Elan Kusuma Negara Bersepeda sambil Menggali Ilmu
Elan Kusuma Negara menantang dirinya dengan menggagas proyek yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Gagasan membentuk komunitas sepeda untuk mencari ilmu ke para ahli menginspirasi generasi muda.
Elan Kusuma Negara (17) selalu menantang dirinya dengan menggagas proyek yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Gagasan membentuk komunitas sepeda untuk mencari ilmu ke para ahli menginspirasi generasi muda.
Sejak usia 10 tahun, Elan yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah, berhasil mewujudkan ide Komunitas School On Bamboo Bike yang mendorong anak-anak menggali ilmu dan pengetahuan dari ahlinya secara langsung. Awalnya, Elan yang memilih belajar dengan model homeschooling itu suka bersepeda berkeliling kampung bersama teman-temannya.
Melalui kegiatan bersepeda itu, muncullah rasa ingin tahu Elan terhadap banyak hal. Bersama teman-temannya, dia mendatangi para guru atau orang yang ahli di suatu bidang. Selain memenuhi rasa ingin tahu, kunjungan itu bisa menumbuhkan semangat belajar.
“Yang lazim kan kalau sekolah itu, guru yang datang ke kelas untuk mengajar para siswa. Udah gitu, diajarin apa yang penting menurut guru. Aku mau membuat kegiatan belajar yang beda, justru murid yang datang ke guru,” ujar Elan yang kini tinggal di Tangerang Selatan, Banten, saat diawancara pada Senin (8/3/2021).
Elan mengaku anak yang bosan dengan cara belajar di sekolah. Namun, dia memiliki rasa ingin tahu tentang banyak hal. Dengan dukungan orangtuanya Dodik Mariyanto dan Septi Peni Wulandari, praktisi pendidikan di Salatiga, Elan memilih belajar di rumah atau homeschooling.
Komunitas SoBike muncul karena tantangan di keluarga Elan bahwa anak-anak harus memiliki proyek yang bermanfaat bagi sekitar. Dia yang punya rutinitas bersepeda bersama teman-temannya ke kampung-kampung di Salatiga, terpikir untuk memanfaatkan kesenangannya bersepeda sekaligus menimba ilmu. Namun, dengan cara berbeda, yakni belajar langsung dari orang yang ahliI suatu hal, bisa pengrajin, petani, peternak kuda, seniman, dan ilmuwan.
Yang lazim kan kalau sekolah itu, guru yang datang ke kelas untuk mengajar para siswa. Udah gitu, diajarin apa yang penting menurut guru. Aku mau membuat kegiatan belajar yang beda, justru murid yang datang ke guru.
Awalnya, nama SoBike memiliki kepanjangan School On Bike. Bukan berarti harus bersepeda, namun mengusung konsep pola belajar yang bergerak dari murid mendatangi guru. Karena yang mudah sepeda, komunitas ini mengambil simbol sepeda untuk memaknai belajar dengan bergerak sesuai rasa ingin tahu murid.
Nah, pertama kali Sobike dijalankan, Elan memiliki rasa ingin tahu tentang radio kayu yang dibuat oleh Singgih S Kartono dari Temanggung, Jawa Tengah. Kebetulan Singgih ada di Salatiga. Elan pun mengajak anak-anak bersepeda mendatangi Singgih untuk menggali lebih jauh tentang pembuatan radio kayu Magno yang dikenal di mancanegara tersebut.
“Bersama teman-teman, kami membuat daftar pertanyaan yang ingin kami gali dari Pak Singgih yang akan jadi guru kami. Jadi, sebelumnya ya meriset dulu. Kami strukturkan daftar pertanyaan, lalu membuat janji. Pokoknya, sederhana saja tujuan belajar dari SoBike, asal terjawab rasa ingin tahu anak dengan terjawabnya semua daftar pertanyaan,” ujar Elan yang suka berkuda ini.
Ketika bertemu Singgih, justru Elan mendapat insiprasi. Ketika itu, Singgih yang juga mengembangkan sepeda bambu mengembangkan komunitas Spedagi alias Sepeda Pagi. Lalu, Elan mengubah kepanjangan SoBike menjadi School on Bamboo Bike.
“Simbol sepeda bambu untuk menunjukkan ini ciri khas Indonesia. Sebab, Indonesia itu termasuk negara dengan spesies bambu yang terbanyak di dunia, nomor dua,” jelas Elan.
Elan mendalami pembuatan sepeda bambu di Desa Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sekitar empat bulan. Saat nyantrik atau belajar langsung dari ahlinya ini, dia merakit sepeda bambunya sendiri yang dipakainya dalam kegiatan SoBike. Dia juga mengajak anak-anak desa untuk belajar dengan cara nyantrik.
“Sebetulnya, anak itu rasa ingin tahunya sangat besar. Tetapi kemudian enggak ada rasa ingin tahu karena ditutupi orang dewasa. Di SoBike, kami enggak memancing rasa ingin tahu, tapi merestrukturisasi rasa ingin tahu. Kenapa ini A atau B, restrukturisasi ini untuk mendapat jawaban, bertanya dengan sopan, membuat kalimat atau cara bertanya yang baik, sampai belajar untuk membuat janji temu dengan seornag pakar,” jelas Elan.
Kembali ke Salatiga, Elan tetap bersemangat menjankan SoBike hingga berusia 12 tahun. Tahun 2014, dia diundang menjadi pembicara termuda di acara International Conference of Design For Sustainability di Yamaguchi, Jepang, bersama mentor Elan, Singgih. Di ajang itu, semua kegiatan SoBike dipaparkan Elan untuk menginspirasi anak-anak muda di Desa Yamaguchi.
Dalam perjalanannya mengelola kegiatan sosial, Elan yakin ilmu bisa didapatkan dari mana saja. Untuk itulah, pilihan tempat tinggal yang berpindah-pindah menjadi salah satu cara menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Dia terbiasa untuk hidup terpisah dari keluarganya untuk ke Temanggung, Semarang, Bandung, Jakarta, dan kini di Tangerang Selatan.
Meskipun SoBike tak lagi dijalankan Elan, namun insiprasi dari komunitas ini berkembang. Kegiatan untuk belajar sambil traveling mulai dilakukan banyak keluarga dan berkembang jadi komunitas. Semangatnya untuk mengajak anak belajar dari siapa saja yang dijumpai dalam perjalanan bersama keluarga atau komunitas.
Kini, meski tak berstatus mahasiswa, Elan rajin ikut kuliah umum di kampus Institut Teknologi Bandung dan berdiskusi dengan dosen dalam bidang teknologi informasi. Selain itu, kursus online dari berbagai perguruan tinggi luar negeri bidang teknik dan elektronik juga diikutinya. Salah satunya, kelas online Edx data science Universitas Harvard dan Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat.
Di usia yang masih muda, Elan sudah mandiri dan menemukan jalannya untuk berkarya. Sejak 12 tahun, dia tidak lagi mau menerima uang dari orangtua. Dia memiliki penghasilan dari jualan online sepeda electric unicycle.
Memulai bisnis
Di Tangerang Selatan, Elan tak mau berdiam diri. Dia memulai bisnis di bidang food & beverage. Berawal dari keprihatinan melihat teman-temannya yang kehilangan pekerjaan karena pandemi. Demi membuka usaha kedai Kopi Tualang di Taman Sari Lippo Village, Tangsel, Elan membongkar tabungannya.
“Saya suka mengerjakan sesuatu sambil nongkrong di kedai kopi gitu. Terus pas Covid-19, beberapa teman barista yang saya kenal, jadi mengganggur karena usaha tutup. Dari situ, saya yang sudah belajar dari mentor soal bisnis, harus nekad terjun menjalankan binsis sendiri,” ujar Elan.
Kedai Tualang Kopi merekrut tiga barista serta dua staf layanan antar. Selain memiliki kedai di sebuah pusat perbelanjaan, Elan mengembangkan layanan minum kopi secara berlangganan. Ada paket berlangganan kopi dengan sistem memakai tumbler untuk mendukung gaya hidup ramah lingkungan dengan pengantaran gratis. “Untuk sementara hanya untuk melayani pelanggan di kawasan perkantoran dan apartemen di wilayah Tangerang dan Tangerang Selatan,” ujar Elan.
Uniknya, Elan yang sejak kecil suka merakit robot dari barang-barang sampah, jadi muncul ide untuk membuat robot lagi untuk mendukung bisnis kopinya. Dia yang sudah mendalami tentang programing dan memiliki dasar merakit robot, mengkombinasikan kemampuan untuk bisnsi yang segera dijalankan sekitar Maret. Kini, dia sedang menyelesaikan perakitan kerja robot yang diterapkan di sejumlah alat pembuatan kopi untuk menghasilkan konsistensi rasa.
“Saya cari mentor juga di bisnis. Tapi yang dibilang ke saya, mau dikasih teori kayak apapun dan pemecahan masalah di bisnis, kalau enggak bikin bisnis sendiri, ya enggak akan pernah tahu. Saya modal nekad ya nekad saja dulu dengan tujuan membantu korban PHK akibat pandemic Covid-19,” ujar Elan.
Dengan tersenyum Elan mengatakan, bisnis rintisan yang dibuat dengan konsep memadukan teknologi informasi dan robotik, serta ramah lingkungan ini, sebagai “skripsi”. “Aku harus bisa lulus nih ‘skripsiku’ di bisnis ini. Aku memang akan fokus di pengembangan bisnis, sambil menyiapkan proyek lain juga yang bermanfaat dan jadi solusi,” ujar Elan.
Belajar dengan keluarga
Keluarga jadi tempat Elan Kusuma Negara belajar membuat proyek untuk menemukan solusi dari masalah di sekitarnya. Saat anak-anak lain tekun belajar di sekolah, Elan memilih metode homeschooling. Belajar tak perlu dibatasi dinding sekolah.
Di usianya yang masih muda, Elan memilih jalan belajar di rumah sekaligus membuka wawasan dengan mendatangi ahli atau mentor untuk bidang-bidang tertentu yang diminatinya. Semua itu membuat dirinya semakin percaya diri menemukan hasrat hidup yang akan dijalankannya.
Pilihan Elan yang tak biasa ini tak lepas dari sosok ibunya, Septi Peni Wulandani, praktisi pendidikan di Salatiga, Jawa Tengah, serta dua kakaknya, Ara Kusuma dan Enes Kusuma. Keduanya merupakan anak muda yang sarat prestasi tingkat nasional dan mengembangkan berbagai proyek pemberdayaan masyarakat.
Septi mengatakan, keluarganya menerapkan project based learning untuk anak-anak sejak mereka berusia sepuluh tahun. Langkah pertama dimulai dengan melihat dirinya terlebih dahulu, adakah tantangan hidup yang harus diselesaikan? Kemudian, apakah tantangan tersebut juga dialami oleh orang lain? Mereka diajak untuk membayangkan bagaimana rasanya andaikata bisa menyelesaikan tantangan hidupnya dan akhirnya bisa membantu teman-teman yang memiliki tantangan hidup yang sama? Mereka diajak untuk menggali hal yang mungkin menggelisahkan selama ini.
Setelah berempati, lalu diajak untuk memikirkan aksi. Di sinilah anak-anak mulai menyusun proyek, ada yang selesai bulanan, ada yang butuh waktu tahunan.
Lalu, ada aksi yang sudah dipikirkan menjadi solusi. Proyek yang dibuat di bidang apa pun bermuara pada solusi. Dalam perjalanan proyek menjadi solusi tidak selalu mulus. Ada yang gagal dan berhasil. Karena itu, butuh perubahan pola pikir, yaitu bukan untuk menyerah kala menghadapi tantangan, melainkan melihatnya sebagai baru untuk mencapai solusi.
“Seringkali dalam menjalankan proyek, bidang yang dilakukan berbeda-beda. Tetapi, yang penting adalah peran mereka. Saat menjalankan proyek, peran apa yang membuat mata anak-anak berbinar,” tutur Septi.
Setelah dewasa, pengalaman memahami peran, bidang, struktur berpikir dan pengalaman membuat proyek sejak kecil tersebut, menjadi bekal dalam menggagas aneka macam proyek seperti sekarang.
Elan menjalankan proyek yang menjawab rasa gelisahnya tentang pendidikan formal di sekolah yang seringkali “membunuh” rasa ingin tahu anak lewat Komunitas SoBike.
Dalam perjalanan waktu, dia menemukan proyek menjadi wirausaha dengan memanfaatkan minatnya dalam teknologi digital dan robotik, dapat menjadi solusi untuk membuka lapangan kerja bagi pengangguran akibat dampak Covid-19.
Pendiri Rumah Millennials Taufan Teguh Akbari yang menjaring komunitas anak muda, mengatakan, semakin banyak sinyal baik dari anak muda jaman sekarang, yang masih usia sekolah atau kuliah, masuk dalam komunitas dan bisnis. Generasi Zilenial ( 1995-2010), memiliki ketertarikan dalam lima bidang, yakni pendidikan, lingkungan, kesehatan, kewirausahaan, dan teknologi digital.
Baca juga : Ara dan Enes Kusuma, Pembaru Muda yang Tak Henti Mencari Solusi
Elan Kusuma Negara
Lahir : Depok, 20 April 2003
Pendidikan : Homeschooling (mendalami TI, robotika, dan bisnis)
Prestasi :
- Pembicara Termuda di International Conference of Design For Sustainability di Jepang (2014)
Aktivitas :
- Founder SoBike
- Founder dan Pemilik Bisnis Tualang Kopi