Kerumunan Senyawa Mendalilkan Zaman Baru
Duo Senyawa memperlakukan album teranyarnya sebagai alat produksi baru. Makin banyak yang terlibat, makin banyak yang bisa mengambil manfaatnya. Ini strategi bertahan cara musisi eksperimentalis.
Rully Shabara dan Wukir Suryadi menghimpun kerumunan virtual untuk menyebarkan kisah berakhirnya sebuah zaman. Kerumunan itu adalah 44 label dan seratusan musisi lintas negara. Mereka bersepaham kisah akhir zaman dalam album Alkisah disebarkan secara merata dan serentak.
Satu dasawarsa pertama sejak bersekutu, Rully dan Wukir melakukan banyak eksperimen pada musikalitas Senyawa—nama persekutuan itu diambil dari judul album duet pertama mereka. Woto Wibowo, atau Wok The Rock, menduetkan mereka di acara yang ia gagas di Yogyakarta pada 8 Mei 2010.
Tapak musik tradisi berkelindan dengan agresivitas rock, keliaran free jazz, ataupun suramnya drone metal. Demi mencapai itu, mereka tidak memakai alat musik konvensional. Wukir membangun sendiri instrumennya memakai barang bekas, seperti jeruji sepeda, bilah bambu berdawai, spatula pengaduk dodol, sampai garu penggembur tanah. Rully mengeksplorasi segala macam suara yang bisa dihasilkan dari tubuhnya; mulut, tenggorokan, hingga dengusan napas dalam membunyikan lirik bikinannya.
Dengan itu semua, Senyawa telah menghasilkan empat album studio disertai sejumlah mini album yang berkolaborasi dengan musisi kontemporer lain. Cakupan pentasnya sudah ke mana-mana. Tinggal Benua Afrika yang belum mereka sambangi.
Awal 2020, Senyawa ”menutup” perjalanan dasawarsa pertamanya. Untuk menyudahi fase tersebut, mereka melepas album kompilasi berisi rangkuman lagu-lagu lama dalam gubahan baru. Senyawa juga menggelar Tur Nusantara, yang sejatinya dipecah menjadi beberapa babak. Ketika babak pertama baru kelar, pandemi Covid-19 membuyarkan rencana-rencana lainnya.
”Lagu terakhir yang kami mainkan di penutup Tur Nusantara di Bantul adalah lagu baru yang aku kasih lirik ’kiamat sudah dekat’. Itu pertengahan Maret (2020). Habis itu langsung lockdown, he-he-he,” kata Rully lewat sambungan video dari studio mereka di daerah Patangpuluhan, Yogyakarta, pertengahan Februari lalu.
Kelak, lagu itu diberi judul ”Kiamat”, ada di urutan terakhir album Alkisah. Dari lagu itulah, cerita album dikembangkan. Album dibuka dengan prelude ”Kekuasaan” dengan lirik pendek ”apa arti kuasa bila akhir sudah di ujung mata”. Rully menguraikan, kekuasaan, apalagi yang absolut, bertalian dengan kehancuran.
Mereka mempresentasikan lakon itu dengan cara yang relatif baru. Wukir tak lagi memakai instrumen andalannya yang ia beri nama bambu wukir. Dia memetik gitar akustik sebagai mana mestinya. Petikan melodius itu terdengar sedikit saja di trek ”Kekuasaan”. Bebunyian berikutnya ”ditembakkan” dari spatula berdawai dan juga miniatur dari alat bernama industrial mutant, yang bentuk gigantiknya pernah dia pamerkan di ajang Jakarta Bienalle 2017.
Kompatriotnya, Rully, masih memakai rangkaian modular untuk memodifikasi bunyi vokalnya, serta mengimbuhi suara-suara latar. Namun, di album ini, dia tak terlalu jauh mengeksplorasi bunyi. Suara vokalnya lebih difungsikan untuk melafalkan lirik. Pada lagu ”Kabau”, misalnya, kalimat kebajikan dari Ranah Minang terdengar jelas.
Musikalitas yang terpaparkan di album ini boleh jadi adalah rangkuman dari eksplorasi yang telah mereka tempuh selama dasarwarsa pertama. Singel pertama ”Istana” adalah gambaran tepat. Tempo yang pelan justru melipatgandakan kengerian liriknya, yang mendeskripsikan pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan. Lagu ini sekaligus mempertegas tema utuh album.
Membagi kuasa
Narasi kekuasaan itu justru mereka lawan sendiri dalam hal pendistribusian album ini. Berbarengan dengan proses rekaman di daerah Eloprogo, Magelang, Jateng, pada September lalu, Senyawa ”memanggil” pelaku label melalui media sosial untuk mendistribusikan album ini. Mereka sekaligus menggulirkan wacana bahwa ”desentralisasi bisa jadi masa depan”.
”Dalam bidang kami, desentralisasi diwujudkan dalam hal perilisan karya, pendistribusian karya. Kami melepaskan kuasa atas karya tersebut. Kami punya kuasa (atas album itu), tetapi orang lain (label) juga punya. Posisinya jadi sama. Nantinya tergantung bagaimana mereka memanfaatkan kuasa tersebut,” kata Rully.
Gagasan itu disambut baik. Album Alkisah dirilis pada 21 Februari oleh 44 label butik—bukan skala label raksasa—yang berdomisili di banyak kota di dunia. Sebagian di antaranya adalah label dari Beirut, Bukares, Milan, Pekanbaru, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, New Jersey, Amman, Barcelona, Brusel, Hong Kong, Nanjing, Guangzhou, Palu, dan Melbourne. Unit dagang Senyawa, Senyawa Mandiri, juga ikut ”bersaing” bareng para label tersebut.
Sebaran titik distribusi ini menguntungkan penggemar. Orang berdomisili di Jakarta, misalnya, bisa mengontak label terdekat—bisa Rain Dogs di Jakarta atau Disaster Records di Bandung—untuk mendapatkan piringan hitam Alkisah. Cara ini memangkas beban ongkos kirim di pihak konsumen, sekaligus mengurangi jejak karbon pengiriman.
Seluruh label dibebaskan menentukan wujud perilisannya, boleh dalam bentuk piringan hitam, CD, kaset, maupun berkas digital—atau kombinasinya. Label juga bebas menentukan sampul album, jumlah eksemplar, hingga harga jualnya. Penyertaan produk bawaan (merchandise) juga jadi wewenang label.
Otorisasi ini diterjemahkan dengan baik oleh label. Label dari Berlin L_KW, misalnya, menjual album dalam format piringan hitam yang dilengkapi dengan jamu kunyit dan sambal. Harga paket itu 25 euro (sekitar Rp 430.000), atau 18 euro jika hanya piringan hitamnya saja. Adapun label Drowned by Locals dari Amman, Jordania, menjual format kaset bersamak kulit dengan tambahan belati tradisional. Selain menjual CD dan kaus, label Otakotor Records dari Yogyakarta menjual pot kaca untuk tanaman hias yang dilengkapi kode QR untuk mengunduh berkas digital album Alkisah.
Di luar itu, para label disarankan mengajak musisi setempat untuk merespons lagu-lagu di album Alkisah. Tercatat lebih dari 150 musisi membuat remix lagu pilihan mereka. Coraknya beragam. Ada yang mengubah aransemen menjadi jazz standar, folk, industrial, hingga melulu bunyi modular.
”Kami memberi ruang berekspresi sebebas-bebasnya kepada label untuk menunjukkan karakter masing-masing,” kata Wukir. Kebebasan itu mencakupi kurasi atas musisi yang diajak terlibat. Label dianggap lebih mengenali karakter komunitasnya sendiri.
Contohnya, musisi dari Beirut, God is War, mengubah lagu ”Istana” dan melengkapinya dengan videoklip. Video itu menampilkan cuplikan-cuplikan rekaman CCTV ketika ledakan besar mengguncang ibu kota Lebanon beberapa waktu lalu. Negeri antah-berantah yang dikisahkan Senyawa jadi mendapatkan konteks lewat karya interpretasi baru ini.
”Jadi, ini bukan tentang Senyawa lagi, bukan tentang album Alkisah lagi. Ini adalah kerja bersama. Orang-orang yang terlibat sama-sama boleh menggali manfaat atau keuntungan dari karya (Alkisah) ini,” tutur Rully.
Wujud dari pernyataan itu adalah festival Pasar Alkisah yang berlangsung di internet pada 20-21 Februari silam. Acara itu sebenarnya menandakan peluncuran album. Alih-alih menampilkan Senyawa sebagai bintang, festival itu justru menjadi ajang bagi para label memamerkan hasil kerjanya. Merekalah penampilnya, sementara Rully dan Wukir jadi ”admin” selama acara berlangsung.
Harga bisa diobrolkan
Label yang ikutan kerja sama ini ”menyertakan” modal mereka di awal. Untuk merilis format CD, misalnya, tiap label dikenai biaya Rp 11.000 sampai Rp 15.000 per keping CD, Rp 35.000 per kaset, dan 8,5 euro per keping piringan hitam. Jumlah keping format fisiknya menyesuaikan kekuatan finansial tiap label. Harganya, pun, kata Rully, masih bisa ”diobrolkan”.
Seluruh label berhak menjual format digital album Alkisah di akun Bandcamp masing-masing dengan harga jual minimal 10 dollar AS. Label melaporkan lagu yang terjual setiap bulan beserta royalti sebesar 25 persen kepada Senyawa.
Namun, nilai dari lagu-lagu reinterpretasi diserahkan sepenuhnya kepada label. Mereka berhak menjualnya terpisah dari album Alkisah, atau menyertakan sebagai bonus. Label Disaster Records, misalnya, menjual empat lagu reinterpretasi itu dalam wujud kaset dan berkas digital. Sementara label Rain Dogs menjadikan keping CD lagu remix—berisi empat trek gubahan Bing Renang alias Poppie Airil—sebagai bonus pembelian piringan hitam Alkisah.
Hingga Jumat (5/3/2021), piringan hitam yang dikeluarkan label Rain Dogs hanya tersisa 6 keping dari 100 keping yang mereka sediakan. Menurut Ferry Dermawan, pengelola Rain Dogs, skema yang ditawarkan Senyawa ini menarik dan ternyata masih memberinya profit. ”Idenya menarik untuk dicoba. Setelah dijalankan, ternyata enteng banget dan masih bisa untung. Ini sepertinya format (cara) yang pas untuk label kecil yang dijalankan satu-dua orang,” ujarnya.
Bagi Senyawa, royalti yang didapat dari sistem ini dikumpulkan untuk menghidupi Senyawa Mandiri, unit dagang mereka yang memproduksi beberapa produk, seperti jamu, tembakau linting, dan sambal. Menurut Wukir, cara ini adalah eksperimentasi mereka di luar musikalitas.
”Ini eksperimen bagaimana bisa tetap hidup di masa pandemi. Rencana yang sudah disusun sebelum pandemi harus (kembali) jalan, seperti usaha sablon, produksi jamu, tembakau, biar gerak semua,” kata Wukir.
Rully menambahkan, album Alkisah—dengan skema yang melingkupinya—merupakan salah satu cara bertahan Senyawa di musim paceklik pelaku musik akibat pandemi. ”Dengan cara begini, yang bisa makan bukan cuma kami dan label saja. Musisi lain, juga termasuk perancang sampul dan orang percetakan juga kebagian,” kata Rully.
Disadari atau tidak, produk gagasan berwujud album Alkisah menjelma sebagai alat produksi baru. Senyawa sebagai pencetusnya ”membagi-bagikannya” kepada siapa pun yang membutuhkan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya, sebaik-baiknya.