Handoko, Dani, dan Andra memilih cara yang tak biasa untuk menjadi petani kopi di Magelang. Kini, setelah bertani kopi, mereka juga mendirikan Omah Kopi untuk aktivitas para pencinta kopi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Tak mempunyai lahan kebun kopi bukan berarti tak bisa menjadi petani. Hal itu dibuktikan oleh tiga pemuda dari Magelang, yakni Handoko, Andra, dan Dani. Mereka memilih jalan yang tak biasa untuk bertani kopi sekaligus mendirikan kafe kopi.
Kendati memilih tidak meninggalkan desa, Handoko (23), Andra Hasan Asrofi (20), dan Dani Zaki Fauzan (20) menolak untuk menekuni bertani dengan cara biasa. Dalam perjalanan menjadi petani kopi sejak tiga tahun lalu, mereka nekat melakukan hal aneh, tidak biasa dan ”gila”.
”Sing penting polaho sing kanggo (yang penting bertingkah laku untuk sesuatu yang bermanfaat),” ujar Handoko di Magelang, Senin (12/10/2020).
Di kafe Omah Kopi yang didirikan mereka bertiga terpampang slogan unik, ”Polaho Sing Kanggo”. Kafe itu berada di kampung halaman mereka, di Desa Gondangsari, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di masa pandemi, keseriusan mereka untuk menggeluti kopi dibuktikan dengan mendirikan Omah Kopi yang sudah beroperasi satu bulan ini. Tidak sekadar untuk kepentingan usaha mereka, kafe dibuka dengan beragam aktivitas ataupun tempat promosi produk-produk hasil dari warga sekitar. Dengan penyediaan ruang tersebut, harapannya mereka bisa melecutkan semangat kepada masyarakat, terutama anak muda, untuk ikut berkarya menghasilkan sesuatu.
”Omah Kopi terbuka, siap menjadi taman bacaan, ataupun ruang diskusi, ruang pamer untuk produk apa pun dari warga lain,” ujar Dani.
Polah tingkah mereka terjun ke dunia kopi dimulai pada 2016. Saat itu, di tengah ketiadaan lahan dan tanaman kopi, mereka bergerak dengan mulai mengumpulkan kotoran luwak yang berceceran di kebun dan areal pertanian. Kopi yang diproses dari kotoran luwak dihargai sebagai kopi bercita rasa istimewa dan dihargai sangat tinggi. Dari proses itulah, mereka kemudian belajar membuat kopi bubuk. Produksi kopi terus dijalankan hingga sekarang, dengan memakai merek kopi Kesek.
Pembelajaran untuk memproses kopi terus dilakukan. Karena hanya mengandalkan sedikit sisa tanaman kopi milik keluarga Dani, mereka pun terus bergerak mencari-cari petani kopi lainnya yang bisa bergabung sebagai mitra, petani binaan.
Tidak berhenti di internal mereka sendiri, tiga petani muda ini juga berkeinginan untuk membangkitkan semangat menanam kopi kepada orang lain. Hal ini dilakukan mereka dengan intens memproduksi bibit dari biji tanaman kopi, kemudian membagi-bagikannya kepada siapa saja, terutama kepada warga sekitar.
”Ketika ada yang mengaku enggan atau malas menanam bibit, kami pun menawarkan jasa kepada mereka untuk membantu menanam bibit kopi,” ujar Andra. Sejak 2018 hingga sekarang, mereka telah membagikan secara gratis lebih dari 1.000 bibit kopi Arabika.
Memulai dari nol
Tahun 2012, Desa Gondangsari mendapat bantuan 8.000 bibit tanaman kopi dari pemerintah pusat. Harapannya, kopi bisa menjadi tanaman pendamping tembakau sehingga petani mendapat penghasilan tambahan saat harga tembakau anjlok. Namun, bantuan itu tidak dihiraukan petani. Hanya puluhan bibit yang ditanam, selebihnya mati dan dibuang.
Ketika itu, Handoko, Andra, dan Dani tidak memahami kondisi tersebut. Hingga 2016, Handoko merasa seolah diingatkan oleh salah seorang teman yang memiliki kedai kopi bahwa kopi adalah komoditas yang prospektif. Apalagi, kopi laku dijual untuk semua kalangan.
Ide menggeluti kopi diutarakan Handoko kepada dua sahabatnya, Andra dan Dani. Tidak memiliki lahan atau tanaman kopi, tidak lantas membuat mereka menyerah. Mereka memilih cara tak biasa, mengumpulkan kopi dari kotoran luwak. Anggapan aneh dan ejekan dari banyak orang tak dihiraukan mereka.
Untuk mengolah biji kopi luwak, mereka belajar dari teman serta berbagai video di Youtube. Awalnya, mereka memproses 1 kilogram biji kopi luwak yang diolah menjadi 800 gram kopi bubuk. Kemudian, kopi itu dijual dengan harga Rp 200.000. Saat itu, mereka senang sekali, apalagi si pembeli yang berkomentar kopinya enak. ”Uang dan komentar dari pelanggan pertama kami itulah yang melecutkan semangat kami untuk terus menekuni kopi,” ujar Handoko.
Mereka memberi jenama kopinya Kesek, yang diambil dari bahasa Jawa. Artinya, melakukan hal yang tidak berguna dan sia-sia. Kata ’kesek’ sengaja diambil untuk mengingatkan usaha mereka dimulai dari sesuatu yang terkesan tak bermanfaat, memunguti kotoran luwak.
Tahun 2017, tiga petani ini memutuskan untuk lebih mengenali kopi dengan mulai dari hulu, yaitu budidaya kopi di lahan pertanian. Ilmu tentang budidaya kopi didapatkan dari internet dan petani lain. Di tahap awal, mereka memulai dengan 30 pohon kopi, peninggalan dari kakek Dani. Saat itu, mereka berhasil mengajak seorang petani yang memiliki 20 pohon kopi untuk bergabung sebagai mitra.
Sembari bertani, mereka terus memperdalam ilmu untuk memproses kopi, seperti olahan full washed, honey, dan wine. Semua dilakukan otodidak, dengan melihat panduan di Youtube. Untuk mengembangkan usaha, mereka bergerilya mencari mitra petani. Mereka mendatangi satu per satu rumah warga.
’Kami berkeliling dari pintu ke pintu, menyusuri desa-desa tetangga, hingga ke lereng Merbabu, sekadar bertanya apakah petani yang kami datangi memiliki tanaman kopi,” kata Andra.
Saat ini, tiga petani muda ini telah memiliki lima petani binaan yang memiliki 200 pohon kopi. Mereka bisa panen setahun sekali yang kemudian diolah dan dijual dalam bentuk roasted bean dan kopi bubuk. Selain Magelang, kopi Kesek sudah didistribusikan ke Pekalongan, Yogyakarta, dan Batang.
Masih menjalankan produksi dalam volume kecil, semua keuntungan yang didapat pun tidak ada yang masuk ke kantong pribadi. Semua pendapatan masih tercurah untuk pengembangan usaha, seperti untuk membeli alat-alat pengolah kopi, membangun rumah jemur biji kopi, hingga mendirikan Omah Kopi, dengan total pengeluaran mencapai lebih dari Rp 20 juta.
Meski begitu, mereka menegaskan tidak akan berhenti menggeluti kopi. ”Ini adalah usaha yang kami bangun, benar-benar dari nol,” ujarnya.
Handoko
Lahir: Magelang, 15 Maret 1997
Pendidikan terakhir: SMK Yudya Karya Magelang (2015)