Kisah Mahasiswa Sukarelawan Mengajar di Tengah Pandemi
Di tengah kepungan pandemi Covid-19, banyak mahasiswa mengabdikan diri sebagai sukarelawan mengajar.
Di tengah kesibukan kuliah daring, banyak mahasiswa yang menyisihkan waktunya untuk menjadi sukarelawan mengajar siswa. Dengan inisiatif sendiri atau bergabung dengan program mengajar yang digagas pemerintah, mereka terus bergerak di tengah masyarakat.
Mereka, antara lain, membantu pelajar dan guru selama masa pembelajaran jarak jauh. Hari Relawan Internasional yang jatuh pada 5 Desember semakin menguatkan mereka untuk memberi yang terbaik di bidang pendidikan.
Kisah sukarelawan di tengah pandemi Covid-19 cukup mengharukan. Mereka butuh usaha ekstra untuk mendekati para siswa. Ada yang perlu waktu dua minggu untuk mendekati orangtua siswa supaya mengizinkan anaknya ikut belajar. Ada juga sukarelawan yang harus sabar mengajari cara menggunakan komputer pada sejumlah guru yang masih gaptek. Inilah, antara lain, kisah para mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua.
Rifki Ahmad Fauzi (19), mahasiswa semester satu Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Tasikmalaya, Jawa Barat, senang berkegiatan sebagai sukarelawan yang terkait pendidikan. Saat anak-anak yang tinggal di Desa Winduraja, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, tak bisa datang ke sekolah karena pandemi Covid-19, kegiatan mereka beralih membaca buku di Gada Membaca.
Gada membaca adalah tempat Rifki mengabdikan diri sebagai sukarelawan literasi sejak duduk di Kelas 2 madrasah tsanawiyah. Di tempat itu, Rifki mengajari anak-anak mengoperasikan komputer.
Sejak akhir Juli 2020, Madrasah Ibtidaiyah Winduraja menggelar pembelajaran tatap muka secara bergantian di sekolah. Kegiatan belajar dilakukan di sebuah panggung di halaman sekolah. Agus Munawar, pendiri Komunitas Gada Membaca lalu mengajak Rufki yang di akhir Juli masih menunggu jadwal perkuliahan, untuk membantu para guru yang kesulitan memanfaatkan internet dan komputer dalam pembelajaran.
Lulusan SMK bidang perkantoran itu menerima tawaran dari Gada Membaca. ”Aku anggap ini pengalaman yang menyenangkan. Aku baru mulai jadi mahasiswa keguruan, tapi sudah punya kesempatan terjun langsung ke sekolah,” kata Rifki.
Sebelum mengikuti kuliah, tiap hari Rifki membantu guru di MI Winduraja mendampingi anak-anak yang masuk secara bergiriliran. Ia mengingatkan anak-anak dengan yel-yel dan nyanyian untuk menjalankan protokol kesehatan selama di sekolah. Tak hanya itu, Rifki juga sibuk membantu para guru membuat materi pelajaran dengan program power point supaya mudah dipahami siswa.
Para guru menjadi tertarik untuk belajar membuat power point. Rifki pun dengan senang hati mengajari para guru dan membantu guru membuat kuis yang asyik buat anak-anak. ”Pengalaman mengajarkan guru mengoperasikan komputer atau laptop cukup seru. (Di antara mereka) Ada yang belum pernah mengoperasikan laptop atau PC. Saya mengajarkan mulai cara membuat e-mail. Mereka antusias,” ujar Rifki.
Para guru yang antusias belajar tak segan bertanya ke Rifki dan meminta Rifki sabar menghadapi mereka yang gagap berurusan dengan komputer. ”Jangan geregetan, ya, sama ibu kalau nanya bolak-balik. Maklum ibu sudah berumur,” ujar Rifki menirukan ucapan salah satu guru kepadanya.
Setelah kuliah dimulai, Rifki tetap melanjutkan aktivitas membantu anak-anak belajar bahasa Arab, mendampingi anak yang kesulitan belajar serta membantu para guru mengoperasionalkan komputer. Tak hanya membantu pembelajaran di madrasah tsanawiyah, ia juga bersedia membantu anak-anak para tetangga, tetapi sebelum mereka mulai belajar ia mensyaratkan anak-anak membaca buku dulu.
”Bahagia bisa membantu anak-anak. Sekarang ke mana-mana, sering ada yang menerikai Aa Iki… Aa Iki. Saya jadi semangat mengajar anak-anak,” ujar Rifki, yang berencana mendaftar jadi sukarelawan mengajar di sebuah organisasi kemasyarakatan.
Mengajar dari rumah
Kesenangan berkegiatan sosial sudah lama dirasakan Muhammad Idrus Syai’fullah (20), mahasiswa semester lima Prodi Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo, Madura. Selama berkuliah dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, Idrus bergabung dengan program Mengajar Dari Rumah (MDR) yang diinisiasi Persatuan Mahasiswa dan Alumni Bidik Misi Nasional (Permadani Diksi) Nasional.
”Ketika ada pengumuman MDR, aku ikut. Soalnya, ingin punya pengalaman bisa mengajar siswa sekolah. Di batch kedua MDR yang didukung Kemendikbud dan Satgas Covid-19, ribuan mahasiswa terpilih untuk menjalankan MDR di sekitar rumah masing-masing sejak akhir Oktober- Desember,” katanya.
Program tersebut, lanjut Idrus, awalnya inisiatif dari pimpinan Permadani Diksi Nasional yang ingin berkontribusi membantu pendidikan yang sedang menghadapi tantangan karena pandemi Covid-19.
Idrus memulai kegiatan MDR dengan dua siswa di rumah warga. ”Aku mulai dari konsultasi pekerjaan rumah dulu. Siswa sering kesulitan pada pelajaran matematika dan bahasa Inggris. Enggak hanya mengajar, tapi saya selalu ngobrol dan mengingatkan siswa untuk rajin membaca,” katanya.
Ia menyambangi siswa yang kini berjumlah delapan orang siswa SD dan SMP tiap Senin, Selasa, dan Kamis selama kurang lebih 2 jam. Tiap pertemuan, Idrus tak bosan mengingatkan siswa untuk memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Ia harus sabar membimbing anak-anak yang belum lancar membaca dan yang sulit belajar perkalian.
Sambutan hangat siswa membuat Idrus sering lupa waktu saat mendampingi anak-anak mengajar. Apalagi, ada komentar peserta, ”Enakan belajar sama Kak Idrus daripada sama ibu.”
Bagi Idrus, kesempatan mengajar juga jadi pelepas stres menghadapi situasi pandemi Covid-19 dan kuliah daring. Beban tugas kuliah daring serasa lepas saat mendengar celotehan dan tingkah laku anak-anak didiknya.
Sukarela
Rizal Maula, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Persatuan Mahasiswa dan Alumni Bidik Misi Nasional (Permadani Diksi), mengatakan, awalnya gagasan mengadakan program mengajar dari rumah muncul karena mereka melihat siswa, guru, dan orangtua kerepotan dan kebingungan menjalani pendidikan jarak jauh.
”Kami jalan aja dulu karena punya banyak anggota, mahasiswa dan alumni Bidikmis. Ternyata program kami disambut Kemdikbud hingga direkrut ribuan mahasiswa untuk ikut MDR. Bahkan, pada batch kedua, sukarelawan juga diajak jadi duta perubahan perilaku patuh pada protokol kesehatan selama pandemi,” kata Rizal, alumnus mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur.
Saat peluncuran MDR Batch 2 beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengapresiasi kiprah sukarelawan mahasiswa untuk mengajar dari rumah. Gerakan ini diyakini dapat mengurangi beban para murid, guru, dan orangtua dengan cara memastikan pembelajaran tetap berlangsung di masa pandemi. ”Selain mengajar, relawan membantu menjaga kesehatan mental siswa agar tetap semangat belajar,” ujar Nadiem.
Antar jemput
Berawal dari rasa iba melihat anak-anak di sekitar tempat tinggalnya hanya bermain sambil mencari ikan di selokan, Anisa Hidayati (19), mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Musamus Merauke, Papua, juga berinisiatif mengajak mereka belajar di rumahnya. Pandemi membuat sekolah ditutup tetapi keterbatasan sarana belajar di rumah membuat banyak siswa SD dan SMP di Merauke tak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Apalagi sinyal telepon seluler di sana sering buruk.
Meski niatnya tulus membantu, ternyata tak mudah bagi Anisa mengajak anak-anak itu untuk belajar. Anisa harus lebih dulu meminta izin ke para orangtua siswa. Tak cukup sekali, ia sampai dua tiga kali menemui para orangtua dan perlu waktu hingga dua minggu lebih untuk mendapat izin mereka. Anisa mulai mengajar anak di lingkungan rumahnya pada Oktober 2020 lalu.
Itu baru langkah awal. Gadis yang juga membantu anak SMP di sekitar kampusnya untuk belajar Bahasa Inggris tersebut juga harus menjemput anak-anak itu satu persatu dari rumah mereka ke rumahnya yang berjarak 20 meter sampai 200 meter.
Usai belajar selama dua jam, ia mengantar pulang anak-anak tersebut. Jangan membayangkan jalan di kawasan rumahnya, Kampung Urumb, Serapu, Merauke sudah beraspal. Jalan di sana masih berupa tanah sehingga di musim hujan seperti saat ini, jalanan menjadi becek.
Ketika anak-anak ngambek, tak mau belajar, Anisa harus menyediakan permen supaya mereka mau belajar lagi. ”Pada awal belajar harus begitu. Harus selalu ada permen untuk membujuk anak mau belajar. Kalau sudah mendapat permen, mereka mau belajar lagi,” ujar Anisa, yang kadang mesti memberikan alat tulis pada anak-anak yang tidak memilikinya.
Menghadapi sifat rata-rata anak-anak yang keras, ia juga harus ekstrasabar. ”Ada anak yang tidak mau belajar, tahu-tahu ia lari. Saya harus kejar anak itu. Kalau tertangkap saya bujuk lagi untuk kembali belajar, tapi ada juga yang lari pulang ke rumahnya,” cerita Anisa lewat sambungan telepon, Sabtu (6/12/2020).
Untuk bisa membeli buku tulis dan permen, ia harus menyisihkan uang jatah dari ayahnya yang besarnya Rp 50.000 perminggu. Sebenarnya uang itu untuk membeli bensin sepeda motor dan makan saat ia kuliah. Meskipun tercatat sebagai mahasiswa sukarelawan di MDR, Anisa belum pernah mendapat honor sehingga ia harus mengeluarkan dana dari kantung sendiri.
Ketika masa kuliah dimulai, ia harus pandai membagi waktu antara untuk kuliah, mengerjakan tugas dari dosen, aktif di berbagai kegiatan kampus dan komunitas, serta mengajar anak-anak. ”Kadang-kadang saya tidur hanya lima jam per hari, karena itu waktu mengajar anak jadi sekali seminggu dari sebelumnya dua kali,” kata Anisa, yang tercatat sebagai penerima beasiswa Bidik Misi.
Ada 10 siswa SD dan SMP yang belajar di rumahnya. Umumnya ia mengajarkan pelajaran yang belum anak-anak pahami di sekolah. Tetapi ada juga siswa Kelas 4 SD belum bisa membaca. Setelah sekitar 2,5 bulan belajar, anak itu sekarang sudah hafal semua huruf dan mulai bisa mengeja kata. Kemajuan seperti itu yang membuat Anisa enggan menghentikan kegiatannya mengajar walau ia sulit membagi waktu.
IPB Mengajar
Latar belakang hampir sama juga yang membuat Susi Susilawati (20), mahasiswa semester lima Jurusan Fisika Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor sejak awal kuliah giat dalam organisasi IPB Mengajar. Sebelum pandemi, ia telah terlibat membantu mengajar anak-anak di kawasan Gunung Halimun Bogor, anak pemulung, dan pengamen di sekitar kampus IPB.
Pandemi membuat kegiatan kegiatan mengajar di kawasan Gunung Halimun dan anak pemulung, serta pengamen di sekitar kampus terhenti karena kampus tutup dan seluruh mahasiswa belajar secara daring. Ia menjelaskan kegiatan mengajar anak SD dan SMP di Gunung Halimun merupakan program tahunan IPB Mengajar.
Dalam program itu, sukarelawan tinggal di desa-desa selama 21 hari pada liburan semester untuk ikut mengajar di sekolah. IPB Mengajar merupakan organisasi di bawah Badan Eksekutif Mahasiswa IPB. Saat ini kegiatan yang berjalan adalah pembelajaran daring untuk siswa SMP dari sejumlah daerah.
”Selagi belum ada kegiatan tatap muka lagi, kami sedang membenahi organisasi dan berharap seluruh kegiatan segera bisa diadakan lagi,” kata Susi, yang tinggal di Sukabumi, Jawa Barat.
Dari pengalamannya menjadi sukarelawan mengajar, ia tahu bahwa masih banyak anak-anak di Bogor yang belum mendapat pendidikan. Mereka kebanyakan terbesar di pelosok desa.
Sementara itu, Olyvina Eka Marini Nufus (19), mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi dan Manajamen Perikanan Sekolah Vokasi IPB, mengajar siswa TK sampai SMP di sekitar rumahnya di Purwakarta, Jawa Barat. Kebetulan Olyv sudah sering membantu ibunya mengajar di taman kanak-kanak. Ia mengaku tak menemui kesulitan mengajar.
Olyv yang lolos seleksi program MDR mulai mengajar sejak Oktober 2020 hingga Januari 2021 nanti. ”Ruang belajarnya di TK milik ibuku, sehingga saya tak kesulitan mencari tempat belajar,” kata Olyv, yang mengajar dua sampai tiga kali seminggu dari pagi sampai sore.
Anak usia TK lebih banyak belajar budi pekerti, sedangkan anak lebih besar belajar materi pelajaran sekolah. Kini, ia punya 17 siswa didik yang tak hanya ia ajari materi pelajaran di sekolah tetapi juga tentang cara hidup sehat, apalagi di masa pandemi.
Dari kegiatan itu, Olyv mendapat honor Rp 900.000 per bulan. ”Saya bersyukur mendapat kesempatan mengajari anak-anak. Dengan honor itu, saya bisa membayar SPP. Sebelumnya saya mau cuti karena tidak ada uang buat bayar kuliah. Ayah saya kena PHK dari sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Sudah berbulan-bulan di rumah, belum mendapat pekerjaan lagi,” tutur Olyv.