Handry Satriago Menginspirasi Anak Muda untuk Berinovasi dan Meraih Mimpi
CEO General Electric Indonesia Handry Satriago mengajak anak muda mengejar mimpinya meraih kesuksesan.
CEO General Electric Indonesia Handry Satriago (51) memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk lebih banyak berinteraksi dengan anaknya. Selain itu, membuat kelompok belajar untuk studi kasus bisnis.
Handry, CEO General Electric (GE) Indonesia yang pertama asli Indonesia selalu bahagia berkesempatan berbagi dan menginspirasi kalangan anak muda. Dia ingin menantang anak muda untuk berani bermimpi dan menyiapkan diri jadi pemimpin.
Akhir pekan beberapa waktu lalu, Sabtu (14/1/2020), Handry hadir secara virtual di acara Hyundai Startup Challenge. Dia mengatakan, meskipun ada tantangan pandemi Covid-19 ataupun resesi ekonomi, bisnis tetap harus berjalan. ”Kita harus survive, terlebih lagi sebagai perusahaan muda atau start up. Namun dengan inovasi, kewirausahaan akan tetap bertahan dan berkembang,” kata Handry.
Handry mengatakan, sejak menjadi CEO GE Indonesia sekitar 10 tahun lalu, dirinya sering kali ditanya mengapa baru kali ini ada orang Indonesia yang jadi pucuk pimpinan tertinggi perusahan teknologi maju, jasa, dan keuangan global. Pertanyaan lebih lanjut apa yang membuat pemimpin dari Indonesia tidak cukup dipercaya sehingga lebih sering dipimpin warga negara asing (WNA).
”Saya bingung, enggak tahu menjawab banyak orang dan enggak mendapat jawaban yang diinginkan,” ujar Handry.
Handry pun memakai kesempatan itu untuk bertanya kepada bosnya. Dia pernah menanyakan mengapa baru sekarang pimpinan GE Indonesia dipilih asli orang Indonesia, yang kebetulan dirinya sendiri.
”Jawaban si bos saat itu, tim Indonesia ini hebat kalau dikasih kerjaan, selalu bilang ya dan melakukan. Berapa pun target yang ditetapkan akan dicapai. Jadi Anda terpilih karena bagus bilang no. Sebab, bilang ya saja tidak cukup. Namun tidak cukup juga bilang no atau tidak, tanpa memberi ide, feedback atau umpan balik, dan input. Nah, kalau pemimpin datang dengan ide,” kata Handry yang penyandang disabilitas dan berkursi roda ini.
Handry mengatakan, seretnya ide karena memang orang Indonesia tidak terlatih untuk bertanya, tapi menjawab. Padahal dengan bertanya sebagai cara untuk mencari solusi dan berkreasi lewat pertanyaan mengapa, mengapa tidak, bagaimana seandainya, apa selanjutnya. Dengan pertanyaan kritis ini, roda inovasi akan terus berjalan sehingga muncul ide untuk usaha rintisan baru.
”Kita belum baik untuk menciptakan sesuatu yang baru, masih jago mengikuti yang ada,” kata Handry.
Punya mimpi
Dalam mencapai sukses, Handry mengajak anak muda berani punya mimpi. Dia berbagi kisah tentang mimpi ayahnya, yang begitu ingin bersekolah pada tahun 1950-an. Namun, mimpi ayah Handry yang tinggal di pedalaman Payakumbuh, Sumatera Barat, untuk bersekolah sirna karena sekolah yang ada hancur akibat perang Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Dalam keadaan putus asa, ayah Handry melihat majalah yang tertinggal di reruntuhan sekolah yang ada iklan minuman Coca Cola. Gambar sebuah keluarga yang duduk bersama minum Coca Cola mengesankan hati ayah Handry.
Dengan nekat, ayah Handry merantau ke Pekanbaru, Riau. Mimpi baru sang ayah mau punya keluarga dan bisa membawa keluarganya ke restoran untuk minum Coca Cola. Sang ayah bekerja sebagai pembantu di rumah ekspatriat supaya bisa gratis belajar bahasa Inggris.
Akhirnya, ayah Handry bekerja di perusahaan minyak. Di tahun 1973, sang ayah berhasil membawa istri dan anaknya pindah ke Jakarta. Mimpi sederhana pun terwujud, ayah Handry membawa keluarganya ke Hotel Indonesia, satu-satunya hotel bertingkat saat itu. Keluarga ini pun makan mewah di restoran hotel dan minum Coca Cola. Ayah Handry merasa bahagia karena sudah bisa meraih mimpinya.
”Saya mendengar cerita ayah soal mimpinya ketika usia 13 tahun, waktu SMP. Ternyata mimpi baik itu menular. Saya mimpi punya niat menyelesaikan sekolah. Tahun 2010, saya selesaikan jenjang pendidikan S-3 atau doktor,” cerita Handry.
Keluar dari zona nyaman
Saat dirinya diwisuda menjadi doktor di Universitas Indonesia, ayah Handry tidak mau duduk di depan, justru memilih di bangku belakang supaya bisa berdiri. ”Saat saya baca pidato doktoral, mata kami beradu pandang. Ada percakapan tak terucap bahwa akhirnya kami berhasil. Saya selalu berpesan, punya mimpi. Gantungkan setinggi langit, tapi beri kaki supaya bisa menjejak bumi supaya bisa lari. Mimpi ayah saya sederhana bisa minum Coca Cola, tapi dengan tindakan berani keluar dari zona nyaman. Jadi, harus mengubah zona nyaman yang saat ini Anda punya,” ujar Handry.
Menyelesaikan pendidikan hingga S-3 bagi Handry yang berkursi roda butuh perjuangan. Dia ingat, saat mulai kuliah S-1 di Institut Pertanian Bogor, di hari pertama kuliah, mahasiswa baru berkumpul di lantai 4. Hatinya sempat ciut dan hendak pulang. Namun, tanpa disangka-sangka, ada mahasiswa yang menepuk pundak Handry dan menawarkan untuk membantu Handry. Bantuan pun berdatangan sehingga Handry bisa melewati empat tahun kuliah dan menjadi insinyur.
”Kalau Anda berjuang pintu akan terbuka. Kalau Anda menyerah, pintu akan tertutup,” ujar Handry.
Handry mengatakan, dirinya tak pernah bermimpi untuk menjadi CEO GE Indonesia. Berpikir pun tidak karena jabatan tersebut dirasa ketinggian. Lagi pula, Handry merasa nyaman dengan posisinya sebagai sales pembangkit listrik wilayah Asia Tenggara.
Namun, pada akhirnya Handry harus berani keluar dari zona nyaman. Ketika berada di Hanoi, Vietnam, untuk urusan bisnis, Handry diminta terbang dengan pesawat jet bersama bos GE Internasional. Ternyata, penumpang pesawat hanya Handry dan bosnya.
”Reaksi saya Indonesia banget, mulai kehilangan percaya diri, mau ngobrol apa dengan pimpinan. Juga mulai bertanya-tanya, mungkin ada yang salah dengan diri saya, bisa jadi mau dipecat,” cerita Handry.
Handry teringat ketika dia diundang ke Amerika Serikat dan mendengar paparan bahwa Indonesia adalah pasar potensial. Handry langsung angkat tangan menyanggah. Dia mengemukakan pikirannya agar pimpinan mengubah pendekatan. Handry yang saat itu sudah bekerja 13 tahun di GE Indonesia selalu mendengar Indonesia masa depan dan butuh investasi dan sumber daya manusia. Handry punya pikiran lain supaya Indonesia juga bisa seperti Korea Selatan dan China dipandang sebagai pasar sekarang.
Ternyata, di luar dugaan Handry, dirinya ditawari jadi CEO GE Indonesia. Ada keraguan menerima tantangan baru karena sudah merasa nyaman dengan pencapaiannya sekarang. Akhirnya, Handry berani memilih tantangan sebagai CEO GE Indonesia pertama asal Indonesia. Sebagai pemimpin dia harus berlari kencang, mendobrak tembok dan lari lebih jauh, berani jatuh, bangun, dan lari lagi.
”Itu yang akan membuat kita berbeda,” kata Handry
Handry mengatakan, daya saing bangsa harus dibangun dengan mengandalkan inovasi. Itulah yang dilakukan Korea Selatan yang 20 tahun lalu tidak masuk dalam 10 besar. Namun, sekarang menghasilkan produk berdaya saing global.
”Kita Indonesia, apa punya banyak produk global? Jadi perlu banyak menciptakan perusahaan untuk bisa menjadi pemain. Indonesia butuh sumber daya manusia yang berbeda, yang melakukan inovasi dan mendobrak untuk menuju kancah global,” kata Handry.