Setahun Pandemi, Musim ”LDR” Melanda Kita
Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa rapuhnya klaim-klaim kekuatan manusia selama ini dan betapa tidak berdayanya manusia menghadapi krisis besar dan berskala global akibat penyakit.
Pandemi Covid-19 telah merampas kebebasan manusia yang paling dasar, yakni menjalin relasi sosial secara normal. Kita semua tiba-tiba harus menjalin hubungan jarak jauh alias ”LDR” dalam arti luas. Dalam situasi seperti ini, manusia di mana-mana dilanda kecemasan, rasa sepi, dan depresi.
Pandemi Covid-19 bukan sekadar penyakit yang telah merenggut lebih dari 2,5 juta nyawa dan membuat 114 juta orang di seluruh dunia jatuh sakit. Pandemi sekaligus menggedor mental miliaran warga dunia, meneror kita setiap hari dengan bayang-bayang kematian, kesakitan, dan isolasi.
Tidak berhenti di situ, pandemi juga memorakporandakan banyak dimensi kehidupan manusia, termasuk yang paling hakiki, yakni kebutuhan untuk berinteraksi satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial dipaksa melakukan hal sebaliknya, yakni menjaga jarak satu sama lain, bahkan mengisolasi diri demi mencegah penyebaran virus korona. Manusia mendadak harus menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship/LDR) dalam pengertian yang luas dan tidak terbatas urusan asmara.
Dampaknya ternyata tidak main-main. Mari kita simak apa yang dirasakan Cahyanti Utami alias Tami (22), mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, yang tiba-tiba harus terpisah jarak dengan teman-temannya sejak kampusnya ditutup dan sepenuhnya menerapkan kuliah jarak jauh, Oktober 2020.
Dari yang biasanya ketemu, ngobrol, gosip, dan cerita enggak penting, sekarang jadi jarang kontak. Aku jadi merasa ada yang hilang, apalagi temanku enggak terlalu banyak.
”Dari yang biasanya ketemu, ngobrol, gosip, dan cerita enggak penting, sekarang jadi jarang kontak. Aku jadi merasa ada yang hilang, apalagi temanku enggak terlalu banyak,” katanya, pekan lalu.
Setelah beberapa bulan terkurung di rumah akibat pandemi, ia merasa kesepian di tengah kesibukan mengerjakan skripsi. Setiap malam ia kerap menghabiskan waktu untuk termenung, membaca riwayat obrolan, dan membuka aplikasi media sosial. ”Rasanya sedih banget. Kadang-kadang aku bisa nangis karena kangen sama teman-teman,” ujar Tami.
Pandemi juga tiba-tiba memisahkan Fahrana Amelia (27) atau Rara dan tunangannya, Victor Hendriks (31), seorang HR Professional asal Belanda, sejak April 2019. Sebelum pandemi melanda, Victor yang tinggal di Belanda rutin berkunjung ke Indonesia untuk menemui Rara setiap tiga atau empat bulan sekali. Ia akan tinggal selama dua minggu hingga satu bulan.
Setelah pandemi terjadi, kunjungan seperti itu tinggal impian. Pasalnya, Indonesia dan Belanda sama-sama memberlakukan pembatasan warga negara asing untuk masuk ke wilayah negara masing-masing sejak Maret dan April 2020. ”Aku inget banget habis tunangan ada lockdown,” ujar Rara yang bekerja sebagai wirausaha.
Hubungan mereka berdua terbantu setelah Pemerintah Belanda mengumumkan pemberlakuan pelonggaran visa bagi pasangan jarak jauh dan pebisnis mulai akhir Juli 2020. Rara akhirnya bisa mengunjungi Victor dan keluarganya di Belanda sebulan kemudian.
Sebelum dan setelah itu, mereka menjalin kontak dengan perantara aplikasi digital. ”Hubungan jarak jauh ini cukup menantang. Kamu membutuhkan hubungan yang kuat dan koneksi yang mendalam sejak awal. Kamu juga harus memiliki kesabaran dan komitmen. Kalau tidak, sulit untuk dijalani,” ujar Victor yang dihubungi di Belanda.
Persoalan serupa dihadapi sepasang kekasih lainnya, Kalimaya Octa Kumaraningtyas (20) atau Maya dan Hammada Amjad atau Mada (23). Kedua mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Solo, itu sudah 11 bulan tidak bertemu karena terhalang pandemi. Keduanya lantas pulang ke daerah asal masing-masing. Maya pulang ke Tangerang, Banten, Mada pulang ke Jakarta.
Pasangan yang sebelum pandemi sering jalan-jalan dan makan bersama di Solo itu kini hanya bisa bertatap muka di ruang virtual atau sekadar ngobrol lewat teks di aplikasi digital. ”Aku awalnya enggak menduga (ini akan terjadi) sama sekali. Sebelumnya aku hanya berpikir akan LDR setelah pacarku lulus dan balik ke Jakarta. Ternyata, aku terpaksa harus LDR lebih dini karena pandemi,” kata Maya, Kamis (11/2/2021).
Kini, perjalanan cintanya secara ”LDR” dirasakan tidak mudah. Saat terjadi pertengkaran kecil, mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk berbaikan.
Di tempat lain, Rizky Ramadhika (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sempat tidak bisa bersua dengan orangtuanya di Jakarta hampir setahun akibat pandemi. Padahal, biasanya dia pulang ke Jakarta beberapa kali dalam setahun.
Rizky memilih tinggal di Yogyakarta kendati kampusnya memberlakukan kuliah daring mulai Maret 2020. Kedua orangtuanya juga meminta dia tidak pulang terlebih dahulu karena khawatir dengan penyebaran virus. Rizky akhirnya baru memutuskan kembali ke Jakarta pada 23 Februari 2021 menggunakan kereta. Itu pun lantaran ia mesti menjenguk ayahnya yang sedang sakit.
Rapuhnya manusia
Apa yang dialami sejumlah anak muda itu juga dialami jutaan warga dunia lainnya. Kombinasi antara bayang-bayang kematian yang ditebar oleh virus korona baru, kesedihan karena kehilangan orang-orang tercinta, bayang-bayang kebangkrutan ekonomi, lockdown, masa depan yang tak pasti, dan isolasi telah mengaduk-aduk emosi warga dunia.
Pandemi yang telah berlangsung selama setahun, menurut pemikir komunikasi dan kebudayaan, Idi Subandy Ibrahim, menunjukkan betapa rapuhnya klaim-klaim kekuatan manusia selama ini dan betapa tidak berdayanya manusia menghadapi krisis yang besar dan berskala global ini. Krisis ini juga menimbulkan kesadaran reflektif manusia mengenai posisi dirinya dengan alam, lingkungan hidup, makhluk lain, dan bahkan dengan Tuhan.
”Kesadaran itu menimbulkan rasa bersalah bagi sebagian manusia bahwa kerusakan alam dan krisis lingkungan selama ini juga akibat ulah manusia,” ujar Idi yang mengajar di Pascasarjana Universitas Pasundan dan Program Doktor Agama dan Media UIN Bandung.
Wajah dunia yang murung ini tertangkap dalam survei yang dilakukan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) di kalangan kaum muda usia 12-28 tahun di delapan negara, termasuk Indonesia, akhir 2020. Hasil survei menunjukkan, mayoritas responden kehilangan perasaan bahagia, semangat, dan harapan secara signifikan selama pandemi.
Perasaan takut, cemas, sedih, dan marah meningkat lantaran pandemi membuat masa depan dunia semakin tidak pasti. Bahkan, setelah pandemi pun, sekitar 44 persen responden berpikir tantangan yang mereka hadapi akan semakin buruk.
Ungkapan perasaan kaum muda dalam survei ini merupakan dampak dari kehilangan pembelajaran yang luar biasa, kurangnya interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya, meningkatnya risiko kerapuhan sosial ekonomi jangka panjang, serta paparan kekerasan dalam rumah tangga.
Temuan serupa terungkap dalam survei YoungMinds, organisasi amal terkemuka di Inggris yang berjuang untuk kesehatan mental kaum muda usia 13-25 tahun pada Juni 2020. Survei menemukan, 87 persen dari 2.000 responden merasa kesepian atau terisolasi.
Pada kelompok usia yang lebih beragam, data Swaperiksa dari 4.010 responden pada Agustus 2020 yang dikumpulkan Persatuan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI) menunjukkan 62 persen responden mengalami depresi. Sebanyak 15 persen responden bahkan memikirkan soal kematian setiap hari. Mirisnya, hal itu banyak dialami oleh mereka yang berusia 18-29 tahun. Selain itu, ada yang mengalami kecemasan, trauma psikologis, hingga ingin bunuh diri (Kompas, 31/12/2020).
Persoalan kesehatan mental, terutama di kalangan kaum muda, sebenarnya telah menjadi perhatian dunia sebelum pandemi terjadi. Namun, pandemi diyakini memperburuk kondisi kesehatan mental warga dunia secara global, termasuk di Indonesia.
Hingga kini, data pasti berapa banyak orang yang terganggu kesehatan jiwanya secara global maupun di Indonesia belum tersedia. Namun, gejalanya kian nyata. Layanan konsultasi psikologis di kampus-kampus, termasuk di Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga, diserbu mahasiswa yang membutuhkan sejak pandemi.
Konsultasi psikologi lewat aplikasi juga kian diminati. Riliv, layanan curhat berbasis aplikasi yang berkantor di Surabaya, mencatat lonjakan pelanggan hingga 50 persen selama pandemi. Pada Februari 2020, pelanggannya baru sekitar 200.000 orang. Pada akhir tahun 2020 menjadi 300.000 orang. Mayoritas pelanggan berusia 18 tahun ke atas (Kompas, 13/1/2021).
Dilema digital
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menjelaskan, selama pandemi, kebutuhan untuk bertemu, bertatap muka, dan bersentuhan tidak terpenuhi lantaran ada kebijakan penjagaan jarak. Ini jadi tekanan tersendiri. Orang lantas terpaksa melakukan komunikasi jarak jauh dengan perantara teknologi virtual. Sayangnya, lanjut Anna, tidak seluruh pesan dan informasi nonverbal tertangkap lewat chat, telepon, atau panggilan video dibandingkan bertemu langsung. Hal ini rentan menimbulkan kesalahpahaman.
Teknologi digital yang awalnya diasumsikan bisa menjadi jembatan pertemuan antarmanusia ketika relasi tatap muka berkurang secara drastis ternyata tidak bisa diharapkan sepenuhnya. Aplikasi dan media digital yang memungkinkan orang berinteraksi dalam layar ternyata tidak selalu menawarkan kehangatan. Dalam banyak kasus, dunia digital justru menggemakan teror Covid-19 dan teror-teror lainnya lewat berita seram, hoaks, dan komentar yang penuh kebencian atau pesimisme.
Apa daya, transformasi sosial budaya yang berlangsung dalam satu tahun terakhir ini, menurut Idi Subandy, telah mengubah paradigma manusia mengenai makna relasi sosial yang kini sepenuhnya bergantung pada teknologi komunikasi dan informasi. Namun, ia berkali-kali mengingatkan bahwa ketergantungan pada teknologi akan berbahaya jika kesadaran kritis mengenai dampaknya belum terbangun.
Demi menyelamatkan masa depan kita, Idi meminta agar pemangku kebijakan mampu mengantisipasi dan memprediksi setiap kebijakan teknologi sosial dan budaya yang dibuatnya. Di sisi lain, lanjut Idi, kita harus mengembangkan kesadaran kolektif untuk mengembangkan pesan-pesan kemanusiaan yang bijaksana, menumbuhkan harapan, optimisme, dan mengingatkan agar manusia tidak egois.
Setahun pandemi, kita mesti bisa memetik pelajaran kemanusiaan yang amat berharga.