Royalti Lagu Menyejahterakan Pemusik, Tetapi Belum Dikenali Tempat Hiburan
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 ingin menegaskan kewajiban pembayaran royalti hak cipta lagu dan musik khusus pada tempat layanan publik yang bersifat komersial. Hal ini dinanti-nanti oleh para pelaku musik di t
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik, menjadi hal yang dinanti pelaku musik di tanah air karena dianggap dapat mempertegas pengelolaan royalti. Namun regulasi ini belum sepenuhnya dikenali pelaku usaha kafe dan tempat hiburan.
Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) Candra Darusman menuturkan, PP itu menegaskan sistem pengelolaan royalti yang sudah berjalan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut Candra, regulasi tersebut menjadi pengingat bahwa pelaku usaha punya kewajiban membayar royalti lagu yang diputar khusus kepentingan bersifat komersial.
"Sebenarnya pembayaran royalti hak cipta lagu tersebut sudah berjalan sejak lama pada sejumlah sektor komersial. Sejumlah gerai ritel, produk makanan cepat saji, restoran, hingga hotel telah rutin membayarkan kewajiban mereka. Terbitnya PP terbaru turut menjadi pengingat bahwa sektor komersial perlu membayarkan kewajiban mereka," jelas Candra, Rabu (7/4/2021).
Salah satu poin peraturan itu mengatur kewajiban pembayaran royalti hak cipta lagu dan musik khusus pada tempat layanan publik yang bersifat komersial. Pembayaran royalti itu dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Negara (LMKN) yang ditunjuk untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pihak-pihak yang berhak.
Adapun layanan publik yang bersifat komersial antara lain seminar atau konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, hingga diskotek. Ada pula konser musik, pameran, bazar, pertokoan, pusat rekreasi, hotel, dan usaha karaoke. Begitu pula moda transportasi pesawat udara, bus, kereta api, serta kapal laut yang termasuk dalam kategori ini.
Poin PP terbaru juga menekankan adanya sistem pusat data yang diberi nama Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). LMKN membangun sistem tersebut untuk mencatat seluruh penggunaan musik secara komersial di Indonesia. Catatan ini menjadi dasar penyaluran royalti kepada pencipta lagu.
Candra menambahkan, terobosan dari PP terbaru adalah kehadiran pusat data lagu dan musik untuk pengelolaan royalti. Hal tersebut dapat mempermudah kerja LMKN dalam mengidentifikasi dan memberikan royalti kepada penerima yang semestinya.
Candra melihat adanya salah kaprah di kalangan sebagian pelaku usaha terkait kehadiran PP Nomor 56 Tahun 2021. Terutama soal pemutaran lagu di restoran dan kafe, sebagian orang menganggap pembayaran royalti lagu untuk di lokasi itu cenderung merugikan pengusaha.
Secara terpisah, Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay menyampaikan, sistem terpadu seperti LMKN itu mutlak diperlukan demi menjamin pembagian royalti kepada pencipta lagu secara adil. Sebab, selama ini ketentuan besaran royalti tidak pernah jelas lantaran data jumlah penggunaan lagu belum transparan.
Belum paham
Asyung (60), perwakilan manajer restoran Lokal Food di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, belum mengetahui hal apapun terkait pembayaran royalti untuk setiap pemutaran musik di tempatnya. Padahal, selama ini, dia kerap memutar sejumlah musik populer dari aplikasi Youtube untuk meramaikan suasana restoran.
Dia merasa keberatan apabila harus membayar sejumlah uang untuk pemutaran lagu di restoran. "Kesannya, kok, apa-apa serba diduitin, ya? Padahal, pandemi sudah cukup membuat rugi," ujarnya.
Ketua badan pengurus Wahana Musik Indonesia (WAMI) Chico Hindarto menyatakan, ada sebagian pengusaha yang belum memahami kalau mereka memutarkan lagu itu untuk kepentingan komersial. Dalam arti, ada pertimbangan para pengusaha itu ingin membuat nyaman para pengunjung dengan memutarkan iringan musik. Dari situ, semestinya pencipta lagu dan musik mendapat bagian royalti karena turut berkontribusi meramaikan area komersial pengusaha.
"Penekanannya (untuk pembayar royalti) adalah tempat komersial. Lokasi seperti restoran, hotel, dan area komersial lainnya yang ditentukan dalam PP itu adalah untuk mendapatkan uang. Kami juga ingin menyadarkan bahwa dari sisi bisnis pengusaha, sebenarnya ada pula bagian royalti yang mestinya didapat oleh pencipta lagu," tutur Chico.
Ada pula salah kaprah terkait besaran tarif dan periode pembayaran royalti. Chico menjelaskan, besaran tarif telah ditentukan oleh LMKN dengan jangka pembayaran berkala setiap tahun, bukan setiap bulan.
Pada restoran dan kafe, misalnya, besaran tarif royalti pemutaran lagu ditentukan dengan menghitung jumlah total kursi dikali Rp 120.000 untuk hak cipta dan hak terkait. A)dapun hak terkait adalah hak royalti bagi pelaku musik yang mendukung pencipta lagu.
"Penekanannya (untuk pembayar royalti) adalah tempat komersial. Lokasi seperti restoran, hotel, dan area komersial lainnya yang ditentukan dalam PP itu adalah untuk mendapatkan uang. Kami juga ingin menyadarkan bahwa dari sisi bisnis pengusaha, sebenarnya ada pula bagian royalti yang mestinya didapat oleh pencipta lagu," tutur Chico (Ketua badan pengurus Wahana Musik Indonesia).
Chico mencontohkan, kafe dengan jumlah 20 kursi akan dikenai royalti pemutaran lagu senilai Rp 2,4 juta per tahun. Pengelola kafe ini juga harus menyetorkan daftar lagu yang kerap diputar di lokasi demi memudahkan distribusi kepada penerima royalti.
"Saya pikir dengan tarif per tahun seperti itu tidak akan memberatkan pengusaha. Hanya mungkin perlu sosialisasi secara mendalam bahwa dalam konteks komersial, ada bagian royalti yang mesti mereka bayarkan apabila memutarkan lagu ciptaan seseorang," jelasnya.