Gedung Olahraga Saparua di Kota Bandung tak sekadar tempat bermain bola voli atau badminton. Tempat ini dianggap sakral bagi pergerakan musik independen karena melahirkan band dan individu berpengaruh di kemudian hari.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·6 menit baca
Tak salah rocker Benny Soebardja menjuluki Gedung Olahraga Saparua di pusat Kota Bandung sebagai ”kawah candradimuka” band-band jempolan Tanah Air. Walau kini telah difungsikan kembali sebagai arena olahraga, gedung bikinan kolonial itu jadi bagian penting sejarah musik Indonesia. Rich Music sedang merampungkan film dokumenter tentangnya.
”Sebuah band bisa disebut hebat kalau sukses pentas di sana,” kata Benny, pentolan grup rock progresif Giant Step dan The Peels, seperti diberitakan Kompas, 8 Maret 2015. Sejak 1960-an, Benny beberapa kali naik panggung di gedung yang bersebelahan dengan Taman Lalu Lintas itu. Selain bandnya, banyak band beken lain di era itu yang pernah unjuk gigi di tempat tersebut, sebut saja AKA, Freedom of Rhapsodia, Superkid, The Rollies, dan God Bless.
God Bless, seperti dituturkan pengamat musik Denny Sakrie di blognya, tampil di GOR Saparua Bandung pada akhir Agustus 1973, ketika masih diperkuat kibordis Deddy Dores. Peristiwa itu hanya berselang empat bulan dari debut konser mereka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Di Bandung, mereka sepanggung dengan ”tuan rumah” Gang of Harry Roesli dan Bentoel dari Malang. Uniknya, di kemudian hari, gitaris Bentoel, Ian Antono, memutuskan gabung dengan Ahmad Albar dan kawan-kawan dan bertahan hingga hari ini.
Dua tahun selepas penampilan di Bandung itu, God Bless dinobatkan sebagai band rock nomor satu di Indonesia oleh majalah Aktuil—majalah musik ternama yang terbit dari Bandung. God Bless makin moncer karena ditunjuk sebagai pembuka konser rocker asal Inggris, Suzi Quatro, juga band Deep Purple di Jakarta pada 1975.
Tuah dari GOR Saparua berlanjut bertahun-tahun kemudian. Gema musik rock dan metal makin menguat di dekade 1990-an. Gedung yang di masa kolonial Belanda dipakai untuk pertunjukan sirkus lumba-lumba ini sering disewa barudak ”underground” untuk bikin acara musik.
”Waktu itu sedang tren acara musik berformat lomba di kampus atau sekolah, yang mengharuskan pesertanya memainkan lagu wajib. Anak-anak yang seleranya berbeda jadi enggak kebagian tempat. Ternyata, (GOR) Saparua bisa disewa. Anak-anak patungan bayar sewanya,” kata Edy ”Khemod” Susanto, salah satu ”anak nongkrong” Bandung di era itu, yang kini jadi drumer Seringai.
Lokasi Saparua juga dianggap strategis—kurang dari 1 kilometer dari Gedung Sate—sehingga kaum muda dari berbagai tongkrongan di seantero Bandung bisa mencapainya dengan mudah. Komunitas metal yang mulai tumbuh di Ujungberung—sisi timur Bandung—serta komunitas punk, grunge, dan britpop jadi punya melting pot, yaitu GOR Saparua.
Tiap akhir pekan
Akhir pekan selalu ditunggu Aska Pratama. Setiap pulang sekolah, dia selalu mencari poster informasi acara musik di GOR Saparua. ”Setiap Sabtu dan Minggu pasti ada acara underground,” kata Aska yang sejak 1996 di acara Hulabaloo 3 rutin menyambangi Saparua.
Dia lantas bikin band sendiri yang beraliran punk bernama Immorality President pada 1998. Sejak itulah, bersama bandnya, statusnya berubah dari penonton menjadi penampil di GOR Saparua. ”Rasanya bangga juga. Dari masuk lewat pintu depan (akses penonton) sampai lewat pintu di dekat toilet samping (akses artis),” kata Aska yang hingga sekarang jadi gitaris di band pop punk Rocket Rockers ini.
Dinan, yang kini aktif menjadi ilustrator sejumlah band metal dalam dan luar negeri, juga pernah mencicipi jadi ”artis” di Saparua. Bersama Sonic Torment, band yang lahir di Ujungberung, dia berkali-kali manggung di GOR Saparua. Saban bulan dia naik pentas, paling sering di tahun 1996-1997. Kata dia, penontonnya bisa sampai 10.000 orang dalam satu hari (Kompas, 3/7/2010).
Hiruk-pikuk GOR Saparua di era itu juga dibenarkan Arian 13, yang bersama bandnya, Puppen, kerap jadi penampil utama. Dia bilang, penonton di dalam gedung bisa sampai 7.000 orang, sama banyaknya dengan yang menunggu di luar gedung.
”Saya pernah ajak teman anak band punk di London untuk melihat acara musik di Saparua. Kata dia, penontonnya setara dengan festival besar di sana,” kata vokalis band Seringai ini.
Runtah, Homicide, Jasad, Anjing Tanah, Koil, Forgotten, Jeruji, Kubik, Puppen, Burgerkill, Pas Band, dan Pure Saturday adalah beberapa nama band Bandung yang mentas dari GOR Saparua. Namun, hiruk-pikuk musik cadas di GOR Saparua perlahan memudar di milenium baru seiring menuanya kondisi gedung.
Pemerintah setempat tak lagi membuka gerbang gedung untuk perhelatan musik underground. Kawasan itu ”dikembalikan” fungsinya sebagai tempat berolahraga. Kawasan Lapangan Saparua jadi tempat pemusatan latihan atlet-atlet daerah setiap menjelang perhelatan olahraga akbar.
Telanjur kuat
Salah satu penutup pahit era keemasan GOR Saparua bisa jadi terjadi pada 30 Agustus 2008. Kala itu, Bandung Creative City Forum mengadakan acara Youth Park Fest di GOR Saparua dengan bintang tamu seperti Burgerkill, Mocca, Pure Saturday, The Milo, dan Jeruji. Seharian Bandung diguyur hujan. Acara itu sedianya berlangsung sejak siang hingga malam. Namun, sekitar pukul 17.00, polisi membubarkannya dengan alasan cuaca tidak mendukung.
Belakangan, Edi Brokoli, salah satu panitia, menyebutkan alasan pembubaran itu terkait dengan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kondangan ke kawasan tersebut keesokan harinya. Panitia menanggung kerugian ratusan juta rupiah (Kompas, 17/9/2008).
Meski begitu, pergerakan musik bawah tanah di Bandung terus hidup. Jejaring yang terbangun sejak dari GOR Saparua mendorong beberapa komunitas membuat gelanggangnya sendiri. Acara musik bergeser ke ruang-ruang yang sifatnya lebih privat, seperti kafe, distro, atau kampus.
Orang-orang yang pernah merasakan gemuruh GOR Saparua masih berada di kancah musik, baik sebagai penampil, perancang acara, teknisi suara, maupun pemilik label rekaman. Sirkus musik bawah tanah di Bandung ”telanjur” menguat dan membesar hingga hari ini.
Tuah dari GOR Saparua itulah yang hendak diceritakan kelompok Rich Music lewat film dokumenter Gelora Magnumentary: Saparua. Gitaris band Teenage Death Star, Alvin Yunata, menjadi sutradaranya. Alvin menyulam cerita dari tuturan sejumlah pelaku musik di Bandung, seperti Sam Bimbo; vokalis Pure Saturday, Suar Nasution; dan pembuat acara Berandalan Bandung, Dadan Ketu; juga akademisi seperti Ridwan Hutagalung dan Idhar Resmadi.
”Film ini mencatat kelahiran sebuah generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas. Mereka mengubah sebuah gedung tak cuma sebagai tempat pertunjukan, tetapi juga sebagai tempat lahirnya ideologi baru di ranah budaya populer. Pergerakan itu menjadikan gedung ini seperti kuil di kancah musik underground Indonesia,” kata Alvin yang berjanji akan menyelesaikan film ini pada Juni 2021.
Edy Khemod, inisiator proyek film ini, menyadari pentingnya dokumentasi peristiwa budaya ini, khususnya fenomena kemunculan pergerakan musik independen di Indonesia. ”Film dokumenter ini jadi penting untuk memberikan semangat ke generasi berikutnya, bahwa pergerakan musik independen dimulai tidak atas dasar ekonomi saja, tetapi ada passion atas musiknya,” kata sutradara sejumlah iklan dan videoklip ini.