Hapiz Al Khairi Menyulap Kulit Sentul Menjadi Teh Tukul
Mahasiswa Biologi Universitas Riau meraih kemenangan untuk penelitian kulit buah sentul yang diubah menjadi teh herbal.
Rasa ingin tahu yang besar terhadap tumbuhan dan alam membuat Hapiz Al Khairi (22), mengubah kulit buah Sentul yang semula hanya menjadi sampah, terbuang sia-sia menjadi teh Tukul (teh dari kulit Sentul). Bukan sembarang teh, bahan minuman herbal yang dibuat dari kulit Sentul.
Sentul merupakan sejenis buah kecapi sudah dikenalkan ke hadapan para peneliti dan inovator di Sri Lanka. Kini teh kulit Sentul yang memiliki antioksidan tinggi itu sudah banyak dijual ke berbagai daerah di Indonesia.
Tak hanya mengenalkan kembali tanaman Sentul yang mulai langka di Riau, temuan itu juga mengangkat nama Universitas Riau ke forum internasional. Pasalnya, penelitian mengenai teh Tukul membuat mahasiswa Unri meraih medali perak di kompetisi Penelitian Mahasiswa Nasional (Pimnas) tahun 2019, dan meraih medali emas dalam International Invention Exhibition Competition Sahasak Nimavum di Sri Lanka tahun 2020.
Hapiz yang menjadi CEO di tim Tukul, tak sendirian meneliti khasiat kulit buah Sentul hingga menjadi minuman herbal. Ia bekerja bersama empat kawannya yang semua merupakan kawan sekelas di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau angkatan tahun 2018. Mereka adalah, Aldy Riau Wansyah (PIC Produksi), Azizul Berlyansah (PIC Pemasaran), Nur Annisa (seketaris) dan Nurul Izazah (bagian keuangan).
Temuan teh Tukul berawal dari saat lima orang itu menjadi mahasiswa baru di Unri. Sebagai mahasiswa baru, mereka kerap mengikuti kegiatan di lapangan kampus yang dikelilingi oleh tanaman menjulang tinggi. Tak hanya itu, hamper setiap kali sedang berada di lapangan, Hapiz menemukan buah berwarna kuning dengan diameter sekitar lima hingga tujuh sentimeter berserakan di lapangan.
“Saya melihat buah itu hanya menjadi sampah. Saat memungutnya, kami saling tanya. Ini buah apa ? Asalnya dari mana ? Setelah kami telusuri, buah itu berasal dari pohon Sentul yang menjulang tinggi di lapangan kampus itu,” tutur Hapiz yang dihubungi lewat sambungan telepon pada Minggu (19/12/2020) dari Jakarta.
Rasa penasaran membuat kelima mahasiswa itu mencari tahu lebih jauh tentang buah tersebut. Menurut Hapiz, ia dan kawannya kerap berkumpul lalu berbagi tugas. Ada yang mencari tahu lewat literasi dengan mencari buku dan artikel mengenai tanaman Sentul, ada yang membelah buah itu dan melihat bagian-bagiannya sampai memeriksa kandungan dari kulit bagian dalam buah Sentul apa saja setelah mereka tahu Sentul adalah pohon yang mulai langka. Tim mulai melakukan studi tahun 2018.
Temuan yang menarik misalnya buah itu memiliki zat antioksidan tinggi membuat mereka bersepakat mencoba membuat teh. Ternyata rasa tehnya lebih enak dibandingkan teh yang dibuat dari daun teh asli. “Rasa lebih enak, dan mengandung antioksidan tinggi sepertinya menjadi daya tarik bagi yang mencoba sehingga banyak orang memesan teh Tukul,” kata Hapiz.
Upaya itu juga untuk meningkatkan pemanfaatan plasma nutfah local, sebab teh Tukul hanya dibuat dari tanaman herbal tanpa tambahan bahan lain. Saat ini keberadaan tanaman Sentul yang menjulang tinggi seperti pohon duku itu sudah jarang ditemui di wilayah Pekanbaru, Kampar dan daerah lain di Riau. Jika nanti masyarakat sudah tahu khasiatnya, Hapiz berharap mereka mau kembali membudidayakan tanaman tersebut sehingga bisa mencegah kepunahannya.
Pembuat inovasi
Rasa ingin tahu dan minat Hapiz mengetahui jenis tumbuhan dan hewan sudah tumbuh sejak ia masih sekolah di SD. Lahir dan tumbuh besar di desa, membuat anak kedua dari empat bersaudara itu setiap hari akrab dengan segala tanaman dan hewan di sekitar tempat tinggalnya di Desa Pulau Rambai Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. “Saya ingat waktu masih SD, kalau melihat daun yang tidak saya ketahui namanya, saya tanyakan ke guru di sekolah. Mereka kemudian menjelaskan apa yang saya tanyakan,” katanya mengenang masa kecil.
Kebiasaan itu tak berkembang saat ia sekolah di SMP, namun ketika ia masuk SMA Negeri Plus Provinsi Riau, minatnya mulai muncul lagi. Waktu itu Riau dan beberapa provinsi di Indonesia dilanda bencana kabut asap. Warga Riau memang selalu memakai masker untuk meminimalisir dampak kabut bagi paru-paru, tetapi Hapiz berpendapat, masker masih kurang efektif menangkal dampak kabut asap itu. “Bau gosong dari kebakaran hutan itu sangat terasa, sehingga menganggu kami,” ujar Hapiz yang mengambil jurusan ilmu pengetahuan alam di SMA.
Kebetulan waktu itu ada lomba karya tulis ilmiah (LKTI) bagi siswa SMA, ia dan kawan-kawannya lalu memikirkan solusi dari keadaan itu. Intinya ia butuh lapisan untuk menambah fungsi masker sehingga lebih bisa mengurangi bau dan partikel kecil dari asap yang beterbangan agar tak terhirup paru-paru.
“Oleh karena di daerah kami banyak pohon sawit, kami dibantu guru pembimbing berpikir mengapa kita tak mencoba membuat lapisan itu dari pelepah kelapa sawit?,” ujarnya.
Tak banyak berpikir, Hapiz dan kawan-kawannya mencari pelepah pohon sawit lalu memukul pelepah itu sampai halus untuk dibuat pelapis masker. Usahanya itu sempat disertakan ke LKTI namun ia dan tim hanya menang di tingkat provinsi. Setelah itu Hapiz membuat berbagai jenis percobaan kimia seperti menyulap air bening menjadi berubah warna untuk atraksi. “Saya sempat ikut tiga kali lomba di Universitas Riau,” tambahnya.
Berbagai pengalaman membuat inovasi dan sering mengikuti lomba olimpiade fisika dan biologi sampai tingkat provinsi membuat minatnya ke bidang biologi makin besar, maka pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) 2018 ia memilih pendidikan kedokteran, kedokteran hewan dan biologi untuk kuliah. Hasil seleksi menyatakan, Hapiz yang orangtuanya menjual ayam kampung potong di pasar itu lolos di pilihan ketiga yang juga ia sukai.
Kini, cowok yang menggunakan bea siswa dari Tanoto Foundation untuk membayar uang kuliah dan mencukupi sebagian kebutuhan hidupnya itu menjadi asisten laboratorium di kampusnya. Kelak ia ingin bekerja di bidang yang memungkinkan ia bisa berinovasi berdasarkan ilmu yang ia miliki.
Adu gengsi
Hasrat mahasiswa untuk membuat inovasi kian meningkat. Hal itu tampak dari makin banyaknya peserta lomba inovasi atau kreatifitas. Apalagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset dan Teknologi rajin membuka diri untuk membiayai inovasi atau kreatifitas yang dilakukan para mahasiswa.
Di Indonesia, ada ajang besar lomba inovasi yang diikuti oleh mahasiswa dari Sabang hingga Merauke. Lomba itu, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional atau Pimnas. Kompetisi yang diadakan setahun sekali oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu selalu diikuti puluhan ribu propusal mahasiswa. Tahun 2019, Pimnas diikuti 460 propusal dari 126 perguruan tinggi negeri dan swasta. Tahun ini, walau diadakan secara daring, panitia Pimnas 2020 mencatat, lomba diikuti 65 ribu karya yang kemudian diseleksi tinggal 625 proposal dari 101 perguruan tinggi se Indonesia.
Tak mudah bagi sebuah karya untuk bisa mengikuti Pimnas. Ada seleksi bertingkat yang harus mereka ikuti, mulai dari fakultas, universitas lalu program kreativitas mahasiswa (PKM) di tingkat nasional. Jika lolos seleksi di PKM, barulah karya itu bisa ikut lomba di Pimnas. Menurut pengalaman Hapiz Al Khairi, mahasiswa Jurusan Bilologi Fakultas MIPA Universitas Riau, ia lebih dulu mengikuti seleksi proposal inovasi di tingkat fakultas dan universitas. “Waktu seleksi di tingkat universitas, pesertanya banyak sampai ratusan,” kata Hapiz dari tim Teh Tukul Universitas Riau.
Tim seleksi Universitas Riau kemudian menetapkan empat tim termasuk tim Teh Tukul untuk mengikuti Pimnas tahun 2019 di Universitas Udayana, Bali. Seingat Hapiz, tiga tim lain dari mahasiswa Fakultas Teknik Unri yang membuat inovasi mesin untuk mengolah kelapa sawit. Sedangkan dua tim lain dari Jurusan Kimia FMIPA Unri.
Ia merasa senang karena bersama empat kawannya bisa mengikuti lomba secara langsung di Bali, apalagi bisa membawa pulang medali perak bagi universitasnya. “Bangga dan senang bisa mendapat medali perak. Persaingan di Pimnas berat,” katanya.
Pimnas merupakan acara yang mempertemukan ribuan mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi se Nusantara. Selain menampilkan karya inovasi mahasiswa, ajang tersebut juga dirancang untuk menjadi forum diskusi dan dialog tentang masalah pembangunan nasional dan atau daerah serta masalah aktual lainnya. Tahun 2020 ini menjadi tahun ke 33 penyelenggaraan acara tersebut.
Awalnya ajang adu kreatifitas itu diadakan pada tahun 1980 oleh para mahasiswa Universitas Indonesia dengan nama lomba karya tulis ilmiah dan lomba karya inovatif produksi. Di forum nasional, lomba itu diberi nama lomba karya ilmiah mahasiswa (LKM). Sejak tahun 1990, LKM berganti nama menjadi Pimnas dan menjadi semacam adu gengsi antaruniversitas dalam menampilkan kemampuan para mahasiswanya.
Hapiz Al Khairi
Tempat lahir : Langgam, Desember 1998
Pendidikan : Semester Lima Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Riau
Hobi : jalan-jalan
Prestasi antara lain :
-Juara ketiga Olimpiade Sains Himpunan Mahasiswa Fiisika FMIPA Universitas Riau tahun 2018
- Ranking Kedua Level OnMIPA Universitas Riau tahun 2019
- Meraih Medali Perak di Pimnas tahun 2019 untuk inovasi Teh Tukul
- Meraih Medali Emas di International Invention Exhibition Competition Sahasak Nimavum di Srilangka tahun 2020 (lewat daring)