Rafa Jafar, Gigih Mencari Solusi Sampah Elektronik
Di usia 11 tahun, Rafa Jafar mulai mengumpulkan sampah elektronik dimulai dari sekolahnya. Dia ingin membangun kesadaran masyarakat untuk mencari solusi sampah elektronik.
Muhammad Rafa Ibnusina Jafar (18) selalu penasaran ke mana tumpukan gawai bekas yang di rumahnya akan berakhir. Di usia 11 tahun, Rafa mulai mengumpulkan sampah elektronik dimulai dari sekolahnya. Dia ingin membangun kesadaran masyarakat untuk mencari solusi sampah elektronik. Salah satunya dengan mendirikan Komunitas EwasteRJ.
Saat di bangku SD, Rafa harus menyelesaikan tugas akhir sekolah. Lalu, dia melihat fenomena di masyarakat di mana satu orang memiliki lebih dari satu gawai. Di rumahnya, banyak gawai bekas tersimpan di lemari. Dia pun memilih topik sampah elektronik untuk dijadikan bahan tulisan. Rafa punya pelaporan yang komprehensif terkait hal itu, lalu di tahun 2015 tulisan itu diterbitkan menjadi buku berjudul E-Waste: Sampah Elektronik.
Tak hanya berhenti di karya tulis, Rafa melanjutkannya jadi gerakan nyata. Dia mengajak teman-teman sekolah untuk mengumpulkan sampah elektronik, seperti kabel, baterai, dan gawai bekas di kotak yang dinamakan EwasteRJdropzone. Sampah elektronik yang terkumpul disimpan di rumahnya di Jakarta, dan berlanjut saat ia pindah ke Depok. Lalu, dia mencari informasi soal perusahaan resmi yang dapat mengelola limbah elektronik.
Dengan kegiatan yang ia lakukan itu, Rafa makin memahami minimnya kesadaran pengelolaan sampah elektronik di Indonesia. Ditemani sang ibu, Rafa mengunjungi tempat pembuangan dan pemulungan sampah elektronik untuk melihat bagaimana sampah elektronik dikelola. Dia semakin miris melihat kenyataan sampah elektronik belum tertangani dengan baik dan masih dicampur dengan jenis sampah lainnya.
Kami mau aktif mengadvokasi, tidak ke masyarakat saja. Kami mau didengar produsen elektronik dan pemerintah supaya ekosistem pengeloaan e-waste di Indonesia bisa terbentuk baik. --Rafa Jafar
Setelah mendapatkan banyak informasi mengenai sampah elektronik, Rafa bersama teman-temannya membentuk Komunitas EwasteRJ. “Kami mau aktif mengadvokasi, tidak ke masyarakat saja. Kami mau didengar produsen elektronik dan pemerintah supaya ekosistem pengeloaan e-waste di Indonesia bisa terbentuk baik. Kami berjuang supaya komunitas punya image yang baik, enggak cuma komunitas pengumpul e-waste saja. Kami mau memperjuangkan adanya regulasi untuk mendorong dan memfasilitasi kerja untuk mengatasi masalah e-waste lebih gampang tercapai,” kata Rafa yang dijumpai di Jakarta, Minggu (28/2/2021).
Kegiatan komunitas meliputi kampanye edukasi melalui media sosial atau acara langsung, dan mereka jadi narasumber di acara dalam dan luar negeri terkait pengenalan, bahaya, dan pengelolaan sampah elektronik.
Ada juga program pengumpulan sampah dari masyarakat yang bisa dikirimkan ke agen EwasteRJ di berbagai daerah maupun dikirim ke gudang pusat di Jakarta. Program berikutnya, memastikan sampah elektronik yang terkumpul dimanfaatkan secara optimal, tidak terbuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau lingkungan.
Menjaga bumi
Di rumah bercat putih yang jadi Gudang EwasteRJ di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (28/2/2021) pagi, tumpukan kardus, tas berisi alat elektronik, hingga komputer tabung, televisi tabung tanpa pembungkus, memenuhi lantai ruangan depan. Yorkie Sutaryo, Manajer Operasional Komunitas EwasteRJ sejenak mengamati tumpukan beragam alat elektronik bekas, lalu membuka kardus dengan kedua tangan terbungkus sarung tangan dan mengenakan masker.
Saat pegiat Komunitas EwasteRJ yang lainnya datang, Yorkie dan tim pun bersiap memindahkan kiriman sampah elektronik dari agen di berbagai daerah itu ke dalam kotak plastik besar sesuai jenis sampah.
Azzahra yang jadi manajer data bersiap di depan laptop untuk memasukkan data jumlah dan jenis barang sesuai kategori. Indah yang di bagian marketing menimbang setiap barang elektronik yang dipilah. Sementara, Yorkie dan Pranandya Wijayanti selaku External Relation Manager EwasteRJ sigap mengelompokkan barang elektronik bekas sesuai kategorinya dari dalam kardus atau tas plastik.
Saat asyik memilah sampah, sebuah mobil berhenti di depan pagar gudang EwasteRJ. Seorang pria turun dari mobil, mengeluarkan televisi tabung berlayar datar dengan ukuran besar yang terlihat masih mulus. Ternyata, televisi tersebut sudah lama rusak. Pria yang tinggal di kawasan Jakarta Pusat itu mendapat informasi dari media sosial EwasteRJ.
“Kami menerima pengiriman sampah elektronik warga. Bisa dilihat di media sosial EwasteRJ jenis e-waste yang bisa dikirim. Sebelumnya isi formulir dulu jenis sampah elektronik,” jelas Yorkie.
Selain kampanye untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya sampah elektronik, komunitas tersebut juga membuka titik pengumpulan agar masyarakat tak bingung membuang sampah elektronik. Tak hanya di Jakarta, titik-titik pengumpulan dan agen EwasteRJ juga sudah ada di berbagai daerah lain.
Yorkie menambahkan, pengumpulan sampah elektronik yang masuk ke gudang EwasteRJ rata-rata bisa mencapai 300 kilogram dalam dua bulan. Relawan akan memilah dalam enam kategori sehingga siap dikirim ke perusahaan pengolahan e-waste yang bekerja sama.
Pranandya mengatakan, ada kurang lebih 1,7 juta ton sampah elektronik di Indonesia per tahun yang mengandung zat kimia berbahaya di dalamnya.
Turun tangan
Rafa sebenarnya masih bersekolah di SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah. Namun, sejak pandemi Covid-19, dia kembali ke rumah orangtuanya di Depok, Jawa Barat. Di tengah kesibukannya menjalani persiapan mencari perguruan tinggi idamannya, Rafa tetap menaruh perhatian pada perkembangan Komunitas EwasteRJ.
Rafa turun tangan untuk ikut memilah-milah kiriman sampah elektronik yang dikirim ke gudang sehingga siap dikirim ke perusahaan pengolah e-waste yang tersertifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sampah elektronik akan didaur ulang berdasarkan materialnya, sedangkan untuk bahan berbahaya dan beracun (B3) akan dilakukan perlakuan lanjutan.
Seperti di hari Minggu (28/2/2021) pagi, Rafa tengah menjalani uji coba (try out) untuk masuk perguruan tinggi negeri secara daring. Setelah usai, Rafa tak lantas berleha-leha menikmati libur. Dia bergegas menyetir mobil dari rumahnya di Depok menuju Gudang EwasteRJ di Jalan Kodirun, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dengan semangat, dia dan sejumlah pegiat komunitas memilah tumpukan sampah elektronik.
“Habis dari sini nanti mau main basket. Pokoknya, pintar-pintar manajemen waktu saja. Kadang, ya, dengan pengorbanan waktu. Akhir pekan biasanya bisa untuk santai-santai, jadi untuk ngurus komunitas. Tapi aku sih suka, ya, melakukan kerjaan ini,” ujar Rafa.
Baca juga:
Widya Putra, Budidaya Jamur untuk Edukasi dan Produk Makanan
Di masa pandemi, Rafa aktif menjadi narasumber secara daring di berbagai acara untuk mengkampanyekan penanganan sampah elektronik. Kesempatan ini dipakai Rafa untuk berbagi kisah tentang dampak sampah elektronik yang belum disadari. Sampah elektronik yang masuk kategori limbah B3 harus ditangani secara khusus.
Rafa menjelaskan, jumlah sampah elektronik ini semakin banyak karena pesatnya perkembangan teknologi. Sebagai contoh, banyak orang yang tiap tahun berganti gawai.
“Sampah e-waste ini solusinya bukan hanya didaur ulang. Ini hanya sebagian dari solusi. Kami terus mengajak masyarakat untuk berpartisipasi mengelola sampah elektronik dengan menyediakan dropbox dan agen di berbagai daerah. Sejumlah pemerintah daerah dan perusahaan juga sudah terlibat,” kata Rafa yang juga berprestasi di olahraga basket dan debat Bahasa inggris.
Menurut Rafa yang juga aktif di OSIS, sebenarnya pengelolaan sampah elektronik ini menjadi tanggung jawab produsen. Di luar negeri, biaya daur ulang sudah dibebankan ke pembelian. Di Indonesia masih dilema karena belum ada aturan yang jelas.
Akibatnya, sampah elektronik dibuang begitu saja oleh konsumen, atau diambil pemulung, dan terbuang ke lingkungan. Kondisi ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan karena sampah elektronik memiliki kandungan zat kimia berbahaya.
“Jangan buang sampah elektronik sembarangan. Ada perlakuan khusus untuk mengolah sampah elektronik yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan yang tersertifikasi,” kata Rafa Jafar.
Sampah elektronik dipilah oleh perusahaan pengolahan legal sesuai material yang bisa didaur ulang. Semisal di gawai bekas ada material kaca, plastik, hingga aluminium. Yang tidak bisa digunakan lagi akan diproses lebih lanjut, yang intinya dibuang secara aman agar tidak merusak bumi.
Jangan buang sampah elektronik sembarangan. Ada perlakuan khusus untuk mengolah sampah elektronik yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan yang tersertifikasi. -- Rafa Jafar
Kesadaran masyarakat
Rafa mengaku senang upaya sekitar tujuh tahun yang dimulai dari gerakan di sekolah itu perlahan bisa beranjak ke luar. Ada titik pengumpulan bagi masyarakat yang hendak menyerahkan sampah elektronik yang rusak, dari setrika, baterai, pengering rambut, colokan, sampai televisi atau komputer lama.
Lewat media sosial, seperti akun Instagram @ewasterj, masyarakat bisa lebih mengetahui berbagai hal mengenai sampah elektronik sampai dengan bagaimana caranya menanganinya. Selain itu, ada juga tips memilih alat elektronik.
Untuk mengajak anak muda menjaga bumi, komunitas membuka lowongan menjadi agen. Saat ini, ada sekitar 20 agen pengumpulan sampah elektronik. Mereka diajari untuk menjadi agen yang mampu mengedukasi masyarakat di sekitarnya. Anak muda diajak berkontribusi lewat gaya hidup minim sampah elektronik.
Minat dari anak-anak muda lain pun terlihat dan mereka ingin tahu bagaimana cara bisa terlibat. Hal itu membuat titik pengumpulan sampah elektronik yang digagas Komunitas EwasteRJ bisa menyebar ke berbagai daerah.
Menurut Rafa, Komunitas EwasteRJ ingin lebih jauh lagi menjangkau kesadaran soal bahanya e-waste yang tidak dikelola dengan baik. Kesadaran gaya hidup yang bekelanjutan juga disasar.
Baca juga:
Rulyta, Abdul Azim & Rahma, Ciptakan Inovasi Alat Tes Mutu Minyak Goreng
Menurut Rafa, di Indonesia, sampah elektronik skala rumah tangga belum dikelola dengan baik. “Padahal rumah tangga juga penyumbang sampah elektronik yang juga besar. Selain itu, tujuan kami untuk mendata supaya tahu jenis dan jumlah sampah elektronik yang ada di rumah tangga sehingga bisa jadi masukan untuk pengelolaan lebih baik ke depannya,” kata Rafa.
Dia juga ingin menyampaikan pesan kepada para produsen supaya memiliki tanggung jawab dalam menghasilkan produk ramah lingkungan. Produsen juga diharapkan bisa menghasilkan perangkat elektronik yang bertanggungjawab secara lingkungan, mulai dari proses desain hingga distribusinya. Pemerintah juga diminta bisa mengatur bagaimana tanggung jawab produsen untuk memastikan sampah elektronik bisa ditangani dengan baik.
Rafa mengatakan banyak anak muda yang mulai bergerak untuk menyelamatkan lingkungan karena melihat dampak buruk sampah. Kesadaran tentang sampah plastik, misalnya, dipicu karena orang melihat dampaknya yang buruk ke pantai lalu terpanggil untuk begerak.
Tapi sampah e-waste ini belum banyak yang melihat ini sebagai masalah. -- Rafa Jafar
“Tapi sampah e-waste ini belum banyak yang melihat ini sebagai masalah. Aku dulu sempat field trip, ke pengolahan yang legal dan nonlegal. Aku sebagai pengguna elektronik, baru tersadar setelah melihat langsung. Aku jadi semakin mau melakukan (aktivitas ini),” kata Rafa.
Gerakan Komunitas EwasteRJ, yang sudah diperkuat secara legal dengan membentuk Yayasan Peduli Sampah Indonesia, ini, akhirnya mendapat perhatian. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian mendukung kegiatan pengumpulan sampah elektronik dari masyarakat.
Demikian pula Pemerintah Kabupaten Tangerang juga bekerja sama dengan EwasteRJ menyediakan tempat sampah khusus (dropbox) dan mobil box keliling untuk menampung sampah elektronik warga. Ada dukungan pula dari Kedutaan Besar Selandia Baru di Jakarta. Sejumlah perusahaan juga mengajak bekerja sama, salah satunya Telkomsel Indonesia.
Perjalanan panjang untuk mewujdukan ekositem pengelolaan e-waste di Indonesia jadi mimpi Rafa dan tim EwasteRJ. Rafa pun berkeinginan mendalami bidang hukum saat kuliah nanti supaya dia bisa terlibat lebih jauh lagi dalam advokasi untuk isu sampah elektronik di Indonesia.
Rafa Jafar
Lahir : Jakarta, 7 Februari 2003
Pendidikan :
- SD Cikal, Cilandak, Jakarta (2009 – 2015)
- SMP Labschool Kemayoran (2015 -2018)
- SMA Taruna Nusantara (2018 – sekarang)
Kegiatan : Pendiri Komunitas EwasteRJ
Penghargaan, antara lain:
- Penghargaan 75 Ikon Prestasi Pancasila 2020 Bidang Social Entrepreneur oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
- Youthtopia Circle of Youth, organisasi perkumpulan anak muda di seluruh dunia (2021)
- Ashoka Young Changemaker (2019)
- Penghargaan Gubernur DKI Jakarta atas dukungan dan partisipasi dalam program pengelolaan limbah elektronik di Provinsi DKI Jakarta (2019)
- Juara Umum World Creativity Forum di Korea Selartan (2017)
- Jamboree International New Zealand (2016)
Karya:
- Buku E-Waste: Sampah Elektronik, 2015
- Buku Sampah Baterai, 2018
- I Am A Young Changemaker (dalam proses)