Mazaya, Michael dan Daniel Ciptakan Terobosan Gelang Anti-Kekerasan di KompetisiEU Social DigiThon
Inovasi mahasiswa Institut Teknologi Bandung menciptakan gelang antikekerasan bagi perempuan.
Melihat semakin maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, Muhammad Sulthan Mazaya (19), Marcellus Michael Herman Kahari (19), dan Daniel Jeans Ricard Silitonga (20), menciptakan terobosan berupa gelang anti-kekerasan yang dapat mengirimkan pesan darurat dan membunyikan sirine tanda bahaya. Atas inovasi dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial, Mazaya dan kawan-kawan menjadi juara dalam ajang EU Social DigiThon.
Kompetisi proposal dengan tema “Aksi Muda untuk Perubahan” ini diselenggarakan oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, bekerja sama dengan Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI). Dalam ajang ini, para peserta diajak menciptakan proposal dalam bidang informasi digital dan teknologi untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak dan remaja, perempuan dan anak perempuan, serta penyandang disabilitas.
Sepuluh peserta terpilih kemudian memaparkan ide mereka kepada panel juri yang terdiri dari Komisioner Komnas Perempuan, ASIOTI, dan perwakilan Delegasi Uni Eropa. Kriteria yang digunakan juri adalah manfaat sosial ekonomi, orisinalitas ide, tingkat kreativitas, dan dampak yang diharapkan.
Mazaya dan kawan-kawan dari Tim DukaEuy menjadi juara pertama setelah melewati beberapa tahap seleksi yang diikuti hingga 385 peserta. Juara kedua diraih oleh Tim UntukIbu dengan nama proyek “UntukIbu: Pusat Kesehatan dan Jurnal Pendamping Kehamilan Wanita Indonesia”. Yudhis Thiro Kabul dengan nama proyek “DTRON Smart Chair” dan Tim Solutioner dengan proyek “Aplikasi E-Learning untuk Penyandang Disabilitas, Sensorik Berbasis Artificial Intelligence (ELAIS)” menjadi juara ketiga.
Para pemenang berhak atas dukungan dana untuk mewujudkan gagasannya. Pemenang pertama meraih Rp 50 juta, pemenang kedua meraih Rp 30 juta. Dua tim di posisi ketiga masing-masing meraih hadiah Rp 20 juta. Keempat pemenang ini juga mengikuti program mentoring yang dipimpin oleh para ahli dari Uni Eropa.
Daniel mengatakan, ide membuat gelang anti kekerasan muncul karena ia sering mendengar laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dialami oleh teman-temannya. “Kekerasan terhadap perempuan terjadi tidak mengenal usia. Bahkan ibu teman saya juga mengalami kekerasan,” katanya, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (11/3/2021).
Setelah melakukan riset lebih jauh, tim ini menemukan fakta bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan kian mengkhawatirkan selama pandemi Covid-19. Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan 2020mencatat,jumlah kasus kekerasan terhadap perempuansepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Data pengaduan ke Komnas Perempuan mengalami peningkatan drastis 60 persen dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.
Untuk melindungi perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan orang tua, maka tercetuslah ide untuk membuat gelang anti kekerasan. Gelang ini terhubung dengan perangkat lunak di telepon genggam untuk merekam suara apabila terjadi kekerasan dan juga untuk mengirimkan pesan darurat kepada nomor yang sudah didata di dalam telepon pintar.
Mazaya menuturkan, sebelum membuat gelang anti kekerasan ia sudah melakukan riset mendalam tentang berbagai inovasi yang sudah dibuat untuk melindungi perempuan. Dalam risetnya ditemukan bahwa sudah ada beberapa terobosan untuk melindungi perempuan, seperti ada layanan darurat untuk menghubungi nomor darurat ketika terjadi kekerasan.
“Kami membayangkan sebagai korban kekerasan, bukankah ketika terjadi kekerasan korban sangat sulit mengakses telepon genggam dan menghubungi nomor darurat. Ketika bisa menghubungi nomor darurat, biasanya setelah kekerasan terjadi. Itu artinya, layanan itu belum maksimal melindungi perempuan,” jelasnya.
Tim ini memeras otak untuk menemukan solusi yang memudahkan perempuan menghubungi atau mengirim pesan kepada nomor darurat. Produk dalam bentuk gelang dipilih karena mudah dipakai dan bisa dipasangkan perangkat pintar. “Dengan gelang anti-kekerasan ini, kalau ada potensi bahaya bisa langsung menekan tombol untuk mengirimkan pesan darurat kepada nomor yang sudah didata di perangkat lunak. Jadi bisa melindungi perempuan dan anak-anak dari tindakan kekerasan,” jelasnya.
Selain mengirimkan pesan darurat, gelang ajaib ini juga dilengkapi fitur-fitur lainnya, yaitu membunyikan sirine tanda bahaya dan merekam suara dan percakapan ketika situasi darurat terjadi. Pesan ini bisa menjadi bukti kekerasan terhadap perempuan dalam laporan kepada pihak berwajib. Ia menjelaskan, tantangan utama membuat gelang ini adalah memastikan dimensi gelang tetap kecil, tetapi bisa dipasang alat-alat dengan berbagai fitur unggulan.
“Kami senang karena EU Social DigiThonmemberikan kami sesi mentoring dengan tim ahli. Kami bertanya mengenai kendala yang kami hadapai dan mereka membantu kami menyelesaikan persoalan,” jelas pemuda yang hobi coding dan web development ini.
Tertarik sejak lama
Ketiga mahasiswa tingkat pertama di Institut Teknologi Bandung ini tumbuh di tengah teknologi yang semakin berkembang.Mereka sudah sejak muda terpapar teknologi digital. Ditambah adanya pemahaman dan peluang yang semakin besar, ketiga pemuda ini tertarik untuk mendalami transformasi teknologi dan industri untuk masa depan.
Mazaya tertarik dengan dunia internet sejak menjadi santri di Pondok PesantrenAmanatul Ummah, Mojokerto, Jawa Timur. Pemuda yang menempuh pendidikan di Fakultas Teknologi Industri ini pernah bergabung dengan klub robotik di pesantren. Ketika masuk kuliah di ITB, ia bergabung dengan Developer Student Clubs, program pelatihan developer dari Google.
Di klub ini, Mazaya berkenalan dengan Michael, yang bersama Daniel kuliah di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. Mereka kemudian mengikuti lomba Ganesha IoTech di ITB, sebuah kompetisi tentang Internet of Things dan implementasinya di lingkungan sehari-hari.Dalam lomba ini, Mazaya dan Michael membuat perangkat dengan tujuan memajukan tanaman hidroponik di Indonesia.
Mazaya tertarik dengan dunia digital dan internet karena bidang ini memberikan pengalaman tidak terbatas. “Apalagi saat ini, transformasi industri bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Saya kaget saat mengetahui EU Social DigiThon diikuti lebih dari 350 peserta, berarti ada banyak masalah sosial dan solusi dalam bentuk teknologi digital,” jelasnya.
Berbeda Mazaya yang sudah tertarik dengan dunia internet sejak lama, Michael justru baru tertarik setelah kuliah di ITB. “Waktu sekolah sama sekali tidak tertarik. Ketika kuliah di ITB dan setelah membaca banyak tulisan tentang perkembangan teknologi, saya baru mulai tertarik di bidang ini,” ujar pemuda yang sempat tertarik kuliah di jurusan perminyakan ini.
Meskipun banyak anak muda yang tertarik menyelami dunia digital, menurut Daniel, di daerah asalnya di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. keadaan masih serba terbatas sehingga tidak banyak anak muda yang bergelut di bidang ini. “Kalau mau belajar ya harus cari informasi sendiri di Youtube dan baca-baca melalui internet,” katanya.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piketmenuturkan, melalui kompetisi EU Social DigiThon, pihaknya ingin menciptakan kaitan antara informasi digital, teknologi, serta solusi terhadap masalah sosial dan hak asasi manusia yang muncul akibat pandemi Covid-19. “Melalui kompetisi ini, kami juga ingin membangun hubungan yang lebih dekat dengan kaum muda Indonesia. Kami menerima respon yang luar biasa dari anak muda yang menggunakan kreatifitas dan pemikiran kritis untuk memecahkan masalah,” katanya.
Piket menjelaskan, covid-19 datang seperti awan gelap. Di satu sisi, masyarakat diharapkan bisa merespons masalah kesehatan dan perlindungan terhadap warga negara. Namun, di sisi lain perlu juga ada perhatian terhadap kelompok masyarakat yang terdampak pandemi, seperti perempuan dan anak-anak. Masalah-masalah sosial seperti meningkatnya angka pengangguran, kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasa dalam rumah tangga, merupakan beberapa persoalan serius yang harus segera dicari jalan keluarnya.
Perubahan sosial
Beberapa tahun belakangan ini, muncul berbagai inovasi di bidang teknologi dari generasi muda yang dibuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Harapannya, inovasi yang dibuatnya bisa segera diimplementasikan ke tengah masyarakat.
Sebutlah beberapa di antaranya Muhammad Sulthan Mazaya, Marcellus Michael Herman Kahari, dan Daniel Jeans Ricard Silitonga, yang menciptakan terobosan berupa gelang untuk melindungi perempuan dari bahaya kekerasan berbasis gender. Demikian juga Yudhis Thiro Kabul Yunior dan Fattaah Septian membuat kursi roda berbasis internet untuk membantu kaum disabilitas.
Inovasi yang dibuat oleh generasi muda ini, selain kreatif, diciptakan berdasarkan data dan riset, juga solutif atau mampu menjadi solusi untuk persoalan-persoalan sosial. Meski mampu menciptakan berbagai terobosan yang relevant dengan situasi sehari-hari yang sudah dihadapi, anak-anak muda tetap memerlukan dukungan untuk mewujudkan gagasan mereka. Dukungan itu dalam bentuk pendampingan, pendanaan, hingga pemasaran produk. Bagaimanapun juga, dibutuhkan kerja sama antar pihak untuk mewujudkan perubahan sosial.
Generasi muda yang mengikuti kompetisi proposal EU Social DigiThonini sebagian besar merupakan generasi Z, atau di disebut juga iGeneration, generasi net atau generasi internet berusia antara berusia di atas 18 tahun. Mereka yang sebagian besar masih duduk di bangku SMA dan universitas ini sejak kecil sudah mengenal teknologi. Dengan kepedulian terhadap masalah sosial, anak-anak muda membuat terobosan untuk sesama mereka.
Yudhis mengatakan, ide membuat kursi roda berbasis internet dan kecerdasan buatan (AI) muncul setelah ia melihat teman disabilitas yang kesulitan beraktivitas. “Kemana-mana harus didorong dengan kursi roda. Kalau menggerakkan kursi roda sendiri butuh energi,” katanya.
Selama dua setengah tahun terakhir ia melakukan penelitian dan membuat prototype kursi roda berbasis internet dan kecerdasan buatan untuk membantu kaum disabilitas beraktivitas. Dalam proses pembuatannya, ia sering menghadapi kendala seperti mesin terbakar atau kursi roda rusak karena beban terlalu berat. “Ke depannya, kami berharap ada kerja sama untuk memproduksi kursi roda ini sehingga bisa dipakai oleh teman-teman disabilitas,” ujar Yudhis, yang menjadi juara ketiga dalam perlombaan EU Social DigiThon.
Mazaya merasa sangat senang karena bisa menciptakan produk yang memberikan dampak sosial. Bersama dua temannya, ia juga sudah membuat prototype atau gambaran dasar dari sebuah ide untuk nantinya dikembangkan menjadi produk yang utuh. Untuk mengembangkan gelang anti kekerasan ini, Mazaya membutuhkan dukungan, terutama dalam hal pendampingan untuk mewujudkan ide. “Kami senang karena Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, memberikan dukungan berupa program mentoring, dana, dan network,” katanya.
Sementara itu, menurut Zefania Praventia Sutrisno, banyak sekali masalah yang dihadapi perempuan selama masa pandemi. “Seagai mahasiswa, keluhan saya terkait kuliah daring. Tetapi, di luar sana banyak perempuan yang menghadapi tantangan lebih sulit selama masa pandemi. Menurut saya, semua orang punya empati sehingga yang dibutuhkan adalah partisipasi semua pihak untuk mewujudkan ide dan gagasan menjadi kenyataan,” jelasnya.
Untuk membuat terobosan berupa aplikasi untuk mendampingi kehamilan perempuan Indonesia, Zefania dan kawan-kawan mengandalkan kekuatan dan kerja sama sama sesama anak muda. “Kami mengandalkan the power of youth karena anak muda bergerak dengan cepat dan sangat mudah untuk saling mempengaruhi,” jelasnya.
Political Officer Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Marco Bonetti mengatakan, pihaknya berharap bisa mendukung inisiasi dari generasi muda menjadi kenyataan dan membawa dampak positif untuk masyarakat. Untuk itulah, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia memberikan dukungan tidak hanya dalam bentuk dana untuk mengembangkan gagasan, tetapi juga memberikan mentoring bersama ahli di bidang terkait.
Baca juga : Elan Kusuma Negara Bersepeda sambil Menggali Ilmu
“Kami mencari kebutuhan spesifik dari setiap peserta dan menghubungkan kebutuhan itu dengan para ahli. Tujuannya, agar peserta bisa benar-benar menciptakan gagasan menjadi produk yang memberikan impact untuk masyarakat di masa depan,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan, proposal peserta begitu variatif dan menarik. Untuk menentukan pemenang, dewan juri mencari gagasan akan solusi yang betul-betul dibutuhkan oleh kelompok rentan untuk memudahkan kehidupan mereka di tengah situasi pandemi ini.
“Selain dampaknya harus nyata dalam melindungi, meningkatkan harkat, dan menciptakan inklusivitas bagi sasaran penggunanya, solusi ini tidak boleh menciptakan masalah baru akibat penggunaannya,” kata dia.
Muhammad Sulthan Mazaya
Lahir : Bandung, 30 Maret 2002
Hobi : Coding sama web development
Prestasi :
- Juara 3 Mage 5
- Juara 3 Telco Olympiad Telemotion 2020
- Juara 2 Olimpiade IT Unej
- Bronze Medal IISRO kategori Underwater Robot
- FinalisGanesha IoTech
Marcellus Michael Herman Kahari
Lahir: Semarang, 13 Maret 2002
Hobi : Mempelajari hal-hal baru
Prestasi : Finalis Ganesha IoTech
Daniel Jeans Ricard Silitonga
Lahir : Pontianak, 10 September 2001
Hobi : Coding dan mengeksplorasi hal baru
Prestasi : Juara 2 Olimpiade Fisika ISO USU