Nikmatnya Wisata Kuliner di Pasar Gede Solo
Pasar Gede di Solo menawarkan sensasi wisata kuliner yang unik.
Sejak tiga tahun terakhir, Pasar Gede Harjonagoro, atau biasa disebut Pasar Gede, di Kota Solo, Jateng, bertransformasi dari semula hanya sebagai tempat jual-beli sayuran dan makanan tradisional, menjadi kawasan kuliner kekinian yang digemari generasi muda. Kini, di tengah pandemi Covid-19, kawasan ini sekali lagi membuktikan kepiawaiannya untuk beradaptasi dengan keadaan.
Pasar Gede diresmikan sejak 1923. Sejak dulu hingga kini, pasar ini masih mempertahankan keaslian arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Belanda dan gaya Jawa. Lokasi yang di tengah kota dengan kelengkapan produk yang ditawarkan membuat pasar selalu ramai.
Memasuki pasar ini, pengunjung akan disambut dengan deretan pedagang sayuran, buah-buahan, dan aneka makanan dan minuman tradisional. Begitu naik ke lantai dua di sebelah barat Pasar Gede, baru terlihat suasana berbeda yang lebih modern dan kekinian. Di wilayah ini, toko-toko diubah menjadi warung makanan, seperti kuliner khas barat dan oriental. Ada pula warung makanan tradisional dan warung kopi. Sementara lorong-lorong pasar disulap menjadi tempat makan yang dilengkapi dengan meja panjang dan kursi-kursi.
Sebelum pandemi, kawasan ini cukup ramai dengan para pelancong dari dalam dan luar negeri yang ingin menikmati suasana lain kota Solo. Pelajar, mahasiswa, dan karyawan muda juga kerap menjadikan kawasan ini sebagai melting point. Lokasinya yang berada di tengah kota dengan pilihan kuliner beragam membuat warga senang kumpul-kumpul di sini.
Bobby Ananta, salah satu perintis usaha kuliner di Pasar Gede menuturkan, tiga tahun lalu ketika pertama kali membuka usaha kuliner suasana di pasar, khususnya di lantai 2, masih sangat sepi. Pasar yang identik dengan kondisi kotor dan bau membuat orang-orang enggan menjadikan pasar untuk tempat kumpul atau menikmati makanan.
Kondisi ini berbeda dengan pasar-pasar tradisional yang ada di Eropa, seperti pasar La Boqueria di Barcelona yang mempunyai food market besar, bersih, dan jadi tujuan wisata. Berkaca dari pengalamannya bekerja di sejumlah restaurant di Eropa, pria yang bekerja sebagai Head Chef di St Martin and Crafty, Leicester, Inggris, ini lalu tertarik membuka warung kecil bernama TFP Kopi Warung di Pasar Gede. Bekerja sama dengan temannya yang bernama Meynar Intan, mereka menjadikan pasar tradisional menjadi salah satu tujuan wisata kuliner. Di warung makannya, ia menyajikan menu-menu barat, seperti seperti tuna salad, chicken salad, spaghetti peso tuna, spaghetti mushroom, egg sandwich, dan pancake.
Untuk mendukung usahanya, Bobby menyulap empat toko di pasar menjadi tempat memasak yang terbuka. Suasana dan perabotan di warung ini jauh dari kata mewah seperti layaknya kafe-kafe atau restaurant. Namun, justru di situ menariknya. Meskipun tampilan warung sederhana, tetapi menyajikan makanan dengan rasa yang tidak perlu diragukan lagi.
Untuk menjaga kualitas makanan dan sayuran segar, warung makanan ala barat ini hanya buka pukul 10.00 – 14.00. Sayuran dan buah-buahan diolah langsung atau tidak disimpan berhari-hari di mesin pendingin. Harga makanannya juga relative terjangkau, yaitu di bawah Rp 35.000 per porsi. Untuk menekan harga, bahan baku makanan seperti sayur-sayuran dibeli dari pedagang tradisional di Pasar Gede. Dengan cara ini, pengunjung bisa menikmati menu masakan rasa bintang lima dengan harga kaki lima.
Bobby memilih Pasar Gede untuk usahanya karena ia memang berasal dari Solo. Selain itu, ia ingin menambah kekayaan pilihan makanan di kota yang memang terkenal dengan aneka kulinernya. Sikap maysarakat yang terbuka dan mau menerima perubahan juga mendukung.
Desember lalu, Kompas mencicipi makanan di TFP Kopi Warung di Pasar Gede. Ada perasaan unik ketika menikmati makanan ala barat di tengah pasar tradisional Jawa yang masih mempertahankan keaslian bangunan arsitekturnya. Rasa masakan yang lezat melebur dengan suasana kota yang masih kental dengan unsur tradisionalnya
Ketika pertama kali membuka warung ini, Bobby harus berhadapan dengan kondisi pasar yang memang tidak disiapkan untuk usaha kuliner. Daerah pertokoan misalnya sangat kotor. Selain itu keterbatasan daya listrik sempat membuat Bobby harus putar otak menyiasati kondisi. Akhirnya, diputuskan ia tidak memakai toaster untuk memanggang roti. Bobby justru memakai setrika arang tradisional untuk menghasilkan masakan.
“Setelah dicoba, bisa juga kok. Hasilnya malah bagus dan unik. Keterbatasan ini memang bikin jadi kreatif,” ujar pria yang menjalankan bisnis jarak jauh Indonesia-Inggris, dihibungi dari Jakarta, Minggu (14/2/2020).
Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai mengenal TFP Kopi Warung di Pasar Gede. Pasar yang semula sepi juga mulai ramai. Di sebelah-sebelah warungnya, tumbuh usaha kuliner kekinian dan juga warung-warung kopi yang digemari generasi muda.
Terhadap pertumbuhan ini, Bobby mengaku sangat senang karena ia tidak lagi sendirian membuka usaha di Pasar Gede. “Waku saya membuka usaha pertama kali, pedagang-pedagang lama menyambut kedatangan saya. Sekarang aku juga senang kalau ada orang baru yang mau membuka usaha di sini,” jelasnya.
Alfian (22), barista di kedai kopi dan coklat Meurdue, mengatakan baru setahun terakhir Meurdue membuka kedai di Pasar Gede. Melihat pertumbuhan pasar, pemilik memang memindahkan tempat usaha yang tadinya ada di daerah Laweyan menjadi di Pasar Gede.
Tempat unik
Dita Permata (22), mahasiswa Universitas Slamet Riyadi menikmati kuliner di Pasar Gede bersama dua temannya, yaitu Intan (25), mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, dan Frida (24), karyawan Swasta di Solo. Dita dan kawan-kawan sangat senang makan di pasar karena harganya terjangkau dan tempatnya juga unik. “Pertama kali tahu tempat ini karena aku lihat di Instagram. Setelah datang dan mencoba, ternyata sesuai dengan ekspektasi aku,” kata Dita, yang kuliah di jurusan komunikasi ini.
Sunu Herlambang (22), teknisi perusahaan di kota Solo, cukup sering ngopi di Pasar Gede. Lokasinya yang mudah diakses dan berada di tengah kota membuat ia sering janjian dengan teman-temannya untuk ngopi sambil kumpul di Pasar Gede. “Sebelum ada pandemi, warung kopi di sini juga buka sampai lewat tengah malam. Jadi enak ngumpul di sini,” jelasnya.
Menurut Sunu, orang-orang yang datang ke Pasar Gede juga berasal dari beragam kalangan. Sebagian bahkan turis asing yang sedang berlibur di Solo. Ini membuatnya bisa berkenalan dengan orang-orang baru setiap kali nongkrong di pasar.
Di tengah kemajuan Pasar Gede sebagai pusat kuliner, tiba-tiba badai pandemi menyerang hampir semua negara, termasuk di Indonesia. Ajuran pemerintah agar warga bekerja dan beraktivitas di rumah membuat kunjungan ke tempat-tempat kuliner menurun drastis. Para pengusaha sempat kebingungan memikirkan kelanjutan usahanya, terutama memikirkan nasib belasan karyawan yang bekerja. Di tengah berbagai ketidakpastian dan himpitan ekonomi, pengusaha di Pasar Gede ini mencoba bertahan. Mereka tetap membuka usaha meski tidak seramai biasanya.
Bobby mengatakan ia bersyukur 15 orang karyawannya memegang teguh kearifan lokal yaitu tepo seliro (tenggang rasa). “Di tengah situasi sulit, karyawan menunjukkan sikap tepo seliro yang sangat tinggi. Akhirnya kami sama-sama memikirkan jalan keluar agar karyawan dan customer aman dari virus ini,” ujar pemilik TFP Kopi Warung di Pasar Gede ini,
Di era kenormalan baru, jumlah pengunjung yang makan ditempat dibatasi hanya 25 persen dari kapasitas. Tempat masak yang biasanya dibiarkan terbuka, kini dibatasi partisi plastik. Pegawai juga tertib memakai masker dan mencuci tangan. TFP Kopi Warung sering membuat promo makanan untuk dibawa pulang (take away) agar pengunjung bisa mengubah kebiasaan makan di tempat menjadi makan di rumah.
Baca juga : ”Clean Eating” di Lewi’s Organics Kafe
Bobby menjelaskan, ketika menjalankan usaha kuliner ia ingin mendekati keaslian dengan restaurant di Eropa. Tidak hanya soal rasa dan menu yang ditawarkan, tetapi juga sistem kerja, kebersihan, dan kesegaran sayuran. “Jadi, kalau soal cuci tangan memang sebelum pandemi saya sudah menekankan itu kepada karyawan. Mereka harus rajin cuci tangan karena ini mengikuti sistem orang Eropa yang mengutamakan kebersihan,” jelasnya.
Putu Meta (25), ibu satu anak, membeli delapan porsi makanan di TFP Kopi Warung untuk dibawa pulang. Sebelum pandemi, ia sudah cukup sering makan di Pasar Gede. Ia juga sering mengajak suami dan anaknya untuk wisata kuliner di pasar. Dengan adanya Covid-19, perempuan ini memang tidak bisa lagi makan di tempat demi keamanan keluarga. “Walau tidak bisa makan di tempat, saya bisa bawa pulang makanan ini untuk mengobati rindu,” kata perempuan asli Solo, Jateng ini.