Hadir di Ideafest 2020, Generasi Z Berani Beraksi
Generasi Z identik sebagai kelompok yang kurang sabar, serba instan, dan kurang peduli. Namun, di Ideafest 2020, generasi Z menunjukkan kepeduliannya pada isu-isu sosial.
Generasi Z, atau yang biasa disebut generasi internet, sering diidentikan sebagai kelompok yang kurang sabar, menyukai hal-hal serba instan, tidak peduli, dan pesimistis. Namun, di Ideafest 2020, generasi yang lahir tahun 1995-2010 ini menunjukkan mereka solid, peduli pada isu sosial dan lingkungan hidup, serta berani beraksi untuk kepentingan banyak orang.
Ideafest 2020 merupakan acara tahunan yang menampilkan lebih dari 110 tokoh dan enam program terkait tren industri kreatif. Acara ini diselenggarakan untuk mendukung ekonomi kreatif serta menyajikan akses informasi dan konten inspiratif untukmasyarakat. Mengusung tema ”Restart”, Ideafest diselenggarakan secara virtual pada 5-15 November 2020.
Dalam IdeaTalks yang berjudul A Portrait of Youth Voice in Indonesia, Co-Founder Spark Impact, Adelle Odelia Tanuri dan Clara Linanda menceritakan bagaimana generasi Z mampu mengidentifikasikan dan mencari solusi untuk masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup.
Pembicara lainnya, yaitu Mandy CJ dan Christine Laifa dari The Finery Report, serta Abigail Limuria dan Faye Simanjuntak dari What Is Up Indonesia, memaparkan mengenai peran generasi muda di ruang digital dan sosial media. Keempat pembicara berdiskusi dalam forum Woke Generation: How These Independent are Opening the Eyes of Gen-Z.
Sementara itu, di sesi terpisah, peneliti dan penulis konten Kembali Berwisata, Anjani Mutter menceritakan pengalamannya mempromosikan tempat-tempat wisata di Indonesia yang belum banyak tereksplorasi, tetapi telah menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Menurut Abigail, generasi Z mempunyai karakter punya keingintahuan yang besar dan keinginan kuat untuk mengambil aksi nyata. ”Begitu membaca berita yang menggugah nurani, mereka tidak segan-segan untuk membanjiri linimasa dengan opini. Generasi Z juga gigih untuk melakukan perubahan,” katanya.
Ia mencontohkan, ketika isu rasisme beredar di Amerika Serikat, anak muda Indonesia bersikap menentang kekerasan terhadap orang kulit hitam dengan ikut membanjiri lini masa dengan tagar Black Lives Matter. ”Ini menunjukkan mereka peduli,” katanya.
Kepedulian generasi Z tidak hanya terkait dengan isu-isu internasional, tetapi juga di dalam negeri. Namun, sayangnya, menurut Abigail, ada jurang pemisah antara ketersediaan dan kebutuhan informasi untuk anak muda. Ini membuat gaung kepedulian generasi Z tidak begitu terasa. Akibatnya, generasi ini dianggap tidak peduli pada isu di dalam negeri.
”Ketika ngomongin racism, misalnya, tidak usah jauh-jauh ke Amerika Serikat. Racism juga terjadi di Indonesia. Namun, kenapa banyak yang diam? Ini bukan berarti generasi Z tidak peduli, tetapi informasi yang dibutuhkan tidak tersedia,” ujarnya.
Dengan pemahaman ini, Abigail bersama Faye mendirikan What Is Up Indonesia (WIUI), sebuah akun Instagram yang bertujuan membagikan konten terkait isu sosial politik di Indonesia yang disajikan dalam bahasa Inggris. Topik yang ditampilkan, antara lain, terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol, UU Perkawinan, dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Bahasa Inggris dipilih untuk memenuhi kebutuhan generasi Z yang tidak memahami atau tidak fasih berbahasa Indonesia. Generasi ini sebagian merupakan anak orang asing yang tinggal di Indonesia, atau anak Indonesia yang menghabiskan sebagian besar waktu di luar negeri. Baru dua bulan didirikan, WIUI sudah diikuti lebih dari 38.500 pengikut.
Abigail mengatakan, generasi Z punya karakter passionate dan mudah untuk mengambil aksi. ”Dua keunggulan ini harus diimbangi dengan berpikir kritis dan akurasi. Untuk memahami suatu berita yang tersebar, misalnya, kita harus tahu sejarah dan pengaruh sosial. Tanpa pemahaman ini, nanti aksi yang diambil bisa salah,” ujarnya.
Menurut Faye, generasi Z mempunyai kemewahan bisa mengonsumsi media, mempunyai kesempatan untuk kroscek informasi, serta memulai ruang dialog. ”Pada waktu bersamaan, kita punya tanggung jawab untuk mengonsumsi media dan memahami informasi secara kritis. Ada priveledge, ada tanggung jawab, apakah kita siap dan mau menggunakannya?” katanya.
Dalam menyajikan konten berita di sosial media, Abigail dan Faye berusaha memahami persoalan dari berbagai sudut pandang. Setelah itu, konten disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh generasi muda. ”Kami mengangkat berita yang kami pikir akan memengaruhi hidup banyak orang. Menyampaikannya harus sederhana dan enak dibaca,” ujar Faye.
Selain menyuapi generasi muda dengan informasi terbaru, WIUI juga membuat grup Whatsapp. Melalui grup ini, pendirinya ingin membangun budaya dialog di antara generasi Z. Melalui grup diharapkan generasi Z bisa saling belajar dari orang yang berbeda-beda.
Adelle Odelia Tanuri mengatakan, generasi Z menunjukkan sikap passionate, mampu membangun jejaring, dan kolaborasi untuk merealisasikan visi Indonesia sejahtera. ”Ada yang menganggap anak muda tidak mengerti, tidak peduli, dengan masalah di Indonesia. Itu tidak benar. Banyak anak muda mengambil peran, seperti di bidang pendidikan,” ujarnya.
Pada 2018, Adelle mendirikan Spark Impact, sebuah organisasi berdampak sosial yang bertujuan untuk menginspirasi kaum muda untuk meningkatkan karier mereka untuk memecahkan masalah sosial dan lingkungan yang kompleks. Ia juga aktif pada kegiatan-kegiatan pendidikan di Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), yang didirikan oleh ibunya, Veronica Colondam.
Adelle memaparkan, Indonesia mempunyai masalah serius di bidang pendidikan. Masalah ini semakin terasa selama pandemi Covid-19, yang membuat sebanyak 9 juta pelajar putus sekolah. Sebanyak 30 persen pelajar tidak bisa sekolah karena tidak punya akses ke ponsel pintar, jaringan internet, dan kuota internet. ”Di Pulau Jawa ada anak yang harus memanjat pohon untuk dapat signal. Bagaimana di daerah lain,” katanya.
Kearifan lokal
Kepedulian generasi digital untuk kemajuan Indonesia ini diwujudkan dengan berbagai cara, sebagian menggunakan platform digital dan media sosial. Generasi muda tidak segan-segan berbagi melalui pelatihan untuk menciptakan dunia yang ideal.
Anjani Mutter, misalnya, melakukan pendampingan dan memberikan pelatihan mengenai pemasaran digital kepada pengurus tempat-tempat wisata. Ia memaparkan program pelatihan untuk menyusun, menulis, dan membagikan cerita tentang daerah wisata.
”Kami bukannya ingin orang-orang segera berkunjung ke sana. Tetapi, program jangka panjang kami adalah bagaimana kita bisa belajar dan meniru daerah yang menerapkan pariwisata berkelanjutan,” kata Anjani, dalam diskusi Traveling Tales: The Art of Storytelling in Tourism dalam Ideafest 2020 Restart hari kedua, Sabtu (14/10/2020).
Tempat wisata juga diajarkan mengenai cara untuk menarik wisatawan tanpa merusak kearifan lokal. Ini lantaran kearifan lokal sejatinya adalah daya tarik bagi para wisatawan untuk berkunjung. Menurut Anjani, vitalitas suatu tempat wisata tidak perlu berubah mengikuti daerah lain, tetap terbentuk secara alami.
Hal yang miris adalah Anjani justru banyak mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari luar negeri. Ia biasa mencari informasi dari situs-situs asing atau ulasan wisatawan mancanegara dalam Tripadvisor. Cerita lengkap tentang Toraja, misalnya, Anjani peroleh dari makalah orang Jerman atau Perancis. ”Di Indonesia, yang belum banyak dieksplorasi adalah storytelling di daerah itu apa. Jarang tersedia platform dan kanal informasi yang mengedukasi. Jadi, kadang untuk riset aku cari pakai bahasa Inggris,” tutur Anjani.
Di sesi terpisah, Kreator Komik Tahilalats, Nurfadli Mursyid, berbagi cerita hidup tentang perjuangannya menjadi komikus. Ia berhasil mengundang tawa anak muda lewat komik setrip. Cerita Tahilalats berisi banyak cerita satir tentang kehidupan sehari-hari, baik tentang karier, dinamika hubungan keluarga, hingga fenomena media sosial.
Tidak jarang, Tahilalats juga menyentil sebuah fenomena sosial dengan cara jenaka. Contohnya, Tahilalats pernah merilis komik berisi ketakutan ikan terhadap sampah plastik, tetapi di sisi lain ”plastik” juga bermanfaat. Ternyata plastik yang dimaksud adalah operasi plastik. ”Tahilalats itu karakter yang muda, segar, energik, jenaka, menghibur, dan ceria,” kata Nurfadli.
Ada banyak karakter dalam Tahilalats. Tidak hanya manusia, Nurfadli juga menggambar hewan atau buah sebagai pemeran utama dalam komik. Namun, ciri khas dari gambar komik Tahilalats adalah para karakter memiliki bola mata putih oval dengan kornea berupa titik hitam. Gaya ini memberi kesan karakter sebagai tokoh yang nyeleneh.
Baca juga : Ideafest di Tengah Pandemi Covid-19, Momentum Evaluasi Industri Kreatif
Tahilalats belakangan semakin populer. Jumlah pengikut Tahilalats di sejumlah media sosial telah mencapai lebih dari 10 juta pengikut hingga Oktober 2020. Di Instagram saja, pengikutnya sebesar 4,2 juta akun. ”Saya mendapatkan inspirasi cerita dari mana saja. Saya tidak perlu cari jauh-jauh, hal yang relatable, alami sehari-hari, atau obrolkan bisa menjadi ilham. Kalau mendapatkan ide spontan, langsung saya catat di notes,” tutur Nurfadli.
Nurfadli kini mengembangkan Tahilalats melalui Mindblowon Studio, sebuah plesetan dari kata mind blown atau pikiran yang meledak. Bersama timnya, pemuda asal Pare Pare ini mulai mengembangkan komik lain, Tahilalats sebagai animasi, serta beragam merchandise.