Anak Muda Sukses Membangun Karier di Luar Negeri
Banyak anak muda yang mendapat kesempatan kuliah di luar negeri lalu merintis karier. Meski demikian, mereka tak melupakan Indonesia tercinta.
Bertahan di luar negeri seusai menyelesaikan pendidikan, baik dari jenjang sarjana maupun doktor, menjadi pilihan sejumlah anak muda Indonesia. Mereka berjuang meniti karier di perusahaan-perusahaan internasional. Tentunya, tidak semua perjalanan karier bisa berlangsung mulus.
Membangun karier di luar negeri bisa jadi pilihan hidup menarik di era global ini. Banyak orang dari berbagai warga negara mengadu nasib untuk bisa mengembangkan karier profesional di negara-negara maju. Tawaran menggiurkan di negeri orang bukan sekadar tentang tempat hidup berlimpah fasilitas, tetapi juga tantangan dan kesempatan mengembangkan potensi diri.
Yudistira Virgus (35), yang bekerja sebagai software engineer di Google LLC memilih mencari peluang kerja di Amerika Serikat usai meraih gelar doktor dari College of William and Mary di Virginia. Peraih medali emas bidang fisika di ajang Olimpiade Fisika Internasional saat di bangku SMA di Palembang, Sumatera Selatan, ini menyelesaikan jenjang S-1 di Institut Teknologi Bandung. Usai meraih gelar sarjana fisika dengan predikat cum laude, Yudistira mencari peluang beasiswa kuliah S-2 dan S-3 di ”Negeri Paman Sam”.
”Dari awal datang ke AS, belum kepikiran untuk tetap tinggal di sini. Pas di akhir mau lulus doktor, aku baru memutuskan untuk mencoba dulu kerja di AS. Aku coba saja kesempatan untuk melamar kerja, ternyata diterima,” tutur Yudistira, yang dihubungi dari California, Senin (30/8/2020).
Perjalanan karier Yudistria sebelum bergabung di Google cukup panjang. Saat kuliah di College of William and Mary, dia sudah menjadi asisten dosen. Yudis juga pernah magang sebagai peneliti di IBM TJ Watson Research Center, New York. Bersama peneliti asal Indonesia yang juga sesama alumni Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) Oki Gunawan, melakukan penelitian yang diakui sehingga memperoleh paten.
”Bisa dibilang karier saya berliku nih di AS. Di Google mulai Januari 2019 sampai sekarang. Saya senang dengan pekerjaan terkait machine learning, yang kemudian saya temukan menantang di Google. Siapa sih yang enggak tahu Google? Waktu saya SMA sempat juga punya mimpi untuk bisa kerja di Google. Bersyukur sekarang saya bisa jadi bagian tim di Google,” kata Yudis.
Yudistira memiliki beragam pengalaman kerja di AS. Usai lulus doktor di tahun 2015, dia diterima bekerja di JP Morgan Chase & Co di New York.”Saya sebagai peneliti, bikin strategi untuk bisa supaya trading bagus. Cuma setahun saja bertahan,” cerita Yudis yang juga pernah membantu TOFI Indonesia.
Yudistira tertarik untuk bergabung di perusahaan rintisan atau startup Ginkgo LLC sebagai peneliti kuantitatif, yang masih terkait dengan keuangan. Bertahan dua tahun, Yudistira pindah ke Airbnb Inc sebagai soft engineer. Di sini, Yudis mulai menemukan bahwa dirinya menikmati bekerja terkait machine learning. ”Cuma di perusahaan Airbnb tidak terlalu banyak yang terkait dengan machine learning. Saya merasa butuh tantangan lagi,” ujar Yudistira.
Peluang besar datang saat dirinya bergabung dengan Google. Yudistira bekerja di bagian Youtube Ads yang banyak terkait dengan machine leraning. Bagi Yudistira, ada peluang untuk terus meningkatkan kariernya di perusahaan yang memang mencari profesional kreatif dari banyak negara. Tim Yudistira membuat keputusan untuk bisa memahami konten iklan yang tepat bagi tiap orang yang membuka Youtube.
”Sejauh ini aku suka bekerja di Google, sepertinya akan bertahan sampai bisa mencapai jadi pimpinan tim gitu,” ujar Yudistira.
Senasa dengan Yudistira, David Tanugraha melihat peluang menjanjikan menjadi profesional di luar negeri. Usai lulus dari berkuliah S-1 di Fontys Hogensholen bidang electrical and electronic engineering di Eidenhoven Belanda, dia mendapat panggilan kerja di kantor pusat Toyota Motor Europe, di Brussel, Belgia, tahun 2016.
”Pas di kuliah sih, enggak kebayang bakal bekerjanya di bidang otomotif. Ternyata menarik juga. Masih ada kaitan juga dengan bidang yang aku pelajari di kuliah sih,” ujar David.
David bertahan selama tiga tahun di perusahaan itu. Dia bergabung di bagian pengujian prototipe mobil Toyota yang akan masuk ke negara-negara di Eropa supaya sesuai dengan standar tiap negara. Pekerjaannya ini membawa David sering bertugas ke negara lain di Eropa. ”Aku suka dengan pekerjaan yang tidak monoton, yang menantang. Setelah aku merasa kerja di Toyota sudah cukup, aku mau cari tantangan yang lain. Aku masih ingin banyak belajar,” ujar David.
David yang merasa butuh tantangan baru, mulai melirik peluang kerja lain. Godaan tawaran kerja untuk profesional di bidang teknologi dirasakan David cukup terbuka. Melalui aplikasi jaringan para profesional Linkdln, membuat David sering mendapat tawaran untuk pindah kerja di sejumlah perusahaan.
”Sering sih ada telepon atau tawaran wawancara kerja di suatu perusahaan. Sebulan bisa sampai dua kali tawaran. Kalau enggak tertarik, aku enggak meladeni. Tapi pas ada tawaran dari recruiter untuk bergabung di perusahaan ABB yang bergerak di bidang charging kendaraan listrik di Belanda, aku tertarik. Ambil cuti, lalu ikut wawancaranya sampai diterima,” ujar David, yang menjabat sebagai Project Manager EV Charging Infrastructure di ABB di Delf, Belanda, sejak November 2019.
Bagi David, bekerja di perusahaan teknologi maju bakal berguna untuk memperkuat portofolio dirinya. Kesempatan berkarier di perusahaan yang menjanjikan saat otomotif semakin menuju industri ramah lingkungan, seperti munculnya kendaraan listrik, kelak bisa bermanfaat bagi Indonesia.
”Saya, sih, terbuka saja dengan kesempatan yang ada. Saat ini, saya masih melihat di Eropa masih terdepan dalam teknologi. Di Belanda, saya senang karena di sini tidak membeda-bedakan ras. Saya yakin bisa berkembang di sini,” kata David.
Menurut David, menembus dunia kerja di negeri orang sebenarnya sama saja dengan berjuang membangun karier di negeri sendiri. Bagi David, sikap percaya diri, jujur, serta cocok dan mampu di bidang yang ingin digeluti secara profesional menjadi modal untuk memiliki daya tawar tinggi diterima di perusahaan besar.
”Yang penting kita selalu mau belajar, mau meningkatkan diri, mau mempelajari skill yang dibutuhkan untuk bisa bekerja efisien,” ujar David.
Bekerja di luar negeri, terutama di perusahaan internasional membuat David terbiasa bekerja sama dengan orang-orang dari berbagai negara. David merasa cocok dengan budaya kerja di Eropa yang menuntut pekerja bekerja secara efisien dan kreatif.
Menunjukkan prestasi
Peluang berkarier di luar negeri terbuka pula sebagai ilmuwan di perguruan tinggi. Juliana Sutanto (40), profesor manajemen sistem informasi di Departement of Management Science of Lancaster University, Inggris, membangun karier internasionalnya dari nol. Jalan untuk melanglangbuana ke berbagai negara terbuka karena gagal tembus kuliah di perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Juliana lulusan SMA di Manado, Sulawesi Utara, mendapatkan beasiswa kuliah di program sistem informasi di National University Singapore (NUS). ”Awalnya, aku enggak mengerti soal komputer karena sekolah di Manado, kan, fasilitasnya tidak canggih. Pas kuliah saja, aku tidak mengerti cara menghidupkan komputer,” cerita Juliana.
Namun, Juliana bukan orang yang mudah menyerah dengan keterbatasan. Dia belajar keras sehingga menunjukkan prestasi yang baik. Tawaran menjadi dosen datang dari NUS sambil dia mendapat beasiswa kuliah hingga doktor. Perjalanan karier ilmuwan Juliana terus berkembang. Dia mendapat tawaran untuk pindah ke Swiss pada Agustus 2008. Di negara ini, Juliana menjadi asisten profesor sebagai kepala grup riset pada bagian manajemen sistem informasi di Departement of Management Technology and Economics ETH Zurich, Swiss.
Menurut Juliana, dirinya seringkali dianggap sebagai sekretaris atau asisten di tempatnya bekerja. Sebab, wajah Asia dan tubuh mungilnya kalah jauh dibanding rekan-rekannya yang umumnya pria dari Eropa. ”Pas ada tamu perusahaan ke kantor untuk kerja sama, saya yang menyambut, eh dipikir asisten atau sekretaris pimpinan. Padahal, saya ketuanya. Waktu itu di tempat saya masih terbatas pimpinan perempuan, dan hanya saya yang dari Asia,” kata Juliana.
Tahun 2015, Juliana memberanikan diri untuk menerima tawaran pindah ke Inggris. Dia punya peluang menjadi profesor penuh di Lancaster University. ”Saya harus berusaha menjadi yang terbaik di apa pun yang kita kerjakan,” kata Juliana tentang kunci suksesnya.
Meskipun betah berkarier di negeri orang, Juliana senang saat punya kesempatan untuk bisa berkolaborasi dengan peneliti dari Indonesia. Kesempatan datang ke Indonesia melalui komunitas Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional membuat Juliana bisa mengaplikasikan ilmunya untuk Indonesia. Salah satunya desain sistem informasi untuk penanganan bencana alam.
”Itu berawal pas lagi liburan pertama kali ke Manado dengan anak. Kami jadi korban banjir. Saya jadi belajar Indonesia rawan bencana. Tapi pas ada bencana, informasi enggak ada. Saya berpikir mesti bikin sesuatu dengan sistem informasi untuk membantu penanganan bencana alam yang dapat membantu pemerintah,” ujar Juliana, yang juga mengembangkan riset smart city untuk taman kota di Inggris.
Baca juga: Berburu Beasiswa Kuliah Luar Negeri