Anak muda perlu mengasah kemampuan berpikir kritis. Ketika semua aspek kehidupan bergulir serba cepat, mereka kehilangan momen untuk merasakan proses berpikir.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana diskusi IdeaFest 2020 Restart sesi Navigating Life: The Importance of Philosophy for Modern Days yang diselenggarakan secara virtual, Sabtu (14/11/2020). Pembicara yang hadir adalah pendiri bersama @_jadigini, Emilia Tiurma Savira; pendiri Logos ID, Nathanael Pribadi; dan pendiri bersama Menjadi Manusia, Rhaka Ghanisatria.
Anak muda perlu mengasah kemampuan berpikir kritis. Ketika semua aspek kehidupan bergulir serba cepat, mereka kehilangan momen untuk merasakan proses berpikir. Padahal, kemampuan berpikir kritis itu krusial untuk memahami, memaknai, dan menjalani kehidupan.
Isu mengenai anak muda dan kemampuan berpikir kritis mencuat dalam IdeaFest 2020 Restart sesi Navigating Life: The Importance of Philosophy for Modern Days yang diselenggarakan secara virtual, Sabtu (14/11/2020). Pembicara yang hadir adalah pendiri bersama @_jadigini, Emilia Tiurma Savira; pendiri Logos ID, Nathanael Pribadi; dan pendiri bersama Menjadi Manusia, Rhaka Ghanisatria.
Ketiga anak muda ini membuat platform di berbagai media sosial guna membahas beragam masalah kehidupan. Mereka membahas, antara lain, filsafat, sejarah, politik, agama, fenomena sosial, kesehatan mental, budaya populer, dam isu lingkungan.
Faktor yang memicu Eiliah, Nathanael, dan Rhaka untuk membentuk platform seperti itu bermacam-macam. Nathanael, misalnya, ingin menyalurkan kesukaannya terhadap filsafat. Sementara Rhaka ingin menjadi inspirasi bagi masyarakat sebagai berjuang menjaga kesehatan mental. Namun, pada dasarnya, ketiga anak muda ini ingin menawarkan perspektif kehidupan yang lain kepada sekitar.
Emilia mengatakan, mereka ingin mengajak anak muda untuk berpikir lebih kritis dalam menjalani kehidupan. Dalam mengasah kemampuan itu, metode yang bisa diterapkan adalah dengan mempertanyakan segala sesuatu untuk memahami diri dan sekitar.
”Belajar dari pemikir di masa lalu, kita tidak perlu menjawab semua pertanyaan, tetapi fokus menjawab pertanyaan yang paling penting,” kata Emilia.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, Emilia mempelajari makna kehidupan melalui sejumlah literatur sejumlah pemikir. Salah satunya adalah ketika dia belajar stoikisme, sebuah konsep dari filsafat. Stoikisme membahas bagaimana manusia hanya perlu fokus pada apa yang bisa dikendalikan dan menerima hal yang di luar kendali.
Emilia mengimplementasikan konsep itu dalam menjalani hari-harinya. Ketika kehilangan ayahnya, misalnya, Emilia menyadari, dirinya perlu menerima kekosongan yang ada. ”Teori dan praktik itu seperti suami istri karena saling membutuhkan satu sama lain,” ujarnya.
Kompas/Hendra A Setyawan
Seorang anak lak-laki melewati mural bertema wayang yang tergambar pada tembok di kawasan Cempaka Putih, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (29/8/2020).
Nathanael menambahkan, berpikir kritis akan membuat seseorang memiliki perspektif yang lebih luas. Mereka akan memikirkan suatu isu dari berbagai sudut pandang sehingga mengurangi bias.
”Seperti Socrates, semakin belajar, semakin banyak yang tidak kita ketahui. Jadi, kita menjadi lebih rendah hati dan mempersiapkan diri untuk mengetahui kebijakan dengan lebih bijak,” kata Nathanael.
Selain itu, tuturnya, orang yang berpikir kritis akan menjalani hidup yang otentik. Artinya, orang itu akan memiliki pemikiran sendiri tanpa terseret pandangan dari kelompok mayoritas. Definisi kehidupan orang itu tidak akan bergantung dari penilaian orang lain.
Bahaya media sosial
Saat ini, media sosial menjadi platform tempat anak muda paling sering berinteraksi. Namun, interaksi di dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Semua pengguna dapat berbagi pandangan dari beragam perspektif mengenai suatu isu. Apabila tidak hati-hati, interaksi di media sosial bisa berdampak negatif.
Emilia, Rhaka, dan Nathanael juga berusaha mengurangi perdebatan itu di media sosial lewat platform masing-masing. Mereka mendorong warganet mengedepankan diskusi terkait isu ketimbang perdebatan tentang opini siapa yang paling benar.
Emilia mengingatkan, informasi dalam platform digital biasanya telah memiliki bias. Untuk itu, sulit menentukan hitam dan putih dalam suatu argumen. ”Kami memilih untuk berdiskusi tentang why dan how daripada isu itu benar atau tidak secara moral,” katanya.
Kompas/Priyombodo
Mural bertema menentang hoaks menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). Penyebaran hoaks atau informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial dan grup percakapan, kian mengkhawatirkan. Salah satu yang menjadikan penyebaran hoaks marak adalah kenyataan bahwa jumlah pemegang telepon pintar terus meningkat.
Rhaka menambahkan, media sosial memunculkan tendensi agar para pengguna menghakimi satu sama lain. Karena itu, mereka berupaya untuk membuka ruang diskusi mengenai berbagai isu. Isu yang sensitif pun ikut dibahas, termasuk ateis, kesehatan mental, dan LGBT.
”Harapan kami adalah orang menjadi lebih open-minded. Karena yang terjadi di masyarakat adalah kita hidup dalam bubble sendiri sehingga tidak mau menjangkau orang lain,” ujarnya.