Mengulik Kekuatan Musik
Musik itu punya kekuatan. Kekuatan untuk mengungkap persoalan, membangkitkan kesadaran, hingga mengkritik kebijakan. Selebihnya, silakan pikirkan sendiri.
Di balik musik ada kekuatan. Musik bisa menyatukan impian, menggelorakan semangat, mengusik kesadaran orang, hingga jadi alat efektif untuk mengkritik kebijakan. Jadi, ayo kita bermusik!
Persoalan musik dan peran sosialnya dibahas dalam webinar Suara Muda: Mengusik Lewat Lirik dan Musik. Webinar digelar oleh M Bloc Space bekerja sama dengan Kompas, Jumat (30/10/2020), untuk memperingati Sumpah Pemuda.
Pembicara yang hadir Direktur Program M Bloc Space Wendi Putranto yang juga pengamat musiki; musisi Gusti Arirang dari Tashoora; Endah Widiastuti dari Endah N’ Rhesa; Tanayu dan Yuyi Trirachma dari Fleur!
Wendi melihat, musik sejak awal mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Ketika Kongres Pemuda II pada 1928 digelar, WR Soepratman mengusulkan agar para pemuda memainkan lagu ciptaannya, “Indonesia Raya”, sebagai simbol nasionalisme. Lagu ini kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang kalau dinyanyikan bikin warga Indonesia merinding.
Pada periode 1930 hingga 1940, banyak komponis muda yang menciptakan lagu untuk menaikkan semangat perjuangan bangsa Indonesia menghadapi penjajah. Lagu perjuangan yang muncul antara lain “Halo, Halo Bandung” oleh Ismail Marzuki, “Maju Tak Gentar” oleh Cornel Simanjuntak, serta “Satu Nusa Satu Bangsa” oleh Liberty Manik.
Wajah musik Indonesia berubah di era kepemimpinan Presiden Soekarno selama 1959-1966. Bung Karno yang mewaspadai ancaman neokolonialisme melarang lagu-lagu Barat diperdengarkan di Indonesia. Musik Barat yang disebut ngak-ngik-ngok dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Bung Karno lantas mempromosikan musik lenso dengan membentuk The Lensois.
Situasi berubah drastis di zaman Orde Baru yang memiliki orientasi politik luar negeri berbeda dengan Orde Lama. Demi pembangunan ekonomi, Orde Baru bersikap terbuka pada pengaruh dan investasi asing. Hal ini memberi karpet merah pada musik Barat, termasuk pop dan rock and roll, untuk masuk ke Indonesia.
Anak-anak muda menyambut antusias masuknya musik Barat di zaman yang baru ini. Seiring dengan itu, tumbuh pula band-band lokal yang memainkan rock di berbagai kota besar.
Era 1970-an hingga 1980-an, industri musik lokal tumbuh pesat. Aneka musik hadir dan mewarnai perjalanan hidup masyarakat, mulai yang musik dan liriknya cadas hingga yang musik dan liriknya terkesan meratap-ratap.
Era ini juga melahirkan musisi dan band yang belakangan dianggap legenda antara lain God Bless, The Rollies, Iwan Fals, Rhoma Irama, dan Krakatau.
Pasca Reformasi, musik Indonesia berjalan menuju kedewasaan. Pada periode 1998-2008, banyak musisi yang semakin independen dalam berkarya tanpa tekanan label. Keberhasilan itu terlihat dari popularitas Mocca lewat album My Diary (2001) dan Efek Rumah Kaca lewat album Efek Rumah Kaca (2007).
Musisi perempuan
Belakangan ini, ada fenomena menarik yakni munculnya musisi perempuan yang aktif dalam membangun kesadaran masyarakat. Mereka membawa berbagai isu mulai soal sehari-hari, pergolakan batin, kekerasan terhadap perempuan, hingga soal politik kebangsaan.
Mari kita tengok karya musik Tanayu dari dari Fleur. Ia merekam lekukan perjalanan hidupnya dalam “Beautiful” (2020) dan “Meditate” (2020). “Beautiful” bertutur tentang perjalanan hidupnya sebagai seorang perempuan, sedangkan “Meditate” menceritakan perjuangan mencari ketenangan batin melalui meditasi.
“Aku gak pernah sengaja akan merancang lagu ke orang yang memiliki permasalahan serupa. Tetapi, setiap musik akan sampai ke pendengar sesuai apa yang dibutuhkan,” ujar Tanayu.
Fleur! juga baru merilis “Muka Dua” pada tahun ini. Lagu ini menyindir tentang kenalan Yuyi yang bermuka dua, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Mereka kemudian merilis “Lagu Lama” yang mengkritik proses kampanye para kandidat selama pemilu.
“Tema lagu yang kami ambil keluar seperti itu saja. Kebetulan “Muka Dua” muncul karena merasa dikhianati teman, sedangkan “Lagu Lama” karena bosen pas nonton TV,” kata Yuyi.
Sementara itu, Tashoora memilih konsisten untuk membuat lagu terkait isu-isu sosial. Salah satunya lewat lagu “Aparat” (2020) yang menyinggung masalah salah tangkap atau rekayasa kasus oleh aparat berwenang.
Dalam menciptakan lagu-lagu yang membahas problematika nyata, Tashoora biasanya melakukan riset mendalam agar mendapatkan fakta yang benar. Tidak jarang, mereka juga menggandeng lembaga masyarakat khusus, seperti LBH Jakarta.
“Kami menyadari, ketika kami membuat karya yang didengar banyak orang, kami memiliki tanggung jawab sebagai pemilik karya untuk bicara benar adanya. Jadi, proses validasi harus mendalam dan tidak bisa singkat, kami juga membutuhkan dukungan pihak lain untuk memvalidasi yang ingin disampaikan,” kata Gusti.
Kegelisahan hati
Gusti menjelaskan, sebagai musisi yang kerap membuat lagu bertema isu sosial, musik berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat. “Musik dan lirik menjadi satu. Musik bisa jadi alat untuk mengusik orang yang belum peduli dengan isu-isu tersebut dan bagaimana kita mengawal isu yang kita suarakan,” kata Gusti.
Endah menambahkan, lagu-lagu sebagian besar muncul karena ada kegelisahan tertentu yang mengusik batin musisi. Namun, kegelisahan setiap orang berbeda-beda. Hasilnya, mereka membuat karya yang bervariasi dalam isu politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
Endah N’ Rhesa baru saja merilis sebuah lagu berjudul “Pulang ke Pamulang”. Sejak diluncurkan pada Oktober 2020 dan langsung viral. Lewat lagu ini Endah N’ Rhesa bercerita suka duka tinggal di wilayah suburban Pamulang di Tangerang Selatan dan hasratnya untuk membesarkan ruang-ruang komunitas.
"Musisi itu berkarya sebagai respons atas fenomena yang terjadi di sekitarnya. Itu sudah menjadi hal yang lumrah. Yang jadi pertanyaan sebenarnya mengapa pendengar merasa nyambung atau terusik (oleh sebuah lagu)?” kata Endah.