya,” ujar Sustriana.
Direktur Peace Generation Irfan Amalee (44) menjelaskan, pendukung paham radikalisme dan kekerasan zamansekarang mengikuti benar apa yang dilakukan anak muda. Karena anak muda sering berkutat di media sosial, mereka juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan ajaran mereka.
Resep menghindar
Irfan memberikan beberapa kiat untuk menghindari bujuk rayu kelompok teroris dengan jurus 3B, yakni bergaul, beraktivitas, dan berjalan-jalan ke tempat yang beragam. Tujuannya supaya kita tidak seperti katak dalam tempurung.
Irfan mengaku ketika usianya 20-an, ia pernah punya pikiran yang mengarah antitoleransi. Setelah bergaul dan berdialog dengan orang dari luar negeri dan agamanya berbeda, pola pikirnya berubah. Ia menjadi menghargai perbedaan.
Jurus lainnya, kata Irfan, narasi kekerasan dan ideologi radikalisme di media sosial mesti dilawan dengan narasi yang sebaliknya, yakni narasi tentang toleransi dan perdamaian. Untuk sampai ke sana, katanya, anak muda harus memperkuat literasi.
”Jangan mudah percaya narasi di media sosial. Cek lagi narasi itu, benar atau tidak. Selain cara di atas, saya juga membuat aneka gim dengan pesan ajaran toleransi di dalamnya,” kata pendiri Pondok Pesantren Peace Welas Asih ini.