Para Pejuang Cinta di Tengah Ketidakpastian
Gara-gara pandemi, banyak pasangan kekasih mendadak harus menjalin hubungan jarak jauh alias LDR. Apakah hubungan seperti itu akan berhasil?
Ever has it been that love knows not its own depth until the hour of separation - Kahlil Gibran
Menjalin hubungan percintaan bukan perkara mudah. Selain rasa cinta, suatu hubungan membutuhkan perhatian, rasa percaya, komitmen, kesetiaan, kompromi, dan tujuan bersama. Tanpa komponen-komponen ini, ikatan cinta bisa pupus di tengah jalan.
Tahun 2020 membawa tantangan lebih bagi muda-mudi yang tengah pacaran. Bagaimana tidak? Pandemi Covid-19 yang mewabah di seluruh dunia membuat banyak pasangan harus menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship) alias LDR. Ada banyak pengorbanan yang dilakukan demi menjaga hubungan tetap langgeng, termasuk pertemuan rutin di ruang virtual demi melepas rindu.
Selayaknya kuliah jarak jauh, Kalimaya Octa Kumaraningtyas (20), mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, Solo, terpaksa harus menjalin hubungan pacaran jarak jauh. Maya, panggilan kecilnya, sudah 11 bulan tidak bertemu dengan kekasihnya, Hammada Amjad atau Mada (23), mahasiswa Fakultas Hukum UNS.
Maya telah berpacaran dengan Mada sejak April 2019. Keduanya sama-sama anak rantau. Maya berasal dari Tangerang, sedangkan Mada berasal dari Jakarta. Namun, hubungan keduanya terpaksa berubah saat pandemi muncul di Indonesia.
Sejak Maret 2020, Maya pulang ke Ciledug, Tangerang, karena kampus mewajibkan kuliah daring, sedangkan Mada pulang ke Jakarta dan tak lama kembali ke Solo untuk mengurus proses wisuda. Sejak saat itu, mereka tidak pernah bertemu. Padahal, sebelum pandemi, Maya bisa bertemu dengan Mada setiap hari untuk jalan-jalan, makan, atau bercengkerama bersama di Solo.
”Aku awalnya enggak expect sama sekali. Sebelumnya aku udah kepikiran akan LDR setelah pacarku lulus dan balik Jakarta. Ternyata aku terpaksa harus LDR lebih cepat karena pandemi dan ternyata kita bisa-bisa aja,” kata Maya dari Tangerang, Kamis (11/2/2021).
Maya dan Mada sebagai gantinya rutin berkomunikasi via panggilan video, minimal sekali sehari. Mereka berdua sering bercerita tentang kegiatan sehari-hari atau kejadian menarik. Di luar itu, mereka juga sering bercakap-cakap lewat chat. Ponsel pintar menjadi barang wajib yang perlu dipantau setiap saat.
Keduanya juga berusaha menjaga hubungan agar tetap seru, mulai dari menonton film daring bareng atau mengirim hadiah kejutan. Maya juga berencana agar keduanya meng-cover lagu bersama. ”Biar dia happy juga kan walaupun enggak ketemu tapi rasa sayangnya sampai,” katanya sambil cengengesan.
Akan tetapi, ada beberapa hal kecil yang tidak gampang Maya jalani ketika berpacaran jarak jauh. Saat terjadi pertengkaran kecil, mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk berbaikan. Maya pernah tidak menghubungi pacarnya selama dua minggu. Kalau dulu, mereka bisa langsung berbaikan saat bertemu pada hari yang sama.
Perjuangan dalam menjalin hubungan jarak jauh juga dialami Fahrana Amelia (27), akrab dipanggil Rara. Rara, entrepreneur muda, telah menjalani pacaran jarak jauh dengan Victor Hendriks (31), seorang HR professional asal Belanda, sejak April 2019. Setelah menyadari cocok satu sama lain, sejoli ini akhirnya memutuskan bertunangan tahun lalu.
Meskipun tak sering bertemu karena jarak, Victor biasanya menyempatkan diri untuk mengunjungi Rara. Sebelum pandemi terjadi, Victor biasanya berkunjung ke Indonesia setiap tiga atau empat bulan sekali. Victor bisa tinggal selama dua minggu hingga satu bulan. Namun, segalanya berubah setelah pandemi.
Jadwal Rara dan Victor untuk bertemu terganggu. Indonesia dan Belanda memberlakukan membatasi warga negara asing masuk ke wilayah negara masing-masing sejak Maret dan April 2020. ”Aku inget banget habis tunangan ada lockdown. Susah ya karena beda negara jadi kami sama-sama enggak bisa berkunjung,” kata Rara.
Hubungan mereka berdua terbantu setelah Pemerintah Belanda mengumumkan pemberlakuan pelonggaran visa bagi pasangan jarak jauh dan pebisnis mulai akhir Juli 2020. Rara akhirnya bisa mengunjungi Victor dan keluarganya di Belanda sebulan kemudian.
Minimnya kesempatan untuk bertemu tidak memupus komitmen Rara dan Victor untuk menjalin kasih. Mereka berusaha menjaga agar komunikasi tetap intens. ”Balik lagi, kami sama-sama berkomitmen jadi enggak ada masalah sejauh ini. Yang penting kualitas, bukan kuantitas,” ujar Rara sembari tersenyum.
Sementara itu, Victor mengakui, jarak dan zona waktu yang berbeda terkadang menjadi batu sandungan kecil dalam hubungan mereka. Ketika Rara bangun, Victor baru tidur, begitu juga sebaliknya. Belum lagi terdapat perbedaan budaya yang dimiliki keduanya.
”Hubungan jarak jauh ini cukup menantang. Kamu membutuhkan hubungan yang kuat dan koneksi yang mendalam sejak awal. Kamu juga harus memiliki kesabaran dan komitmen kalau tidak sulit untuk dijalani. Sebagai pasangan beda negara, kami harus mempelajari budaya satu sama lain dan menghormatinya, meskipun tidak sepenuhnya mengerti,” kata Victor, dari Belanda.
Komitmen dan komunikasi
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyampaikan, ketika menjalin sebuah hubungan dekat, kebutuhan untuk bertemu, bertatap muka, dan bersentuhan menjadi lebih besar. Pada masa pandemi ini, kebutuhan ini kurang terpenuhi akibat anjuran untuk menjaga jarak.
Pandemi menjadi masa penuh tantangan bagi orang-orang yang terpaksa menjalin hubungan jarak jauh. Platform virtual akhirnya menjadi medium penyambung komunikasi. Namun, aplikasi pesan, media sosial, dan telekonferensi tetap memiliki keterbatasan dibandingkan komunikasi langsung,
Psikolog yang biasa disapa Nina ini mengatakan, komunikasi lewat platform virtual membuat orang melihat pesan-pesan nonverbal, seperti mimik wajah, tarikan napas, gaya bicara, dan lirikan mata. Bahasa tubuh, misalnya gerakan tangan, ayunan kepala, posisi tubuh, ataupun suhu badan, juga tidak terlihat.
”Tidak semua pesan dan informasi nonverbal tertangkap lewat chat, telepon, atau video call dibandingkan bertemu langsung. Untuk mereka yang belum ada keterampilan, hubungan jarak jauh akan lebih sulit karena pasangan jadi lebih sulit dimengerti dan rentan timbul kesalahpahaman,” kata Nina.
Untuk itu, lanjutnya, pembicara dari kedua sisi pasangan perlu meningkatkan kemampuan berkomunikasi agar bisa menyampaikan hal-hal yang tidak terlihat lewat platform daring. Contohnya, apabila kerap menggunakan kata-kata singkat, sudah saatnya lawan bicara saling menggunakan kalimat yang lebih lengkap dalam menyampaikan isi hati.
”Usahakan agar kita tidak banyak berasumsi ketika berkomunikasi. Asumsi sering kali membuat kita rentan untuk baper dan emosional. Padahal, bisa saja maksudnya bukan itu,” katanya.
Bagi pasangan kekasih, Nina menjelaskan, mereka sebaiknya memiliki komitmen dan tujuan yang jelas ketika menjalin hubungan agar tidak mudah goyah ketika menemukan rintangan kecil.
Raden (24) mengakui tidak mendapatkan tantangan berarti selama menjalani hubungan jarak jauh, bahkan selama pandemi, dengan Anin (21). Raden adalah prajurit TNI yang bertugas di Surabaya, Jawa Timur, sedangkan Anin adalah seorang lulusan baru yang tinggal di Jakarta. Keduanya telah berpacaran sekitar dua tahunan.
”Selama pandemi ini hubungan kami baik-baik saja karena dari awal juga enggak sering ketemu kan, paling dua sampai tiga kali setahun. Tetapi bedanya memang untuk ketemuan lebih banyak protokol kesehatan karena harus swab,” ujar Raden.
Menurut dia, keberhasilan menjalin hubungan jarak jauh itu berkat kesepakatan yang telah dibuat antara dirinya dan Anin. Sebelum berpacaran, Raden dan Anin sudah berkomitmen agar hubungan mereka serius sehingga rasa percaya tetap terjaga.