Ara dan Enes Kusuma, Pembaru Muda yang Tak Henti Mencari Solusi
Kakak beradik Nurul Syahid Kusuma atau Enes Kusuma (24) dan Kusuma Dyah Sekararum atau Ara Kusuma (23) berinisiatif ambil bagian untuk menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya.
Kakak beradik Nurul Syahid Kusuma atau Enes Kusuma (24) dan Kusuma Dyah Sekararum atau Ara Kusuma (23) berinisiatif ambil bagian untuk menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya. Di usia belia, keduanya menerima penghargaan Ashoka Young Changemakers lewat program sosial. Lalu, setelah lulus sarjana, mereka bersatu dalam Aha Poject untuk membantu pendidikan anak-anak Indonesia di masa pandemi Covid-19.
Meski terpisah jarak, Enes tinggal di Bandung, Jawa Barat, dan Ara di Tangerang, Banten, mereka bergiat dalam kegiatan sosial sesuai minatnya masing-masing. Kecintaan pada dunia pendidikan memanggil kedua pembaru muda ini untuk berkolaborasi, membantu anak-anak Indonesia yang harus belajar dari rumah agar bisa tetap belajar dengan cara yang seru dan menyenangkan.
Munculnya ide Aha Project berawal dari keresahan Ara yang bekerja dari rumah. Saat merasa resah, dia memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat di sekitarnya selama pandemi. Dari balik jendela kamar kosnya tertangkap sekelompok anak usia sekolah yang berada di jalanan, tanpa bermasker, lalu menumpang mobil pikap untuk berkeliling.
”Aku yang tadinya merasa enggak tahu bisa melakukan apa di masa pandemi, seperti menemukan ’aha’ moment. Aku jadi terbuka pikiran untuk bisa mencari solusi di dunia pendidikan yang memang aku suka. Aku berpikir, apa anak-anak ini tidak ada kegiatan belajar atau kelas online. Akhirnya, aku teringat pengalaman saat jadi anak sekolah rumah/homeschooling,” ujar Ara yang dihubungi dari Tangerang, Jumat (5/2/2020).
Ara pun terus menggodok Aha Project sejak Maret 2020 sehingga siap digunakan untuk membantu anak-anak sekolah pada Mei 2020. Tim Aha Project membuat lembar kerja yang disesuaikan dengan kurikulum SD dengan model cerita petualangan dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak dapat belajar dengan dibantu lembar kerja serta didampingi para sukarelawan lokal, mulai dari anak muda, guru, hingga ibu rumah tangga.
Nama Aha bermakna solusi yang akhirnya ditemukan saat merasa buntu dengan suatu situasi. Hal ini sejalan dengan momen saat Ara menemukan peluang untuk menjadi pembaru dalam pendidikan anak-anak di pelosok, terutama mereka yang mengalami keterbatasan infrastruktur pendidikan.
”Awalnya, aku menyadari, pandemi Covid-19 ini semakin serius. Aku pikir tadinya hanya tentang isu kesehatan sehingga belum tahu mau berkontribusi apa. Ketika aku merenung, mencoba berpikir lokal dan bertindak global dengan melihat keadaan sekitarku, aku menemukan cara untuk berkontribusi, dengan membantu anak-anak tetap belajar seru di rumah,” ujar Ara yang sejak 2017 bergabung di Ashoka Indonesia untuk mendampingi para pembaru muda mengimplementasikan ide untuk menjadi wirausaha sosial.
Didukung kedua orangtuanya yang juga bergelut dalam pendidikan, Dodik Maryanto dan Septi Peni Wulandari (penemu metode Jaritmatika), Ara mendapat banyak masukan soal kondisi pendidikan di Indonesia. Dia pun mengajak sang kakak, Enes, sebagai network coordinator untuk membantu merekrut para sukarelawan di daerah. Sejumlah kenalan juga diajak berkolaborasi, Rosa Indraswari (content development lead), Ani Fitri Amanah (administrasi), dan Anindya Ciptaningtyas (creative design expert).
Gagasan Ara untuk menggandeng para sukarelawan dari sejumlah daerah guna membantu anak-anak belajar di rumah serta mendukung pembelajaran dengan menyediakan lembar kerja ternyata menjadi gagasan anak muda yang diperhitungkan secara global. Tahun 2020, Ara dinominasikan menjadi penerima National Geographic Young Explorers. Akhir Januari 2021, Ara diumumkan menjadi bagian dari 24 anak muda dari berbagai belahan dunia yang mendapat julukan sebagai National Geographic Young Explorers 2020.
Kegiatan sosial
Kiprah Ara sebagai anak muda yang memberikan solusi bagi masalah sosial yang ada di sekitar dimulai saat usianya 10 tahun. Dia mendapat penghargaan Ashoka Young Changemakers tahun 2008 saat tinggal di Salatiga, Jawa Tengah. Ara mengagagas proyek sosial yang dinamakan Moo’s Project untuk memberdayakan peternak sapi di Boyolali, Jawa Tengah. Dia mengintegrasikan peternak untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, yakni sapi, lebih baik lagi dengan produk olahan dari susu sapi. Empat tahun berjalan, Moo’s Project mempertemukan 150 peternak di Sukorejo, Boyolali, untuk berbagi ilmu dengan pengelola ternaknya.
Di usia 15 tahun, Ara menyusul kakaknya untuk menimba ilmu di Singapura. Ara ingin mendalami bidang manajemen pemasaran yang diharapkan bisa membantu proyek kegiatan sosial. Di usia 18 tahun, Ara meraih gelar S-1 dan kembali ke Indonesia.
Kembali ke Tanah Air membuat adrenalin Ara kembali terpacu. Di Indonesia, Ara menggagas bisnis sosial URTravelLearner tahun 2016. Dia terinspirasi kegiatan jalan-jalan yang sering dilakukan bersama keluarganya sambil belajar kepada sosok inspiratif di bidangnya.
Ara berkolaborasi dengan rekan-rekan dari Yogyakarta atau Semarang untuk menyiapkan perjalanan wisata yang seru bagi anak-anak muda. Selama perjalanan ada proses untuk saling belajar dan membangun jejaring, menggali inisiatif dari tokoh yang ditemui.
Perjalanan dirancang dengan suatu tema, seperti seni, sejarah, atau wirausaha. Ketika mau belajar sejarah suatu kota, misalnya, Ara dan tim lokal merancang para pelancong muda untuk langsung bertemu ahlinya. Dari pertemuan itu diharapkan muncul ide-ide kreatif untuk mendorong anak muda bisa membuat rencana dalam hidup mereka yang bermanfaat bagi sekitar.
”Dalam kegiatan, aku suka mengajak kolaborasi para teman di daerah. Soalnya, supaya punya dampak yang berkelanjutan dan juga memberdayakan masyarakat,” kata Ara.
Ara yang mengaku introver mengatakan, dirinya suka mencari kesibukan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam pencarian jati diri, dia merasa hidup harus punya makna dengan membangun kepekaan sosial. ”Ada keresahan untuk selalu bisa berbuat. Ini karena mengasah rasa peka dan tahu yang sedang terjadi di sekitar. Nah, kalau aku tidak berbuat apa-apa, rasanya resah. Padahal, ada banyak keterampilan yang sudah didapat dalam perjalanan hidupku, yang sayang kalau tidak dimanfaatkan menjadi aksi nyata sesuai passion,” ujarnya.
Ara bahagia ketika mendapati Aha Project banyak membantu guru untuk memiliki bahan ajar bagi para siswa yang tidak dapat belajar daring. Selain itu, banyak sukarelawan daerah yang mau terlibat dan turun langsung untuk membagikan lembar kerja bagi siswa kelas I-VI SD serta membuat kelas kecil untuk menggelar kegiatan pendidikan bagi anak-anak.
Mencari solusi
Sementara itu, Enes lebih banyak berperan untuk menyebarluaskan cerita baik tentang Aha Project. Dia juga yang aktif untuk merekrut para local champion dari jaringan media sosial atau pertemanan yang dimilikinya selama ini.
”Aku juga suka pendidikan. Ketika Ara cerita soal Ara Project, aku menyambut antusias dan mau ikut membantu,” ujar Enes.
Menurut Enes, berkegiatan sosial memang disenangi keluarganya. Saat usia belia, dia melihat sang ibu yang jadi fellowship Ashoka sehingga mengenal tokoh-tokoh yang setia bergelut dalam isu sosial, lingkungan, pendidikan, dan lain-lain. ”Nah, ketika ketemu ada juga buat anak muda, serasa menemukan teman. Soalnya, banyak teman usia sebaya waktu itu yang tidak mau terlibat, mikir hanya soal urusan sekolah,” kata Enes mengenang.
Ia pun menjadi penerima penghargaan Ashoka Young Changemakers tahun 2009. Enes menggagas proyek Save Earth More Insentive (SEMI), yakni proyek pengelolaan dan pengolahan sampah secara sederhana yang digagas saat dirinya masih berusia 13 tahun. Sampah didaur ulang jadi kompos, barang-barang yang dapat digunakan sehari-hari, hingga karya seni.
”Waktu itu, aku baru ngajak teman-teman saja. Ada kampanye memilah sampah dan membuang sampah di tempatnya hingga mendaur ulang,” ujarnya.
Kepedulian Enes pada lingkungan dituangkan juga dalam gagasan Ramadhan Metamorph pada tahun 2018. Enes menyadari, masalah sampah terbanyak di Indonesia salah satunya berupa sisa kain. Proyek ini mengajak para ibu yang tergabung dalam Komunitas Ibu Profesional di sejumlah daerah untuk tidak membeli pakaian baru saat Lebaran. Para ibu diajak untuk merombak atau mengolah kembali pakaian yang ada. Bisa dalam bentuk merombak baju jadi model lain atau mengolah baju menjadi barang lain, seperti tas kain.
Dunia mode jadi salah satu perhatian Enes. Dia pernah bergabung sebagai analis bisnis di Shafira Corporation di Bandung seusai lulus S-1 keuangan dari Singapura. Ketika mengetahui para penjahit pakaian butuh penghasilan tambahan, Enes datang dengan solusi. Tahun 2016-2017, Enes membuat proyek Busana Eneska untuk memproduksi busana keluarga.
”Di mindset aku terbentuk untuk selalu bisa jadi solusi. Kalau melihat di sekitar butuh solusi, aku menggagas proyek yang bisa membantu orang lain. Aku suka aja berbagai. Itu me time aku,” ujar Enes yang berencana melanjutkan S-2 tentang pendidikan anak usia dini.
Enes mengaku berminat dalam pendidikan anak usia dini. Dia ingat, saat kelas V SD, dia sudah suka mengajar anak-anak sekolah. Di Singapura pun, dia menjadi guru les. Enes yang sibuk mengasuh anaknya yang masih balita saat ini sering memanfaatkan media sosial untuk berbagi pengalaman. Dia sedang memikirkan suatu solusi menjadi one stop solution bagi para ibu muda untuk membantu mereka mendidik anak-anak mulai dari pendidikan 0-5 tahun.
Menurut Enes, usianya yang terpaut 15 bulan membuat dia selalu bareng-bareng dengan sang adik. Mereka berjanji untuk saling mendukung.
Kolaborasi di Aha Project terus berjalan. Enes menggali cerita dari 35 sukarelawan di daerah pada gelombang pertama yang membuat tim bersemangat. Proyek pendidikan untuk membantu anak-anak belajar pada masa pandemi memberi dampak besar, bukan untuk siswa, melainkan juga kesempatan bagi sukarelawan berbagi kebaikan, mengatasi masalah pandemi Covid-19 dengan semangat gotong royong.
Menemani anak belajar
Ara Kusuma mengagas Aha Project saat memikirkan cara untuk berkontribusi pada masa pandemi Covid-19. Dia membayangkan anak-anak yang tidak bisa belajar efektif saat harus belajar dari rumah akibat minimnya infrastruktur. Banyak desa di pelosok yang tak punya kases internet. Sementara anak-anak kampung di perkotaan ada akses internet, tetapi tak punya gawai dan kemampuan membeli kuota. Kemampuan para orangtua pun terbatas dalam mendampingi anak belajar.
Ara menjawab keterbatasan belajar pada masa pandemi Covid-19 dengan menjawab masalah apa dan bagaimana untuk membuat belajar tetap efektif. Dia mundur kembali ke pengalamannya semasa menjadi anak homeschooling di Depok, Jawa Barat. Belajar di rumah tetap bisa efektif dan menyenangkan meski tanpa internet yang memadai. Hanya ada dua kunci yang dibutuhkan, yakni apa yang dipelajari atau konten belajar dan bagaimana belajar, yakni dengan pendampingan.
Tak ingin berdiam diri, Ara menawarkan solusi. Dalam dua bulan saja, dia bersama tim sejak Mei 2020 menghadirkan platform www.ahaprojet.id. Di laman ini ada materi belajar berupa lembar kerja bagi siswa kelas I-VI SD. Lembar kerja dengan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif ini dapat diunduh siapa saja, lalu digunakan sebagai bahan belajar bagi anak-anak.
Ara tidak hanya menyediakan media belajar yang bisa diakses secara daring dan gratis. Dia juga menyediakan pendampingan dan bantuan belajar bagi anak-anak di daerah dengan menghadirkan local champion. Pada tahap pertama tahun 2020 ada 35 local champion yang bersedia mendistribusikan lembar kerja Aha Project, membagikan alat belajar, serta mendampingi anak-anak belajar bersama dalam kelompok kecil.
”Akhirnya bukan cuma 35 local champion yang terlibat. Para sukarelawan lokal yang bersemangat ini ingin dampak Aha Project semakin besar dirasakan anak-anak sekolah. Akhirnya menggandeng teman, para guru, bahkan pemuda di karang taruna. Jadi, sudah lebih dari 2.000 anak SD yang bisa dijangkau,” tuturnya.
Dalam akun Instagram @aha.projectid, Ara merasa terharu saat menyaksikan video kiriman local champion. Selama sembilan jam @Sherly_Iskandar mengarungi laut demi menjangkau SD di Desa Air Hitam Laut, Jambi. Di sekolah tersebut hanya ada satu kepala sekolah dan tiga guru honorer. Sherly datang membawa lembar kerja dan peralatan tulis dari Aha Projet. Terlihat anak-anak senang mendapatkan lembar kerja dan pendampingan belajar.
”Aha Project ini sekarang di fase emergency response. Kami ingin anak-anak tetap bisa belajar dengan senang saat di rumah ataupun di sekolah. Tanpa local champion dan sukarelawan lainnya, Aha Project tidak akan sampai ke anak-anak yang membutuhkan,” kata Ara.
Ara mendapati banyak cerita tentang perjuangan para sukarelawan untuk bergotong royong membantu kondisi pendidikan anak-anak yang terbatas akibat pandemi Covid-19. Ada seorang ibu rumah tangga yang awalnya mengunduh lembar kerja Aha Project untuk anaknya yang homeschooling, lalu teringat anak tetangga. Si ibu rumah tangga tersebut mencetak lembar kerja lebih banyak, lalu berkembang membuka kelas kecil di rumahnya, supaya anak-anak tetangga bisa belajar dengan terarah.
Para guru yang sempat kebingungan membuat bahan ajar untuk pegangan belajar di rumah terbantu dengan lembar kerja yang disediakan Aha Project. Kegiatan belajar dengan pendekatan dongeng, namun tetap bisa diaplikasikan untuk mempelajari berbagai mata pelajaran di SD, membuat guru seperti menemukan solusi untuk membuat anak-anak didik yang dijumpai di rumah tetap semangat belajar.
Ada pula kisah dari anak muda di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang menjadi local champion. Ketika melihat anak-anak bersemangat belajar dengan lembar kerja Aha Project, dia pun ingin memperbanyak jangkauan. Si anak muda ini mengajak teman-temannya di karang taruna untuk membuat kelas-kelas kecil di lapangan voli, lalu mendampingi anak-anak belajar dengan lembar kerja Aha Project.
Baca juga : Tren Digital Memperkuat Aksi Sosial Anak Muda
Perkembangan Aha Project hanya dipantau Ara dan tim dari rumah masing-masing. Ara sempat terjun langsung di Tangerang yang dekat dengan rumah kosnya. Dia merasa bahagia karena gagasan yang muncul di tengah kegalauannya pada masa pandemi Covid-19 bisa jadi aksi nyata yang berdampak baik bagi anak-anak sekolah.
Laporan dari local champion yang bergerak di daerah masing-masing juga selalu membawa kabar gembira. Wajah ceria anak-anak menjadi penyemangat Ara dan tim untuk terus melanjutkan Aha Project. Hingga pekan lalu sudah ada 31 modul belajar dari 16 kontributor. Tahun ini, Aha Project bakal membuka kembali pendaftaran local champion dan sukarelawan yang mau membantu pengembangan Aha Project.
Enes Kusuma yang membantu sebagai network coordinator mengatakan, banyak yang merespons ide Aha Project untuk menjadi solusi pendidikan bagi anak-anak pada masa pandemi. Media sosial dimanfaatkan untuk menjangkau sukarelawan. Lalu, tim Aha Project juga terus memantau dan mendampingi para local champion yang bergerak di daerah masing-masing. Hingga pertengahan Februari 2021, Aha Project sudah menjangkau 13 provinsi, 29 kota, serta 35 desa/kecamatan. Sekitar 2.200 anak SD menikmati belajar dengan lembar kerja Aha Project.
Ara Kusuma
Lahir: Salatiga, 17 November 1997
Penghargaan:
- National Geographic Young Explorer (2020)
- Ashoka Young Changemakers (2008)
- 100 Pemuda Pembuat Perubahan IYCS (2012)
Pendidikan:
- Kaplan Certificate of Foundation Studies, Singapura (2013)
- Kaplan Higher Education Academy, Singapura (2015)
- S-1 Royal Holloway, University of London (lulus September 2016)
Pengalaman :
- Co-leader Project Everyone A Changemaker
- Pemimpin Program Anak Muda Ashoka
- Founder & Project Lead Aha Project (April 2020-sekarang)
- Ashoka Indonesia, Youth Years Country Lead (Agustus 2018-sekarang)
- Founder URTravelLeaner (2016-2019)
- Co-founder & Lead Facilitator TeenChanger (2016-2018)
- Founder & Project Leader Moos’s Project (2008-2012)
Enes Kusuma
Lahir: Salatiga, 2 Agustus 1996
Penghargaan:
- Ashoka Young Changemakers (2009)
Pengalaman:
- Analis Bisnis di Shafira Corporation, Bandung (2014-2016)
- Founder Busana Eneska (2016-2017)
- Ketua Yayasan School of Life Lebah Putih, Salatiga (2017-sekarang)
- Founder Ramadhan Metamorph (2018)
- Ketua Saung Istiqomah Singapura (2013)
- Founder SEMI Community
Pendidikan:
- Foundation EASB, Singapura (2011-2012)
- S-1 Kaplan University Singapura/University College Dublin (2012-2014)