Semakin banyak anak muda di Indonesia yang terjun dalam aksi-aksi sosial. Aksi mereka semakin mudah digemakan dengan bantuan teknologi digital dan media sosial.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Tangkapan layar wawancara virtual dengan CEO of Ashoka Bill Drayton dan dua kandidat Ashoka Young Changemakers 2021, Nuke dan Ammara, Rabu (3/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membatasi ruang gerak di dunia fisik. Namun, di dunia virtual, aneka pertemuan justru membeludak. Tren ini memberikan keuntungan tersendiri bagi anak-anak muda yang terlibat dalam aksi sosial. Aksi mereka jadi lebih mudah tersebar, dibicarakan, dan memberikan dampak sosial lebih besar.
Nuke M (19), remaja yang terpilih sebagai kandidat Ashoka Young Changemakers 2021 dari Provinsi Jambi, mengatakan, digitalisasi mengubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat dari yang sering bertemu secara langsung menjadi virtual. ”Dampaknya ternyata lebih besar karena setiap orang di mana saja dan kapan saja bisa menjangkau platform digital. Lewat dunia digitalisasi, kegiatan (saya) juga bisa di luar provinsi saya,” ujarnya, Rabu (3/2/2020), dalam wawancara virtual tentang anak muda pembaru yang digelar Ashoka. Hadir pula dalam wawancara secara virtual, CEO of Ashoka Bill Drayton.
Sejak tahun lalu, Nuke membuat pelatihan Nukeytalks untuk membantu teman sebaya menyiapkan diri masuk ke dunia pendidikan atau pekerjaan. Kalau dulu pertemuan dilakukan secara tatap muka, selama pandemi pertemuan dilakukan secara virtual. Di sana, generasi muda berusia 15-20 tahun mengikuti pelatihan dan pengembangan diri untuk membantu karier mereka.
Mereka juga mengikuti berbagai lokakarya untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan di berbagai bidang. Dengan peralihan ke ruang digital, dampak yang dirasakan justru lebih besar karena peserta pelatihan berasal dari dalam dan luar Jambi. Ia juga bisa merekrut anggota tim dari Indonesia, China, dan Swiss.
Digitalisasi ini, menurut Nuke, juga membantu remaja-remaja yang berada di daerah terpencil untuk mengetahui perkembangan di kota besar sehingga bisa memengaruhi pengambilan keputusan. ”Remaja di kota besar terbiasa menggapai cita-cita setinggi mungkin, tetapi mereka yang tinggal di pelosok sering terbentur dengan persoalan pernikahan dini. Dengan platform digital, kita bisa mengetahui kehidupan di luar provinsi kita,” ucapnya.
ARSIP PRIBADI
Rayndra Syahdan Mahmudi, petani muda yang berusaha mengajak anak muda lainnya agar terjun ke dunia pertanian. Ia memanfaatkan teknologi digital untuk menggemakan aksinya.
Nukeytalks dibentuk karena Nuke sering mendengar curhatan teman-temannya yang kebingungan memilih jurusan kuliah atau jenis pekerjaan yang akan digeluti. Ia kemudian membangun platform edukasi untuk membantu generasinya keluar dari persoalan.
Kandidat lainnya, Ammara (14), mengatakan, teknologi membantu petani di daerahnya di Baturraden, Jawa Tengah, untuk menjalankan aktivitas pertanian yang berkelanjutan. ”Teknologi itu dipakai, misalnya, untuk kegiatan pascapanen,” ujarnya.
Memetakan persoalan
Nuke dan Ammara merupakan dua dari 12 kandidat Ashoka Young Changemakers. Kandidat ini merupakan pemuda-pemudi berusia 12-20 tahun yang membangun inisiatif gerakan sosial sehingga berdampak untuk masyarakat di sekitarnya.
Menurut Nuke, program Ashoka sangat membantunya memetakan persoalan dengan lebih dalam dan mencari solusi untuk memecahkannya. Program-program Ashoka juga berdampak untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
CEO of Ashoka Bill Drayton menjelaskan, setiap orang adalah pembuat perubahan, termasuk anak-anak dan remaja. Dengan memberikan kepercayaan dan mendukung aksi mereka, generasi muda mampu berperan menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan pendidikan di tengah masyarakat.
Pengusaha sosial ini menambahkan, selama ini peran generasi muda sering diragukan. ”Padahal, dengan memberikan rasa percaya diri, mereka berani menghadapi persoalan, menciptakan perubahan, dan menginspirasi,” katanya.
Menurut dia, rasa percaya diri merupakan titik balik generasi muda untuk berperan di tengah masyarakat. ”Dengan menjadikan anak muda sebagai pembuat perubahan, mereka akan saling membantu satu sama lain, seperti di tengah pandemi ini setiap orang saling membantu sehingga dampaknya luar biasa,” tutur pria yang pernah dinobatkan oleh US News & World Report sebagai salah satu dari 25 Pemimpin Terbaik Amerika pada 2005.
Kompas/Hendra A Setyawan
Dua anak muda beraktivitas di kedai kopi Blind Coffee, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (3/12/2020). Kedai kopi ini dijalankan oleh anak-anak muda tunanetra yang berangkat dari semangat kesetaran dan berdikari secara ekonomi. Wirausaha sosial seperti ini tumbuh subur di sejumlah daerah. Sebagian penggeraknya adalah anak-anak muda.
Tujuan dari seleksi yang dilakukan Ashoka, lanjutnya, untuk memastikan setiap orang berkontribusi dalam pembangunan. ”Saat ini dunia terbelah antara orang-orang yang bisa ’bermain’ dalam pertandingan dan mereka yang tidak bisa. Jurang pemisahnya semakin lebar. Kami ingin memastikan bahwa setiap orang bisa berperan, bisa membantu orang lain,” katanya.
Untuk mendukung aksi generasi muda, Ashoka menyeleksi anak-anak muda untuk dianugerahi kesempatan menjadi Ashoka Young Changemakers. Berbeda dengan penghargaan untuk anak muda lainnya, Ashoka tidak menekankan bantuan finansial. Ashoka lebih mengutamakan pendampingan dan pelatihan strategi agar kandidat terpilih dapat mencapai dampak yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan sebelumnya.
Sejak didirikan hingga saat ini, Ashoka telah mendukung dan berinvestasi di lebih dari 3.800 wirausahawan sosial dari 93 negara di dunia yang tergabung sebagai Ashoka Fellows. Di antaranya 200 wirausaha sosial di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun, 93 persen Ashoka Fellows dari sejumlah negara telah memengaruhi kebijakan publik. Selain itu, 90 ide mereka direplikasikan oleh orang atau lembaga lain.