Mahasiswa Kos, Bertahan dalam Sepi di Tengah Pandemi
Perkuliahan tatap muka yang belum pasti membuat mahasiswa perantau bingung. Mau tinggal di kos-kosan masih sepi, tinggal di rumah orangtua tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dilema mahasiswa kos di saat pandemi.
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat jadwal kuliah tatap muka makin tidak pasti. Mahasiswa yang indekos jadi serba salah. Mau kembali ke rumah orangtua tanggung, mau bertahan di indekos harus siap berteman dengan sepi.
Di antara sekian banyak mahasiswa indekos yang sedang bimbang, terselip nama Brohim Amingkayiwa Santoso, mahasiswa semester II Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Vokasi, Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur. Brohim baru tahu bahwa ibunya sudah membayar biaya indekos untuk satu semester pada awal Januari 2021.
Agar tidak mengecewakan ibunya, ia memutuskan berangkat dari rumahnya di Solo, Jawa Tengah, ke tempat indekos di Kota Malang pada 10 Januari lalu. Awalnya, ia senang akhirnya ”sah” menjadi anak kos. Ia pamer ke teman-teman angkatan melalui media sosial.
Ia juga segera menginjakkan kakinya ke kampus UB, lalu berkenalan dengan mahasiswa yang lebih senior. Ia merasa jadi pelopor di antara mahasiswa seangkatan, yang selama semester I praktis mengikuti seluruh perkuliahan secara daring.
Namun, rasa senangnya tidak lama. Ia harus menemui kenyataan tempat indekosnya masih sepi. Hanya ada empat dari 10 kamar yang berpenghuni. Setiap penghuni jarang bertemu karena punya kesibukan sendiri. Di kampus, juga tidak ada kegiatan.
”Mau kongko masih takut. Makin berasa, deh, sepinya,” ujar Brohim yang mengaku setengah menyesal terburu-buru tinggal di indekos saat dihubungi di Malang, Senin (1/2/2021).
Untuk membunuh rasa sepi, Brohim setiap pagi berjalan kaki seorang diri sambil mandi matahari, belanja sayur-mayur, masak di dapur indekos, kemudian tenggelam di kamar menulis puisi, baca novel, atau berselancar di internet. ”Akhirnya lebih banyak di kamar sambil menyibukkan diri,” kata Brohim yang sedang libur semester.
Baca juga : Sunyi Sepi Indekos yang Ditinggal Penghuni sejak Pandemi
Brohim masih merasa beruntung karena ia mendapat teman baru saat acara UKM teater dan jurnalistik. Ia jadi punya kawan diskusi dan ngobrol soal kampus. ”Pernah juga nongkrong bareng di kafe, tapi enggak lagi. Situasi begini lebih aman di kos.”
Rizky Ramadhika lebih lama lagi berteman dengan sepi di indekosnya. Mahasiswa semester VIII Prodi Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memilih bertahan di indekos meski kampus ditutup sejak tahun lalu akibat pandemi. Alasannya, ia merasa bisa lebih fokus mengikuti kuliah dan menggarap skripsi dari kamar indekos. Namun, pilihan ini juga punya konsekuensi, yakni dia kesepian di indekosnya. Pasalnya, dari delapan kamar di indekosnya, hanya tiga kamar yang dihuni.
”Untungnya ada saudara dan kakek di Yogya. Kalau bosan karena sepi, saya main ke rumah kakek di Gunung Kidul. Kadang janjian juga dengan teman yang masih bertahan di Yogya,” ujarnya.
Di indekos, Rizky dan penghuni lain berusaha menikmati sepi dengan ngobrol dan main gim bareng. Selain itu, ia kadang tidur di kamar temannya yang pulang ke Jakarta sejak April lalu. Ia betah di kamar temannya karena ada jendela besar. ”Paling teman saya sering chat untuk mengingatkan saya agar membersihkan kamarnya,” ucapnya.
Bolak-balik
Mahasiswa UGM lainnya, Shanazia Sekar, yang kuliah di Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, juga memilih tetap menyewa kamar indekos. Sebelumnya, perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, ini sempat bolak-balik Yogyakarta-Jakarta untuk urusan kuliah. Karena capek dan berisiko terpapar virus korona baru selama di perjalanan, akhirnya ia memilih tinggal di kamar indekos.
Saat ini, hanya ada 3 dari 20 kamar di indekosnya yang berpenghuni. Sisanya kosong. Meski hanya tinggal bertiga di indekos, mereka sepakat tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. ”Aku hanya keluar kamar kalau sangat perlu. Paling ke bengkel, ke laboratorium, dan cari lauk karena aku masak nasi sendiri di kamar,” ujarnya.
Sejak awal Januari lalu, Sekar pulang dulu ke Bekasi. Namun, dalam waktu dekat ia akan kembali ke Yogyakarta.
Keputusannya untuk tetap melanjutkan indekos di Yogyakarta ternyata tepat karena ia bisa mengikuti beberapa aktivitas penting. Ia tercatat sebagai anggota tim Semar UGM yang membuat mobil hemat energi dan ramah lingkungan. Ia juga punya waktu untuk membuat video terkait praktik di laboratorium untuk disebar ke mahasiswa lain sebagai bahan kuliah mereka. Ini jadi bagian tugas dia sebagai asisten dosen laboratorium di jurusannya.
Selain itu, ia bisa lebih mudah berkoordinasi dengan tiga temannya ketika harus membuat sebuah barang untuk tugas akhir. ”Aku sedang ngebut supaya tugas akhir bisa segera selesai sehingga segera lulus,” kata Sekar.
Bertahan di indekos juga jadi pilihan Shirli Shabrina Zainun, mahasiswa semester IV Jurusan Manajemen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sempat pulang ke Blora pada awal pandemi, ia kembali lagi ke Yogyakarta pada Juli 2020 saat semester baru dimulai. Saat tinggal di rumah keluarganya, Shirli justru merasa kesepian. Ia juga tidak tahu apa yang mesti dilakukan di rumah.
Indekos Shirli tidak jauh dari kampus UMY. Ada 15 kamar di sana, dan ia sangat senang karena semua ada penghuninya. ”Aku kembali ke Yogya bersama teman-temanku yang menjadi panitia ospek. Aku sendiri tidak menjadi panitia. Aku merasa ada banyak teman dan banyak hal yang dapat dilakukan,” katanya.
Perkuliahan di kampusnya dilakukan secara hibrid, antara tatap muka dan kuliah daring. ”Kalaupun ada tatap muka, tidak semua diperbolehkan hadir di kelas. Misalnya, satu kelas ada 40 mahasiswa, maksimal hanya boleh masuk 20 orang. Itu juga tergantung dosennya. Kalau dosen tidak berkenan tatap muka, perkuliahan dilakukan seluruhnya secara daring,” tambah Shirli.
Sepanjang semester ini, sebenarnya kuliah Shirli dilakukan secara daring. Akan tetapi, dia lebih senang kuliah dari kamar indekos dibandingkan dari rumahnya.
”Aku tetap bisa bertemu dengan teman. Pandemi ini sudah hampir satu tahun, sampai kapan harus mengurung diri di rumah, padahal hidup harus berjalan terus. Aku juga berhati-hati, selalu memakai masker, makan teratur, dan perlengkapan lainnya. Ini semua adalah kenormalan baru yang aku lakukan,” tuturnya.
Shinta Millenia, mahasiswa Vokasi Jurusan Penyiaran Multimedia Universitas Indonesia, memutuskan tidak lagi indekos sejak Maret lalu seiring munculnya beberapa kasus Covid-19. Ia pulang ke Nganjuk, Jawa Timur, dan melakukan semua kegiatan perkuliahan dari rumah.
Baca juga : Seru dan Haru Lebaran di Kos-kosan
Sampai tahun berganti, ia memilih tidak mencari indekos baru karena pihak kampus belum memberi tahu perubahan dalam cara belajar. ”Sebenarnya sampai semester ini kuliah masih tetap dilakukan secara daring, tetapi mulai 1 Maret 2021 aku harus magang ke kantor Pemerintah Kota Bogor selama tiga bulan. Untuk mengurus keperluan itu, minggu lalu aku balik ke Depok,” ujarnya.
Selama di Depok, ia menumpang tinggal di rumah kontrakan temannya. ”Ia mengizinkan aku tinggal di kosnya selama dua minggu sampai urusanku dengan kampus selesai.”
Firman Hadiansyah, dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten, menceritakan, sebagian mahasiswanya yang berasal dari luar daerah, seperti Papua, masih berada di kampung halaman. Mahasiswa perantau yang memilih tinggal di rumah indekos di Serang sebagian besar adalah mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.
Meski konsultasi skripsi bisa dilakukan secara daring, kadang mereka perlu konsultasi tatap muka, terutama jika skripsi sudah masuk ke bab analisis. ”Perlu dialog yang lumayan panjang terkait pembuktian hasil analisis. Kalau yang mau daring juga bisa, tapi mahasiswa kirim bahan dulu, besoknya baru janji zoom meeting. Si mahasiswa presentasi, lalu saya koreksi,” tutur Firman.
Untuk konsultasi tatap muka, Firman memilih tempat di ruang terbuka di kafe dekat kampus. Ia juga berusaha menerapkan 3M atau memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Pada perkuliahan semester baru yang bakal dimulai 1 Maret 2021, Firman mengungkapkan, ada proyeksi beberapa mata kuliah khusus bisa dilaksanakan secara hibrid. ”Namun, ini bergantung situasi pandemi. Sampai saat ini belum diputuskan, tetapi teknologinya di kampus sudah siap,” ujar Firman.
Jadi, sabar ya mahasiswa. Tunggu kabar baik dari kampus. (JOE/TRI)