Untuk kedua kalinya Roslinda, anak muda dari Sumba Timur, NTT, berbicara di depan forum negara anggota PBB. Kali ini, dia berbicara tentang masalah anak muda di masa pandemi.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Roslinda masih berusia 14 tahun ketika ia tampil sebagai pembicara kunci pada Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di New York, Amerika Serikat, pada 2019. Untuk kedua kalinya, remaja putri yang sering disapa Oslin itu menyuarakan kepentingan anak secara daring kepada perwakilan negara anggota PBB pada 8 Oktober 2020.
Melalui obrolan #MudaBertanya ”Suara Anak Indonesia di PBB” yang disiarkan melalui live Instagram@kompasmuda, Oslin mengungkapkan suka duka sebagai anak desa asal Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang berbicara di hadapan perwakilan negara PBB. Acara ini juga didukung Wahana Visi Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Oslin menceritakan kesulitan yang dihadapi anak-anak di Kabupaten Sumba Timur selama pandemi ini, yakni kesulitan menjalani proses pembelajaran jarak jauh dan mengakses air bersih. Ia berharap suaranya ini dapat didengar oleh para pemangku kebijakan.
Hi Oslin, apa kabar kamu? Gimana kesibukan selama pandemi?
Halo, kabar baik. Kesibukan saya selama pandemi lebih banyak di rumah saja. Setelah tujuh bulan menjalani pembelajaran jarak jauh, sekarang mulai kembali ke sekolah dua kali dalam sepekan.
Gimana, sih, ceritanya kamu bisa dipanggil lagi untuk kedua kalinya berbicara di Forum Politik Tingkat Tinggi PBB?
Ceritanya memang sejak tahun lalu saya fokus di Forum Anak Desa Kombapari, Kecamatan Katala Hamu Lingu. Kami banyak melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menghapus kekerasan terhadap anak. Dari kegiatan itu, saya dipilih mengikuti seleksi Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di New York, Amerika Serikat.
Kemudian, tahun ini, saya diminta lagi berbagi pengalaman tentang perubahan-perubahan yang dialami anak-anak selama pandemi. Berbeda dengan tahun lalu (dengan seleksi), kali ini saya ditunjuk langsung mengikuti perkembangan pandemi Covid-19.
Bagaimana rasanya bisa berbicara di hadapan perwakilan negara anggota PBB?
Saya merasa bangga dan senang karena tidak semua anak mendapatkan kesempatan yang sama. Jadi, (saran saya) gunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyuarakan kepentingan anak. Tahun ini, meskipun berbicara melalui daring, saya senang sekali karena bisa menyampaikan keluhan yang dialami anak-anak selama pandemi.
Apa yang dikeluhkan anak-anak selama pandemi?
Banyak sekali, misalnya saja, sebelumnya Forum Anak Desa banyak melakukan kegiatan rutin. Sekarang tidak ada kegiatan, jadi sepi kegiatan. Sebagai anak, kami merasakan langsung perubahannya. Selain itu, sekarang kami harus belajar di rumah. Terkait proses pembelajaran jarak jauh, banyak anak mengeluhkan karena tidak ada kuota internet, jaringan internet terbatas.
Apalagi, kami tinggal di desa, tempat tinggal kami berada di luar jaringan internet. Fasilitas belajar online juga terbatas. Hal lain yang dikeluhkan adalah terkait ketersediaan air bersih. Di Sumba Timur, akses terhadap air bersih sangat sulit. Padahal, selama pandemi, kami diharuskan menjaga kebersihan. Saya harapkan, apa yang saya sampaikan ini ada tindak lanjut dari pemangku kebijakan.
Apa tantangan terberat yang kamu alami selama pandemi?
Tantangan terberat kami tidak ada kegiatan. Kalau di kota besar, tidak ada kegiatan offline masih bisa melakukan banyak kegiatan secara online. Tetapi, kalau di desa tidak ada fasilitas untuk itu. Kami juga tidak bisa bertukar kabar dengan teman-teman. Di sini, kalau tidak bertemu langsung, ya, kami tidak bisa update kabar teman-teman karena tidak ada jaringan internet. Selama pandemi, semuanya serba terbatas.
Mengenang kembali pengalaman berbicara di Forum Politik Tingkat Tinggitentang Pembangunan Berkelanjutan, apa sih kejadian yang paling berkesan atau paling lucu selama perjalanan kamu di New York?
Pengalaman paling berkesan adalah saya baru belajar bahasa Inggris selama satu pekan sebelum keberangkatan. Di New York, saya tinggal di apartemen bersama dua anak asal Afrika dan Mongolia. Mereka bisa bicara menggunakan bahasa Inggris dengan bagus. Hanya saya saja yang tidak bisa bahasa Inggris.
Jadi, selama bercakap-cakap dengan mereka, saya bicara menggunakan bahasa isyarat. Saya juga menggunakan Google Translate untuk berkomunikasi. Pengalaman lain adalah makanan di sana berbeda dengan makanan di Indonesia. Saya termasuk orang yang pilih-pilih makanan, jadi kakak pendamping saya pusing karena saya pilih-pilih makanan. Ditawari berbagai macam makanan, saya menolak.
Apa respons keluarga melihat kamu tampil di New York?
Mereka bangga sekali karena saya bisa menyuarakan kepentingan anak-anak. Orangtua dan kakak-kakak saya juga mengingatkan agar saya tetap rendah hati dan semangat.
Selama pandemi ini, kehadiran seorang teman terasa sangat penting. Apa peran seorang teman untuk kamu?
Teman itu adalah tempat curhat, tempat sharing. Kalau ada masalah apa pun yang tidak bisa diceritakan ke keluarga, bisa cerita kepada kawan dan sahabat. Kalau di rumah sedang merasa kesepian, saya bisa berbagi dengan teman.
Apa cita-cita kamu yang belum kesampaian?
Cita-cita saya ingin menjadi dokter. Tetapi, kalau tidak bisa saya ingin menjadi diplomat.
Apa pesan untuk anak-anak Indonesia?
Pesan saya untuk anak-anak Indonesia, jangan takut memperjuangkan kepentingan anak, seperti memperjuangkan agar tidak ada lagi kekerasan terhadap anak dan tidak ada lagi perkawinan anak. Jangan takut bersuara karena kita punya dasar kuat menyampaikan suara kita. Anak-anak juga harus aktif mengikuti kegiatan yang positif. Kegiatan kecil itu bisa membawa kita kepada kegiatan yang lebih besar. Tetap percaya diri dan jangan malu untuk bicara di depan publik.