Pacaran Sehat Harus Bersih dari Racun
Hubungan pacaran yang tak sehat akan melukai salah satu pihak. Tak jarang, kekerasan fisik memperburuk relasi ini. Perlu keberanian mengambil keputusan saat hubungan kian tidak sehat.
Butuh waktu dua tahun bagi Shera (27) untuk pulih dari hubungan tak sehat (toxic relationship). Pengalaman pahit ini membuatnya lebih selektif memilih pasangan.
Tahun 2016 di Yogyakarta, Shera dekat dengan seorang lelaki yang kemudian menjadi pacarnya. Mereka sering membahas soal relasi kuasa. Waktu itu, publik sedang dihebohkan oleh kasus seorang penyair kondang di Jakarta yang diduga memperkosa mahasiswa. Kasus sang penyair itu mangkrak sejak yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka tahun 2014.
Baca juga : Dampak Kekerasan Verbal pada Perempuan Dirasakan Menahun
Di awal hubungan, Shera sebetulnya sudah merasa pasangannya bermasalah. Kepada Shera, pasangannya mengaku pernah memukul perempuan dengan dalih skizofrenianya kambuh. ”Aku merasa anak itu (pacar Shera) bermasalah. Tetapi waktu itu, kan, aku lagi naksir-naksirnya,” ujarnya, Kamis (26/11/2020).
Pengakuan si pacar mengidap skizofrenia membuat Shera berempati. Dia sempat merasa bisa mengubah pacarnya menjadi lebih baik. Sepuluh bulan berpacaran, keadaan justru memburuk. Sang pacar sering curiga dan cemburu.
Puncaknya terjadi tahun 2017. Waktu itu, mereka nongkrong sambil minum bir. Si pacar menyaksikan Shera berkomunikasi dengan temannya lewat aplikasi percakapan. Tak terima, si pacar melempar botol bir kepadanya. Shera melawan. Tetapi lehernya dicekik dan tubuhnya disandarkan ke dinding kafe.
Insiden itu membuat Shera sampai pada kesimpulan bahwa hubungan mereka tak bisa diperbaiki lagi. Dia merasa sudah cukup dan tak bisa lagi menoleransi perbuatan pasangan.
”Waktu itu, aku dapat tawaran untuk bekerja di Jakarta. Ini menjadi kesempatanku untuk keluar dari toxic relationship. Aku pamit lewat gawai, tak berani bertemu langsung karena enggak bisa membayangkan akan seperti apa responsnya,” kata perempuan yang kini bekerja sebagai pemasaran digital di salah satu agensi di Jakarta.
Baca juga : Dunia Desak Kekerasan terhadap Perempuan Harus Dihentikan
Di Jakarta, dia berkonsultasi dengan psikolog profesional. Butuh dua tahun hingga dia merasa benar-benar sembuh dari trauma masa lalu.
Luka masa lalu membuat perempuan asal Pontianak, Kalimantan Barat, ini kian selektif memilih pasangan. Hingga kini, tiga tahun setelah mengakhiri hubungan itu, Shera belum berpacaran lagi. Dia menyeleksi orang-orang yang dekat dengannya.
”Salah satunya itu aku menceritakan bahwa aku pernah menjadi penyintas di masa lalu. Kalau mendengar cerita itu, dia jadi tidak naksir lagi, berarti dia tak bisa menjadi pasangan,” ujarnya.
Karyawan di salah satu lembaga pelatihan di Jakarta, Asih Anggraini (25), selama tiga tahun juga terjebak dalam hubungan toxic relationship dengan pacarnya. Intensitas hubungan yang tidak sehat itu meningkat dalam enam bulan terakhir sebelum Asih mengakhiri hubungan.
Waktu itu, Asih yang berstatus pengangguran dan tinggal di Jambi, mulai bekerja di Jakarta. Sementara pacarnya berada di Padang, Sumatera Barat. Mereka berpacaran sejak sama-sama kuliah di kampus yang sama. Bayangan tentang indahnya pacaran pun kian jauh dari kenyataan.
”Nyiksa banget karena kerjaku dibatesin. Temenan dibatesin, enggak boleh pulang malam, padahal aku kerja lembur. Emotionally abuse,” ujar lulusan Sastra Inggris ini.
Tiga tahun diakuinya cukup lama untuk bertahan dengan pasangan yang bermasalah. Salah satu yang membuat hubungan tidak sehat itu berlangsung lama adalah kelihaian sang pacar memainkan emosi Asih. Ada kalanya pacarnya menyakiti Asih. Di waktu lain, pasangannya membuat Asih sangat diinginkan.
”And he takes it as a compliment pas di fase aku belum sadar. Pas sudah sadar, aku ngerasa kayanya ini enggak bagus untuk kesehatan mentalku karena aku terus-terusan merasa diinginkan atau dibutuhkan oleh pasangan, tapi based on his demand. Padahal aku juga punya keinginan. Enggak melulu keinginan dia,” lanjut Asih.
Tiga tahun diakuinya cukup lama untuk bertahan dengan pasangan yang bermasalah. Salah satu yang membuat hubungan tidak sehat itu berlangsung lama adalah kelihaian sang pacar memainkan emosi Asih. Ada kalanya pacarnya menyakiti Asih. Di waktu lain, pasangannya membuat Asih sangat diinginkan.
Hubungan itu pun berakhir dan menjadi pengalaman berharga. Berangkat dari masa lalu, Asih sejak awal membuat batasan dengan pasangan. Ia mulai membuat daftar apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Diskusi dengan pasangan harus intens untuk mendapatkan titik temu dari kedua pihak. Selain itu, dia dan pasangan harus memberi ruang untuk kepentingan pribadi masing-masing. Dia meyakinkan dirinya bahwa cinta tidak seharusnya melukai.
”The most important thing, don’t dramatize and glorifying love. It is just love. Kalau putus, ya sudah. Cari lagi (pasangan baru). Better being alone than in bad accompany,” jelasnya.
Baca juga : Kian Didera Kekerasan, Korban Tetap Tak Berani Bersuara
Menurut dia, menonton film dan membaca buku yang tak mengglorifikasi percintaan cukup membantunya. Ia menyadari, wacana seseorang dibentuk dari apa yang didengar, dibaca, dan dilihat.
”Hubungan dengan pacar bukan segalanya. Jadi, menjadi sinis sedikit terhadap percintaan juga perlu. Yang paling penting, kalau sudah merasa ada kesadaran ’Kok, hubungan aku gini, ya. Kok, dia jahat ya,’ segera cari temen cerita dan jangan membatu dikasih insight. Jangan denial. Soalnya teman cerita suka ada benarnya,” lanjutnya.
Menurut karyawan swasta di Jakarta, Alexander Sinaga (30), tanpa bermaksud menempatkan pasangan sebagai obyek, lelaki pada dasarnya merasa
insecure terhadap pasangan. Ada kekhawatiran si pacar berpaling ke pangkuan orang lain.
Saat ini, dia berpacaran dengan perempuan yang bekerja di bidang teknik, sebuah profesi yang dia bayangkan lebih banyak didominasi oleh kaum lelaki. Pacarnya yang seorang insinyur itu sedang bertugas di Batam, Kepulauan Riau. Di Batam, sang pacar tinggal satu apartemen dengan rekan kerja.
”Meski beda unit dan rekan kerjanya sudah punya istri, kekhawatiran itu tetap ada. Aku misalnya, selalu bilang agar dia tak terlalu sering bersama-sama dengan rekan kerjanya,” kata Alex yang beberapa waktu lalu baru balik dari Batam.
Rasa tidak aman ini mendorong Alex menjadi dominan dalam sebuah hubungan. Dia lebih suka pasangan yang bisa mendengarkan ketimbang proaktif memberikan usulan.
Ini tak lepas dari gagalnya hubungan di masa lalu. Ketika masih kuliah di salah satu kampus di Australia, Alex pernah berpacaran dan menempatkan diri dalam posisi setara dalam pasangan. Pacarnya warga Australia dan kebetulan seorang aktivis feminisme.
Alex yang waktu itu kuliah sambil bekerja di restoran selalu dilanda khawatir pasangannya akan selingkuh. Sebagai aktivis, sudah tentu pacarnya berkawan dengan banyak orang. Dia merasa beberapa dari kawan pasangannya itu lebih keren dari dirinya. ”Dia berada dalam posisi tidak menerima kalau aku terlalu posesif karena itu membatasi kebebasannya sebagai individu,” jelasnya.
Hubungan Alex dan pacar terdahulunya menunjukkan bahwa sehatnya hubungan pacaran sangat ditentukan kedua pihak. Imbal-balik amat dibutuhkan untuk menjadikan relasi dua insan ini menyehatkan dan terhindar dari hubungan beracun (toxic relationship).
Mengutip alodokter.com, toxic relationship adalah istilah untuk menggambarkan suatu hubungan tidak sehat yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Hubungan ini tidak hanya bisa terjadi pada sepasang kekasih, tetapi juga dalam lingkungan pertemanan, bahkan keluarga. Ciri-cirinya adalah seseorang selalu dikontrol oleh pasangan, sulit untuk menjadi diri sendiri, sering dibohongi, bahkan hingga mengalami kekerasan fisik.
Apabila Anda mengalami hubungan yang tidak sehat, barangkali ada racun yang perlu dihilangkan demi relasi yang lebih sehat lagi.