Menghibur Diri dengan Camilan
Selama pandemi, kebiasaan mengemil meningkat di tengah masyarakat, tak terkecuali anak muda. Namun, perlu diperhatikan kebiasaan tersebut bisa menganggu kesehatan bila dilakukan berlebihan.
Saat berada di rumah lebih lama dari biasanya, membuat kita mencari beragam kegiatan yang mudah dilakukan dengan keluarga. Salah satunya kebiasaan mengonsumsi camilan yang bisa menjadi hiburan murah yang menyenangkan.
Selama pandemi Covid-19, kebiasaan mengemil di tengah masyarakat berubah. Hal itu terungkap dari survei The State of Snacking 2020 yang dilakukan Mondelez International pada 6-20 Oktober 2020, dengan 6292 responden dewasa di seluruh dunia berusia 18 tahun ke atas. Riset ini dilakukan di 12 negara, termasuk Indonesia 555 responden, sebanyak 451 orang merupakan kaum milenial, berusia 18-39 tahun.
Dari hasil survei menyebutkan 60 persen responden dari Indonesia mengonsumsi camilan lebih banyak dibandingnya sebelumnya. Dan, sebagian besar responden mengatakan kebiasaan ini akan berlanjut setelah pandemi berakhir. Bukan sekedar mengunyah kudapan ringan, sebanyak tiga dari empat orang Indonesia mengandalkan camilan untuk menjaga pikiran, tubuh dan jiwa selama pandemi.
Selain itu, survei juga mengungkapkan sebanyak 87 persen responden menyatakan mengemil bisa membawa kedamaian dan kesenangan. Kebiasan mengudap juga dapat menghilangkan kesepian dan membuka jalan untuk terhubung satu sama lain. Masyarakat saling terhubung melalui pemberian makanan, misalnya dengan membuat camilan bersama, makan camilan untuk merayakan acara khusus atau memberikan camilan sebagai hadiah atau mentraktir keluarga atau teman.
Aisyah Andhieni (20), mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, bukanlah orang yang suka mencamil aneka kudapan. Selain karena ia ingin menjaga penampilan, waktunya habis untuk kuliah, mengerjakan tugas, dan organisasi di kampus.
Namun, semua itu berubah sejak pandemi berlangsung di Indonesia pada Maret 2020. Kegiatan perkuliahan berubah dari tatap muka menjadi virtual. Alhasil, gadis yang tinggal di Pancoran, Jakarta Selatan, ini menghabiskan waktunya di rumah saja selama berbulan-bulan.
“Di rumah aja otomatis kerjaannya cuma nonton, kuliah online, ngerjain tugas sehingga laper melulu karena hanya di satu tempat doang. Aku jadi bisa ngemil setiap hari dari pagi, siang, sore, sampai malam,” kata Aisyah, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Aisyah biasanya mencamil makanan ringan, seperti Chiki Balls, Lays, gorengan, atau keripik singkong. Camilan di rumah Aisyah biasanya dibeli oleh orangtuanya. Kalau ada camilan tertentu yang tidak ada di rumah, seperti cilok, baru Aisyah berinisiatif untuk pergi membeli langsung di warung dekat rumahnya atau lewat aplikasi antar makanan daring. Padahal, dirinya sebelumnya tidak pernah menyukai cilok.
Dibandingkan sebelum pandemi, Aisyah sangat menyadari berat badannya bertambah selama pandemi akibat jadi sering makan tanpa melakukan kegiatan fisik yang berat. Berat badan Aisyah meningkat dari 47 kilogram menjadi 51,5 kg.
“Perasaannya antara kesel tapi seneng. Karena saat aku kuliah lumayan jarang ngemil dan bawaannya diet terus jadi gak menikmati makanan. Sekarang aku lebih menikmati makanan,” tutur Aisyah.
Terlepas dari itu, Aisyah juga mengaku kebiasaan barunya untuk mencamil juga muncul sebagai salah satu bentuk stress eating. Dirinya beberapa kali menjadi ketua di sejumlah acara virtual sehingga sempat merasa stres karena tidak bisa berkoordinasi langsung dengan tim-nya secara langsung.
Diffa Dyah Ayu Anggraini (19), mahasiswa D3 Hubungan Masyarakat Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, juga bisa dibilang jarang mencamil sebelum pandemi berlangsung. Sebagai mahasiswa perantau asal Kediri, Diffa selalu berusaha berhemat dan fokus untuk berkuliah serta berorganisasi. Untuk makan dua kali sehari saja, Diffa sudah bersyukur.
“Tapi ketika balik ke rumah bulan Maret tahun lalu, aku jadi gak mikir soal financial loss dan orangtua rada protektif kalau aku keluar. Ya sudah aku jadi sering banget ngemil bahkan lebih sering daripada makan besar,” ujar Diffa.
Diffa biasanya mencamil kudapan yang manis-manis dengan tekstur garing, seperti sereal Koko Krunch dan biskuit Astor. Ibunya juga sering membeli stok camilan kiloan dari supermarket dekat rumah. Ia belum berniat untuk mencoba camilan sehat, seperti oatmeal, karena lidahnya tidak suka mencoba makanan baru.
Jika dihitung-hitung, Diffa bisa mencamil lima kali sehari di luar makan besar. Kebanyakan kegiatan mencamilnya berlangsung menjelang makan besar. Akhirnya, berat badannya mulai naik dalam sebulan setelah dia tinggal di rumah.
Berat badan Diffa biasanya berkisar di 46 kg sebelum pandemi dan menjadi 48 kg selama pandemi. Gadis ini senang dengan kenaikan berat badannya karena sudah lama ingin lebih berisi. Sayangnya, beratnya mulai kembali turun setelah dirinya beberapa kali kembali ke Solo sepanjang tahun lalu.
“Bagi aku, ngemil itu bisa dibilang hobi karena dilakukan di waktu senggang dan ketika aku ingat. Selama ngemil, aku ada kepuasaan sendiri apalagi sambil menunggu masakan rumah belum ada jadi perut gak kosong-kosong amat,” kata Diffa.
Perubahan perilaku
Peneliti dan pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan, pandemi telah mendorong dua perubahan besar yaitu perubahan Perilaku dan pendapatan. Dari kedua perubahan itu kemudian mempengaruhi pola makan masyarakat.
“Saat beraktivitas di rumah, membuat setiap orang memiliki kebiasaan lebih sering bercengkrama dengan keluarga Makanan menjadi pilihan utama ketika kita membutuhkan rekreasi, baik dari produksi maupun konsumsi. Kita bisa memasak sendiri sekaligus mengonsumsinya,” kata Devie.
Menurut Devie, kebiasaan ngemil sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia sejak dulu. “Enggak heran bila camilan banyak dipilih masyarakat di berbagai kesempatan, termasuk untuk mengisi waktu luang dan menghilangkan kebosanan. Selain itu, masyarakat menilai camilan bisa menjadi katalis dalam penyaluran stress akibat dari kondisi yang tidak menentu,” ujarnya.
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan makanan (camilan) bukan hanya menjadi pemenuhan kebutuhan primer, tetapi juga memenuhi hasrat psikologis dan sosiologis. “Kebiasaan ngemil bisa menjadi kekuatan sosiologis membangun konektivitas sosial, serta membantu mengendalikan psikologis diri, yaitu suasana hati di seperti di saat marah maupun sedih atau bahkan meredakan kecemasan yang timbul akibat suasana yang tidak menentu, seperti pandemic,” kata Devie.
Meski begitu, kebiasaan mengonsumsi camilan yang berlebihan bisa menimbulkan masalah kesehatan. Seperti disampaikan dokter gizi di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi Inge Permadhi. Dia mengatakan, selama pandemi ia sering mendapat keluhan berat badan naik karena sebagian besar masyarakat beraktivitas di dalam rumah. “Mereka tergoda makan camilan karena bebas membeli secara online. Selain itu, waktu tidur berubah jadi lebih malam karena banyak menonton film. Di rumah juga kurang aktivitas fisik, kurang olahraga,” jelasnya di Jakarta, Jumat (22/1/2020).
Akibatnya, berat badan anak muda dan dewasa meningkat. Bahkan, kenaikan berat badan ada yang mencapai 20 – 30 kg. Kenaikan berat badan ini, menurut Inge, bisa mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan mengganggu kesehatan.
Terkait kebiasaan mengkonsumsi camilan selama pandemi, menurutnya sah-sah saja selama masih dalam batas wajar. “Perhatikan porsinya, selain itu juga pilih cara masak yang sehat. Hindari makan camilan yang digoreng atau ditambah gula. Lebih baik pilih camilan sehat yang mengandung buah dan sayur,” jelasnya.
Baca juga : Stevia dan Bisnis ala Anak SMA Karangturi
Ia menuturkan, selama ini masyarakat terjebak pada pilihan makanan yang digoreng. Padahal, cara memasak makanan itu banyak sekali, seperti direbus, dipanggang, dikukus, dibakar, dan sebagainya. “Makanan yang digoreng memang membuat lemak terserap ke dalam makanan sehingga terasa nikmat, tetapi tidak sehat dan membuat berat badan cepat naik,” katanya.
Inge menyarankan agar masyarakat mengatur indeks masa tubuh, yang terdiri dari membandingkan berat badan dengan tinggi badan dalam kuadrat. Misalnya, berat badan 55 kg dibagi kuadrat dari 1,6 meter, nanti didapatkan angka 21,5. Angka dibawah 18,5 disebut berat badan kurang. Angka 18,5 – 22,9 termasuk dalam berat badan normal. Sementara angka 23 – 24,9 termasuk dalam berat badan berlebih. Angka 25-29,9 disebut obesitas tingkat satu, 30 – 39,3 adalah obesitas tingkat dua. Angka di atas 40 adalah obesitas ekstrim.
Oleh karena itu, ia menyarankan masyarakat untuk sering-sering timbang berat badan sebelum kenaikannya drastis. Mengecek berat badan juga membantu masyarakat untuk ngerem ketika hasrat mengkonsumsi makanan sudah tidak tertahankan. Masyarakat juga diminta untuk mengatur pola makan, memilih jenis makanan sehat, serta rutin berolahraga.