Para pelaku usaha berusaha bertahan di tengah pandemi melalui berbagai cara.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang terjadi berkepanjangan menuntut pelaku usaha untuk beradaptasi dengan keadaan. Berbagai siasat dilakukan untuk bertahan, mulai dari mengubah strategi pemasaran dari yang biasanya tatap muka menjadi melalui media sosial hingga menyesuaikan produk jualan dengan kebutuhan masyarakat.
Shinta Mustikarini, founder Hayra Hajeera, mengatakan, dirinya baru meluncurkan usaha sajadah lipat yang bisa dibawa ke mana saja ketika kasus pertama Covid-19 muncul di Indonesia. ”Awal 2020 kami launching Hayra Hajeera, saat itu kami tidak pernah menduga pada Maret akan ada pandemi,” katanya dalam webinar ”Kembangkan Kemampuan Enterpreneruship-mu: Bagaimana Cara Berkomunikasi dengan Audience!” yang diadakan harian Kompas, Kamis (11/2/2020).
Di tengah situasi pandemi, tantangan yang paling dirasakan adalah pasokan material sajadah harus terkendala karena pemerintah menganjurkan masyarakat bekerja dari rumah. Kalaupun ada vendor yang menjual bahan dan material lain yang dibutuhkan, harganya melambung tinggi. Padahal, menjelang bulan suci Ramadhan, permintaan sajadah sudah mulai tinggi.
Shinta mengakali situasi itu dengan mengorbankan keuntungan penjualan. Baginya, meski profit terbatas, ia senang karena tetap bisa membuka usaha. Shinta juga berusaha beradaptasi dengan keadaan. Ia membenahi distribusi sajadah sekaligus mengikuti anjuran pemerintah untuk mengutamakan kebersihan.
Sebelum sajadah dipasarkan, ia mencuci sajadah, menyemprotkan cairan disinfektan, serta memanaskan sajadah hingga bersih dan aman digunakan. ”Level kebersihan ini kami pastikan agar agar sajadah bisa segera dipakai begitu sampai di tangan customer,” ujarnya.
Pada akhirnya, ia menilai, krisis ini memberikan tantangan sekaligus peluang untuk berbisnis. Shinta menjelaskan, prinsipnya bertahan di tengah situasi krisis adalah ingat tujuan awal dalam berbisnis. ”Tujuan kami, kan, ingin membuat umat Muslim lebih mudah menjalankan ibadah shalat karena mempunyai sajadah yang ringan dibawa ke mana-mana. Jadi, meski profitnya kecil, kami bertahan karena punya tujuan ini,” katanya.
Dalam acara yang sama, Gregorius Ruben, owner dari Yellow Fit Kitchen, mengatakan, tiga hingga empat bulan awal pandemi adalah situasi terberat dalam usahanya. Usahanya di bidang kuliner diet sempat merugi karena masyarakat ketakutan membeli makanan dari luar rumah.
Di tengah situasi sulit itu, Ruben berusaha mengembalikan kepercayaan konsumen. Pelan tetapi pasti, ia juga mulai memasang target penjualan. Kini, Yellow Fit Kitchen sudah muali beroperasi seperti biasa. Konsumen juga sudah kembali memesan makanan sehat dan enak yang bisa mendukung upaya mereka menurunkan berat badan.
Ruben membagikan tips menjalankan usaha, yaitu mengetahui target pasar, menggunakan platform yang tepat untuk memasarkan produk, serta menciptakan konten-konten menarik untuk membangun keterikatan dengan pasar. ”Konten untuk bisa menarik audience itu harus berdasarkan riset. Di platform media sosial kami, konten-konten yang menarik minat biasanya terkait dengan kesehatan, yaitu pentingnya minum air putih atau istirahat selama delapan jam per hari,” kata pria yang mengandalkan Instagram untuk memasarkan produk.
Jurnalis dari desk Komunitas harian Kompas, Joice Tauris Santi, mengatakan, di tengah pandemi ini ada perubahan yang terjadi, baik di sisi konsumen maupun pelaku usaha. Dari sisi konsumen ada perubahan pola konsumsi, seperti pembelian cairan handsanitizer dan masker yang meningkat. Perubahan gaya hidup yang lebih sehat juga memengaruhi pola konsumen dalam membeli sesuatu. ”Hal ini ditanggapi oleh pelaku usaha. Mereka harus fleksibel dan cerdas menyiasati permintaan pasar,” ucapnya.
Joice menjelaskan, beberapa pengusaha kuliner kini switching produk ke makanan beku atau menjual vitamin. Mereka yang biasanya berjualan tas kini jadi menjual masker batik. ”Produknya berbeda, tetapi bahan baku sama,” ucapnya.
Dalam hal pemasaran produk juga kini terjadi pergeseran. Kalau biasanya produk dipasarkan secara tatap muka, kini lebih mengandalkan media digital. Bagi pengusaha muda, situasi ini tidak terlalu memunculkan persoalan karena mereka sudah terbiasa dengan aktivitas yang mengandalkan teknologi. Namun, untuk pengusaha-pengusaha lama, perubahan ini memberikan tantangan bagi mereka.
Joice menuturkan, meski terlihat sulit, di tengah keterbukaan akses informasi semuanya bisa dipelajari. Untuk memasarkan produk makanan yang menggugah selera, misalnya, bisa dipelajari dengan melihat tayangan-tayangan foto pada akun kompetitor. Foto produk juga bisa dilakukan dengan teknologi yang tersedia, seperti telepon genggam.
Shina menambahkan, pemasaran dengan modal yang terbatas bisa mengandalkan media sosial karena penggunaannya gratis. Selain itu, bisa bekerja sama dengan teman-teman untuk promosi. Ia juga menyarakankan agar konten dibuat sesuai dengan target market yang sudah ditentukan.