Mengungkap Rasa, Menulis Cerita
Sebagian anak muda yang suka menulis cerpen antusias mengikuti Kelas Muda "Semua Bisa Bercerita".
Bagi sebagian anak muda, menulis menjadi katarsis untuk mengenal diri sendiri dan mengekpresikan diri. Ide menulis bisa datang dari mana saja, termasuk cerita selama pandemi Covid-19. Semua rasa yang terungkap bisa dituangkan melalui cerita pendek.
Situasi serba tak pasti, perasaan cemas dan sepi yang menyelimuti, serta rindu terhadap teman dan keluarga bisa diolah menjadi tulisan menarik. Semua orang ingin mengungkapkan rasa melalui sebuah tulisan.
Antusiasme generasi muda untuk belajar menulis terasa dalam Kelas Muda Mengenal Dunia Penulisan Cerpen: ”Semua Bisa Bercerita” bersama wartawan Harian Kompas, Putu Fajar Arcana dan Hilmi Faiq, Sabtu (20/3/2021). Dalam diskusi secara virtual yang dipandu Fellycia Novka ini berlangsung selama 2,5 jam ini dan diikuti sekitar 200 peserta.
Peserta yang berasal berbagai daerah di Indonesia juga aktif bertanya kepada para pembicara. Tercatat ada 86 pertanyaan yang muncul dari para peserta. Pertanyaan yang muncul sangat beragam, seperti terkait upaya mengatasi kebuntuan penulis (writer’s block), membangun awal cerita yang menarik minat pembaca, mengolah kisah pribadi menjadi cerita pendek, hingga menutup cerita agar memberikan rasa penasaran dan misteri kepada para pembaca.
Keseruan berlanjut saat tantangan bercerita. Salah satu peserta menceritakan tentang kisah cintanya di sekolah. Lalu, Hilmi Faiq membuat kalimat pembuka cerita, ”Aku mengharapkan kantuk, tetapi dia malah mendekap orang lain, akhirnya aku insomnia. Begitulah aku ibaratkan perasaanku kepadamu.”
Pancingan itu membuat peserta penasaran ingin melanjutkan ceritanya.
Salah satu peserta Kelas Muda, Attar Darnis (17), mengatakan, ia sudah suka menulis dan membaca sejak duduk di bangku SD. Pelajar kelas III SMA An Naja di Bandung, Jabar, ini senang menulis karena ia bisa menuangkan curahan hati dalam bentuk kata-kata. Curhat itu diramu sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik dan bisa dinikmati siapa saja.
Kepiawaian Attar menulis cerita semakin terasah selama pandemi. Di tengah masa karantina, Attar punya waktu lebih banyak untuk menuangkan gagasan menjadi tulisan. ”Saya senang, menulis membuat waktu saya tidak terbuang sia-sia. Selain itu, selama pandemi saya mengikuti banyak kelas menulis untuk meningkatkan kemampuan,” ujarnya.
Untuk membuat kisah yang menarik, Attar mengail ide dari banyak peristiwa dan kejadian di sekitarnya. Ia juga sering mendapatkan ide menulis dari film, buku, ataupun dari imajinasinya. Beberapa karya Attar dipublikasikan dalam bentuk buku kumpulan cerpen dan Wattpad.
Pandemi juga membuat Yasmin Medina (21), kembali ke dunia tulis-menulis. Menurutnya, menulis memberikan banyak manfaat, termasuk proses menyembuhkan diri dan sebagai sarana hiburan. ”Misalnya, ketika patah hati, aku bisa menuliskan berdasarkan pengalaman pribadi. Ini membuatku lega dan terhibur. Aku bisa ketawa sendiri setelah membaca tulisanku,” katanya.
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Mulawarman, Samarinda, ini sudah suka menulis fiksi sejak duduk di bangku SD. Namun, kesibukan membuatnya fokus pada hal lain, seperti menyusun karya ilmiah dan karya-karya jurnalistik. Kini, di tengah pandemi, Yasmin ingin kembali menulis karya-karya fiksi, seperti cerita pendek.
Menurut dia, pandemi Covid-19 memberikan cukup banyak ide menulis, seperti terkait kebiasaan unik teman-temannya ketika harus menjalani kuliah daring. ”Kalau mendapatkan ide, saya menuliskan di notes di telepon seluler. Saya ingin sekali mengembangkan ide menjadi cerita yang utuh agar bisa dinikmati oleh pembaca,” katanya.
Gilang Satria Perdana (30), salah satu peserta webinar asal Tegal, Jawa Tengah, keranjingan dengan dunia tulis-menulis sejak SD. Berawal dari tulisan diari tentang kegiatan sehari-hari, tulisan laki-laki ini berkembang menjadi buku catatan pemikiran dengan topik beragam, mulai dari kesibukan sehari-hari hingga ide untuk pembangunan bangsa.
Gilang juga rajin menulis cerita pendek dan sesekali menikmati puisi, terutama karya Joko Pinurbo. Kebanyakan cerpen yang ditulisnya bertema percintaan, kehidupan, horor, dan fiksi ilmiah. Belakangan, terutama pada masa pandemi ini, Gilang jadi rajin untuk menulis tentang kondisi emosi dan kesehatan mental. Gilang menggunakan kemampuannya menulis jurnal pribadi sebagai salah satu bentuk terapi penyembuhan diri sendiri.
”Masa lockdown ini memberi saya kesempatan untuk bisa hening sejenak dan jujur sama diri sendiri tentang kondisi diri. Ini memaksa saya untuk memperkuat hubungan dengan diri dan Tuhan. Apalagi, saya dibantu dengan menulis jurnal pribadi sebagai terapi,” kata Gilang.
Melalui tulisan, Gilang menelusuri akar masalah kesehatan mental yang dimilikinya. Ia juga berkonsultasi dengan psikolog untuk mengurai masalah. Sekarang, Gilang fokus melakukan penyembuhan diri atas luka-luka batin di masa kecil.
Kondisi yang sedikit bertolak belakang justru terjadi pada Sinta Rahmawati (20), mahasiswa Prodi Tadris Biologi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Jateng. Gadis asal Pati ini mengalami kebuntuan menulis atau writer’s block selama pandemi sehingga ia kurang produktif.
Padahal, sebelum pandemi, hampir tiap pekan ia membuat puisi dan cerpen. Sekarang pada masa pandemi ia jadi jarang menulis karena rutinitas di rumah sama saja. ”Kalau dulu, aku bisa nongkrong sama teman jadi ada inspirasi. Sekarang, ide menulis cerpen menguap begitu saja,” tutur Sinta yang telah membuat empat karya selama pandemi ini.
Dalam kelas menulis, wartawan Kompas dan penulis Pesan dari Tanah, M Hilmi Faiq, menjelaskan, menurut Sigmund Freud, manusia memiliki mekanisme pertahanan ego sehingga cenderung membela diri lalu menyalahkan orang lain ketika menghadapi masalah. Bentuk mekanisme itu ada banyak sekali, di antaranya penyangkalan, represi, proyeksi, dan rasionalisasi.
Manusia tak jarang melakukan kesalahan dalam memahami diri sendiri atau masalah. Belajar jujur kepada diri sendiri pun tidak mudah dilakukan. ”Kejujuran kadang menyakitkan, tetapi kebohongan berdampak jauh lebih menyakitkan,” ujar Faiq.
Karena itu, lanjutnya, menulis bisa menjadi salah satu cara agar orang bisa mengenal diri sendiri maupun orang yang kesulitan mengekspresikan diri. Mengutip penulis Kate Thompson, menulis untuk diri sendiri adalah terapi pengembangan pribadi. ”Apalagi, menulis, baik itu cerpen maupun puisi, bisa dilakukan kapan dan dimana saja,” katanya.
JK Rowling adalah contoh penulis asal Inggris yang menggunakan tulisan untuk menguraikan beban mental yang pernah dialaminya lewat novel serial Harry Potter. Salah satu karakter, Dementor, adalah tokoh jahat yang menyerap kebahagiaan orang lain. Dementor baru kalah dengan mantra Expecto Patronum yang muncul ketika penyihir memikirkan hal bahagia.
Ada juga Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan pengalaman pahit selama dipenjara tanpa proses hukum lewat surat yang kemudian terbit dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Menurut Faiq, penulis besar kadang muncul dari kondisi yang susah.
Faiq melanjutkan, seorang penulis harus rajin membaca untuk menambah gagasan. Dengan membaca, spektrum cara ungkap penulis akan semakin kaya sehingga tidak akan mengalami kebuntuan menulis atau terjebak dalam gaya yang monoton. ”Diri kita adalah samudra gagasan yang sangat luas jadi kenali diri dan dari situ akan muncul ide kita sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Putu Fajar Arcana, ide menulis bisa datang dari mana saja. Ia menyebutkan, penulis yang baik tidak pernah menyepelekan peristiwa-peristiwa keseharian, betapa pun kecilnya. ”Bahkan, sekadar duduk di atas kloset dan mendengar suara cicak bisa memicu datangnya sebuah ide,” kata wartawan yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Desk Komunitas Harian Kompas dan Kurator Cerpen Digital Kompas.id.
Selain peristiwa keseharian, ide menulis juga bisa berasal dari mitos yang hidup di sekitar kita, cerita rakyat, anekdot, desas-desus dan isu, serta mimpi dan fantasi. Setelah mendapatkan ide, langkah-langkah selanjutnya adalah membuat kerangka tulisan, menciptakan karakter utama dalam cerita, menciptakan konflik dan plot, serta membuat penutup cerita.
Baca juga: Berkarya dengan ”Cuap-cuap”
”Cara paling jitu mengikat pembaca adalah merahasiakan akhir dari cerita sehingga pembaca memiliki kesempatan menduga-duga ke mana arah cerita yang sedang kamu kisahkan,” katanya.
Terkait tantangan utama dalam menulis, yaitu kemandekan penulis (writer’s block), ia menyarankan agar penulis muda bisa keluar dari situasi itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan di luar tulis-menulis, seperti menonton film yang menghibur, menikmati makanan yang disukai, mendengarkan musik, ngobrol dengan teman, serta tidur siang.