Faye Simanjuntak Memerangi Kejahatan Seksual Anak
Faye Simanjuntak pantang menyerah dalam membela hak anak-anak rentan di Indonesia sehingga mendirikan Rumah Faye.
Lesung di pipi kanannya terlihat jelas setiap kali senyum manisnya merekah. Namun, wajahnya langsung berubah serius ketika berbicara mengenai isu perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi anak. Faye Simanjuntak (18) berpantang menyerah dalam membela hak anak-anak rentan di Indonesia sehingga mendirikan Rumah Faye.
Ketika berusia 9 tahun, Faye yang baru duduk di kelas 5 di SPH Karawaci belajar tentang isu perdagangan anak. Dia terperangah dengan fakta bahwa masih banyak anak Indonesia usia di bawah 14 tahun yang diperdagangkan. Hati bocah cilik ini resah.
Faye akhirnya berinisiatif menulis lebih dari 60 surat ke organisasi anti-perdagangan anak lokal dan internasional serta institusi pemerintah terkait mengenai masalah tersebut. Hanya segelintir yang menjawab dan menawarkan untuk berbagi pengetahuan.
Faye pun memulai kiprahnya sebagai relawan cilik di beberapa organisasi, seperti Compassion First dan Dark Bali, serta aktif terlibat dalam berbagai konferensi anti-perdagangan anak. Namun, dirinya tak puas lantaran menemukan satu hal; anak-anak hanya dilihat sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.
Akhirnya, Faye berinisiatif memulai diskusi sendiri tentang topik yang selama ini dianggap tabu dengan sebuah komunitas di kawasan PLTU Ancol, Jakarta Utara. Tak jarang, Faye mengundang kenalan yang paham isu tersebut untuk menjadi pembicara. Kegiatan ini berjalan selama beberapa bulan.
Faye kemudian bertemu seorang anak yang seumuran dengannya. Anak itu menceritakan dirinya adalah korban kekerasan seksual oleh kakeknya sendiri. Meskipun tak bisa membantu apa-apa, dia sadar sesi curhat itu meringankan beban anak itu. Niat Faye untuk membantu anak-anak lain semakin tak terbendung. Rumah Faye pun berdiri pada 16 Oktober 2013 ketika Faye baru berusia 11 tahun.
”Orang-orang bilang aku terlalu muda untuk membahas masalah ini. Iya, aku terlalu muda, tetapi anak-anak yang diperdagangkan itu juga terlalu muda,” kata Faye saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Visi Rumah Faye, yang kini memiliki 14 karyawan dan 55 relawan, tidak muluk. Rumah Faye memperjuangkan hak yang seharusnya menjadi milik anak-anak, yakni masa depan cerah tanpa perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi. Visi ini diwujudkan lewat implementasi program pencegahan (prevention), pembebasan (rescue), dan pemulihan (recovery).
Faye menjelaskan, program pencegahan bertujuan memutus rantai kekerasan terhadap anak. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi kepada publik mengenai kesehatan reproduksi, perdagangan, dan eksploitasi seksual anak. Rumah Faye juga memberikan anak-anak beasiswa dan pelatihan kepada guru tentang aksi cepat tanggap.
Untuk program pembebasan, Rumah Faye sebelumnya ikut terlibat untuk mencari dan membebaskan anak-anak langsung bersama aparat penegak hukum. Namun, fungsinya kini bergeser sebagai rumah aman bagi anak-anak. Rumah Faye juga mendampingi anak-anak melewati proses hukum, mediasi, visum, konferensi kasus, dan pengadilan.
Program pemulihan fokus pada kondisi fisik dan mental korban. Sebagai korban kejahatan seksual, anak-anak kerap terkena penyakit HIV, penyakit menular seksual, dan kehamilan remaja. Rumah Faye juga memfasilitasi akses pendidikan, layanan psikiater dan kegiatan konseling, seperti membuat barang tembikar, bermusik, dan melukis.
”Sejujurnya penanganan setiap kasus berbeda. Orang-orang selalu berharap setiap kasus ada happy ending. Tapi, kalau ngomong soal perdagangan anak, bahagia itu sederhana. Mereka dapat ijazah SMA saja itu udah luar biasa banget,” kata Faye, yang hobi berenang ini.
Di Rumah Faye, anak-anak juga dibantu agar bisa kembali berintegrasi ke dalam masyarakat dan terhindar dari jerat narkoba atau jaringan prostitusi. Saat ini, Rumah Faye terletak di Batam dan Jakarta. Batam sengaja dipilih karena rentan menjadi kota transit perdagangan dan kejahatan seksual anak menimbang lokasinya dekat dengan Malaysia dan Singapura. Rumah Faye juga akan dibuat di Bali.
Menjangkau anak-anak
Anak-anak yang menjadi korban kebanyakan berasal dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau, dan Jawa Tengah. Tidak hanya menjadi korban perdagangan anak, beberapa juga menjadi korban penjualan organ.
Selama tujuh tahun beroperasi, Rumah Faye telah menampung 108 anak dan 9 bayi. ”Meskipun aku anak 18 tahun, mereka sudah aku anggap seperti anak sendiri jadi sedih melihat struggle mereka,” kata Faye.
Faye berharap, di masa depan, visi dan misi Rumah Faye bisa menjangkau lebih banyak anak yang membutuhkan. Gadis manis ini ingin menyempurnakan program-program Rumah Faye sehingga bisa tetap berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan anak.
Sejauh ini, Rumah Faye telah bekerja sama dengan tiga komunitas di Jakarta, yaitu Sanggar Anak Harapan, Sekolah Alternatif Anak Jalanan, dan komunitas di PLTU Ancol, serta empat komunitas di Kecamatan Nongsa, Batam. Rumah Faye juga bermitra dengan beberapa organisasi, perusahaan, dan instansi pemerintah, seperti KidsRights, Huawei, Soechi Lines, Stella Rissa, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPAI), serta Kepolisian Kepulauan Riau.
Faye mengakui, Rumah Faye tidak akan lahir tanpa dukungan moril dan finansial keluarganya. Sejak kecil, Faye telah belajar mengenai pentingnya pelayanan sosial dan dan pemberdayaan masyarakat dari orangtuanya, Pangdam Udayana Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak dan ibunda tercinta, Paulina Pandjaitan.
Sementara itu, operasional Rumah Faye berada di bawah naungan Yayasan Del, meskipun terkadang Rumah Faye mendapat donasi dari mitra-mitra yang telah diseleksi ketat. Yayasan Del adalah sebuah organisasi nirlaba yang diinisiasi oleh kakek dan nenek Faye, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Devi Pandjaitan.
”Aku mengakui aku mendapat privilege untuk bisa membuat organisasi ini sejak muda tanpa mikir aku bisa makan apa hari ini. Aku berterima kasih kepada keluargaku karena telah mengajari aku memikirkan solusi apa yang bisa aku lakukan daripada memikirkan masalahnya,” kata Faye.
Menjadi seorang anak yang membahas isu tabu tidak mudah untuk dijalani Faye ketika masih kecil, bahkan menjelang dewasa kini. Sudah banyak penolakan yang dialaminya. Apalagi, Faye harus menjadi pemimpin muda di Rumah Faye. Namun, dirinya terus belajar untuk menjadi lebih baik.
”Aku memiliki tanggung jawab untuk mengeraskan suara anak-anak yang tertindas. Jujur, aku sadar Rumah Faye tidak bisa menyelamatkan setiap anak tapi setiap anak itu hidupnya sangat berarti,” ujar Faye.
Solusi kreatif
Setiap generasi biasanya mendapatkan karakter khusus yang terbentuk sesuai zaman mereka lahir. Sekarang ini adalah masanya bagi Generasi Z, lahir antara tahun 1995-2010, untuk berkembang dan eksis. Generasi Z, menurut Pew Research, memiliki karakter ekspresif, suka berdialog, communaholic alias menghargai komunitas, inklusif, pragmatis, dan melek digital.
Di Indonesia, anak-anak Generasi Z telah berkontribusi kepada masyarakat dengan cara mereka sendiri. Dibantu dengan teknologi dan internet, mereka menawarkan solusi kreatif bagi masalah sosial dan lingkungan. Sebanyak sembilan anak muda, berusia 12-20 tahun, terpilih menjadi Ashoka Young Changemakers 2021.
Program Ashoka Young Changemaker merupakan bagian dari gerakan Everyone a Changemaker yang dibangun Ashoka di seluruh dunia. Ashoka Young Changemaker dipilih untuk mengajak anak-anak muda lain menyadari kemampuan dan kesempatan mereka sebagai pembaru sejak usia dini.
CEO of Ashoka Bill Drayton mengatakan, setiap orang adalah pembuat perubahan, termasuk anak-anak dan remaja. Dengan memberikan kepercayaan dan mendukung aksi mereka, generasi muda mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan pendidikan di masyarakat. ”Dengan memberikan rasa percaya diri, mereka berani menghadapi persoalan, menciptakan perubahan, dan menginspirasi,” katanya dalam wawancara virtual Rabu (3/2/2021).
Sembilan remaja Indonesia terpilih itu adalah Faye Simanjuntak (18), Ammara Tahseen (14), Nabila Ishma (19), Azzam Habibullah (19), Nuke Aprilia Cut Meltari (19), Itrin Diana Mozez (15), Catherine Susanto (18), Syazwan Luftan Riady (18), dan Alvian Wardhana (19). Mereka berasal, antara lain dari Jambi, Sumba, Pelaihari, Jakarta, Bandung, dan Deli Serdang.
Setiap remaja itu memiliki cara sendiri. Apabila, Faye memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak lewat Rumah Faye, Ammara berusaha meningkatkan kesejahteraan petani di Baturaden. Selain itu, Nuke membuat pelatihan Nukeytalks guna membantu pengembangan karier anak muda di Jambi.
Nuke menjelaskan, dirinya membuat Nukeytalk untuk membantu teman sebaya menyiapkan diri masuk ke dunia pendidikan atau pekerjaan di Jambi. Di daerah, akses mereka untuk berkembang terbatas. Namun, berkat pemanfaatan teknologi digital, semua itu bisa diatasi.
”Remaja di kota besar terbiasa menggapai cita-cita setinggi mungkin, tetapi mereka yang tinggal di pelosok sering terbentur dengan persoalan pernikahan dini. Dengan platform digital, kita bisa mengetahui kehidupan di luar provinsi kita,” ucap Nuke.
Baca juga: Alvian Wardhana Memajukan Pendidikan Anak Kalimantan Selatan
Remaja-remaja lainnya turut tak kalah kreatif dalam mencari solusi. Itrin membuat Komunitas Pitagoras untuk membangun ruang perdamaian di Sumba yang rentan dengan kekerasan antar-kelompok dan konflik keagamaan.
Sementara itu, Nabila merangkul anak-anak geng motor di Bandung agar bisa mengalihkan potensi mereka ke hal yang bermanfaat lewat metode CDEF (cari tahu, dekati, empati, dan forum). ”Mereka selalu luput dan dianggap sebelah mata. Mereka hanya dipandang sebagai anak nakal sehingga tidak ada yang mau membantu. Padahal, mereka punya hak untuk diperhatikan dan untuk bertumbuh,” kata Nabila.
Program Manager Asia Foundation Mustafa mengatakan, berbeda dengan anak-anak lainnya, para Ashoka Young Changemaker menaruh perhatian pada isu-isu yang tidak biasa. ”Justru menaruh perhatian kepada isu-isu yang amat marjinal, seperti kekerasan dan perdagangan anak. Itu bagi saya amat luar biasa,” katanya, dalam keterangan tertulis.
Faye Simanjuntak
Lahir: Jakarta, 10 April 2002
Pendidikan: Mahasiswa Edmund A. Walsh School of Foreign Service, Georgetown University
Prestasi:
- Young Asians to Watch Singapore dari The Straits Times (2020)
- Gen T Leader of Tomorrow dari Tatler Asia (2020)
- Forbes 30 Under 30 dari Forbes Indonesia (2020)
- Ashoka Young Changemaker Candidate (2021)