Plantasia, Mengajak Janda Bolong dan Lidah Mertua Berdansa
Manusia modern agaknya memercayai bahwa tumbuhan butuh hiburan musik. Set pertunjukan Plantasia dari Bottlesmoker mengajak tanaman menikmati konser.
Memelihara dan merawat tanaman menjadi kegiatan yang makin banyak dipilih orang di masa pandemi ini. Duo Bottlesmoker memuliakan tanaman dengan bahasa yang mereka kuasai, yaitu musik. Oleh karenanya, duo elektro-pop ini membikin pertunjukan musik untuk dinikmati sobat-sobat hijau ini.
Pada Minggu (13/12/2020) siang, beberapa muda-mudi menenteng pot berisi tanaman di mal Central Park, Jakarta Barat. Mereka mendatangi sebuah meja yang berada di area Tribeca Park. Tujuannya untuk mendaftarkan “anak” mereka mengikuti pertunjukan musik bertajuk Plantasia yang dibesut Bottlesmoker.
Selama ini, mal di kawasan Tanjung Duren itu tergolong ramah bagi binatang piaraan, terutama anjing. Pengunjung biasa membawa “anak bulu” mereka bermain-main di sana. Namun pengunjung membawa tanaman cukup jarang terjadi.
Ada 34 orang yang mendaftarkan tanamannya. Masing-masing rata-rata membawa dua pot, tapi ada juga yang membawa tiga sampai lima pot. Pendaftar juga mendapat tautan siaran langsung pertunjukan yang bisa ditonton dari mana pun mereka mau.
Potnya beraneka rupa, beragam ukuran: ada yang berbahan plastik putih maupun hitam yang masih menyisakan debu tanah, ada juga gerabah berbalut pita. Pot-pot itu disematkan label berisi nama pemiliknya. Ada petugas yang memindahkan pot dari meja ke arena pertunjukan. Petugas kebersihan membantu mengelap pot yang dekil.
Jenis tanamannya pun macam-macam. Sebut saja jenis-jenis tanaman hias yang lagi ngetren belakangan ini, semua berkumpul di situ. Ada janda bolong, pisang-pisangan, sirih gading, philodendron, palem kipas, sampai pohon salak. Tanaman-tanaman itu mau nonton konser, jadi tampilannya harus keren.
Sesekali, Ryan Adzani alias Nobi menerima dan mencatat titipan tanaman itu. Di lain waktu, Anggung Suherman atau Angkuy memindahkan pot dari meja ke arena. Angkuy dan Nobi adalah sejoli yang memulai Bottlesmoker di Bandung sejak 2005 silam.
Pot-pot itu ditata sedemikian rupa, berkerumun di depan meja aksi Bottlesmoker. Angkuy dan Nobi meletakkan synthesizer dan mixer mereka di atas meja itu. Itulah “panggung” kecil mereka. Tanaman-tanaman di samping dan hadapan mereka adalah penontonnya.
Pertunjukan dimulai sekitar pukul 16.00. Angkuy dan Nobi memakai jubah putih, yang membuat mereka terlihat seperti peneliti di laboratorium tanaman. Bunyi panjang tanpa melodi dan beat keluar dari pengeras suara.
Di awal set pertunjukan sepanjang 90 menit itu, Nobi mendatangi para “penontonnya” satu per satu. Dia memegang mangkuk berbahan kuningan yang mengeluarkan dengung tipis jika diketuk dan diputari pemukul kayu. Perkakas itu disebut singing bowl, yang mereka datangkan dari Nepal.
Aksi Nobi itu ibarat sapaan pembuka Bottlesmoker kepada umatnya; semacam ucapan “Halo, selamat sore, terima kasih atas kehadiran kalian” yang biasa diucapkan di pembuka konser untuk manusia.
“Dari hasil bacaan kami di beberapa jurnal ilmiah, tanaman itu berkomunikasi lewat getaran, mereka mendengar lewat getaran,” kata Angkuy seusai pertunjukan.
Piranti singing bowl adalah satu-satunya alat musik akustik yang mereka bawa sore itu. Sisanya, komposisi mereka terbangun dari bebunyian yang telah direkam sebelumnya. Bukan kebetulan, duo ini sangat rajin merekam bunyi-bunyian di sekitar mereka: desau angin, cuitan burung, gemericik air, sampai denyut buah-buahan.
Musik meditasi
Pertunjukan itu menyuguhkan musik panjang tanpa jeda. Pada 30 menit pertama, bunyi yang keluar adalah rangkaian melodi repetitif dari synthesizer, ditingkahi bunyi-bunyian alam. Pola melodinya bernada mayor yang diadaptasi dari pola melodi musik klasik. Pada manusia, pola ini terdengar menenangkan. Entah apa yang dirasakan tanaman.
Suara ketukan (beat) baru muncul setelahnya, yang terdengar lamat-lamat saja. Uniknya, di bagian ini, angin di sekitar arena bertiup agak kencang sehingga daun-daun itu bergerak-gerak. Mungkin mereka sedang berdansa menikmati musik di petang yang mendung itu.
Pada bagian lain, musiknya diracik dari bunyi-bunyian instrumen tradisional seperti karinding dan tarawangsa. Angkuy menjelaskan, bunyi dari instrumen itu berfrekuensi tengah yang ramah pada tetumbuhan.
Frekuensi suara menjadi perhatian utama Bottlesmoker dalam mengomposisi karya di set Plantasia ini. Mereka membuat musik dengan frekuensi pokok 432 hertz. Musik dengan frekuensi demikian banyak dipakai sebagai musik latar untuk relaksasi.
“Katanya bunyi di 432 hertz itu bagus untuk membuka cakra, makanya sering dipakai untuk mengiringi meditasi, atau pengantar tidur, berelaksasi,” ujar Angkuy.
Katanya bunyi di 432 hertz itu bagus untuk membuka cakra, makanya sering dipakai untuk mengiringi meditasi, atau pengantar tidur, berelaksasi.
Angkuy dan Nobi meriset manfaat musik bagi tumbuhan selama sekitar satu bulan sebelum membuat komposisi set Plantasia ini. Awalnya, mereka terpantik dengan literatur yang menuliskan berbagai perlakuan khusus manusia pada tumbuhan. Ritual masyarakat ketika panen adalah salah satu contohnya.
Di lain sisi, album musik Mother Earth’s Plantasia gubahan Mort Garson dari tahun 1976 kembali ramai didengarkan publik sejak dirilis ulang pada 2019 silam. Album itu adalah wujud perlakuan khusus Garson—manusia modern—pada tanaman, khususnya tanaman dalam ruang yang mulai marak seiring dengan gerakan vegetarian di dekade 1970-an itu.
Selama masa pandemi, Bottlesmoker mulai jengah dengan pertunjukan virtual. Mereka rindu tampil secara langsung tapi tidak berisiko pada penyebaran Covid-19. Tercetuslah ide untuk berkonser dengan “ditonton” oleh tumbuhan, bukan manusia. Nama “plantasia” diakui Angkuy terinspirasi dari album Mort Garson itu.
Menjajal khasiat
Album itu juga sampai ke telinga Priska Asriani (30) yang tinggal di rumah kontrakan di Jakarta Selatan bersama lebih dari 80 pot tanaman. Dia mulai lebih intens memelihara tanaman selama masa pandemi ini. “Apalagi pas masa karantina kemarin, kan, nggak keluar sama sekali. Ngobrolnya sama siapa? Ya sama tanaman,” ujarnya.
Priska langsung tertarik ketika Bottlesmoker membuat pertunjukan khusus tanaman. Dia membawa lima “anaknya”; empat jenis maranta, dan satu lidah mertua untuk menyenangkan mereka. “Ya, siapa tahu kalau mereka happy, saya juga ikut happy,” ujar penikmat konser ini.
Yudhi Kustiarno (32) jauh-jauh datang dari Bekasi membawa lima tanamannya untuk menguji khasiat musik live pada tumbuhan. Sehari-hari, Yudhi rutin mengajak ngobrol tanamannya, juga memperdengarkan musik jazz dan folk di rumah.
“Ada penelitian yang bilang bahwa tanaman bisa stres, dan bisa diredakan dengan memperdengarkan musik. Dampak signifikannya memang belum terlihat. Mengajak tanaman ke konser ini bisa jadi pengalaman baru,” kata Yudhi yang belakangan mengembangkan hobi merawat tanaman jadi bisnis ini.
Angkuy menyerahkan pembuktian khasiat musik terhadap tanaman kepada peneliti ilmiah. Riset yang dilakukan Bottlesmoker semata-mata demi kebutuhan penciptaan karya musik mereka. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kata Angkuy, telah mengajak kerja sama meneliti lebih jauh peran “pupuk suara” pada tumbuhan.
Baca juga : Hibernasi Kreatif di Musim Pandemi
Yang jelas, dari konser Plantasia pada Juli lalu di Bandung, Bottlesmoker mendapat “laporan” dari pemilik tanaman yang ikut serta. Ada yang mengaku tanaman cabainya jadi lebih segar. Ada yang bilang monsteranya terus-terusan tumbuh daun baru. Ada juga yang tanaman oreganonya berbunga lagi setelah berbulan-bulan tidak.
Apakah para “sobat hijau” dalam 70-an pot itu menikmati pertunjukan Plantasia Minggu lalu? Karena kendala bahasa, kami gagal mengonfirmasi hal tersebut kepada monstera dan teman-temannya.