Sabar, Nanti Akan Lebih Seru
Tahun 2020 praktis sebagai tahun yang sepi festival musik akibat pandemi Covid-19. Kemeriahannya diundur tahun depan, atau dipindahkan ke layar gawai.
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat tahun 2020 sepi dari festival musik. Sejumlah festival yang sejak pandemi dimulai masih menggantungkan harapan bisa terselenggara di paruh kedua tahun ini, akhirnya ditunda. Pertunjukan lewat layar gawai masih jadi alternatif andalan.
Festival musik dalam negeri Synchronize Fest akhirnya secara resmi mengumumkan pembatalan perhelatan tahunan mereka pada Minggu (6/9/2020) lewat kanal media sosial. Semula, festival yang memanggungkan beraneka corak musik dalam negeri itu akan terjadi pada 2-4 Oktober mendatang di Gambir Expo, Jakarta.
“Pihak penyelenggara telah berusaha yang terbaik. Namun ini adalah keputusan terbaik yang diambil demi memprioritaskan kesehatan dan keamanan seluruh pengunjung, dan pihak yang terlibat,” demikian pernyataan resmi Synchronize Fest Team.
Alasan itu sungguh masuk akal di tengah pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk. Festival ini dipastikan mengundang kerumunan massa, seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sejak penjualan tiket dibuka di awal tahun, tak kurang dari 45.000 karcis telah terpesan.
Penyelenggara menyodorkan pilihan bagi pembeli; apakah mereka mau menguangkan (refund) tiketnya, atau setia menanti sampai tahun 2021. Tiket masih bisa berlaku hingga penyelenggaraan tahun depan, meski mereka belum menetapkan tanggal baru. Pembeli yang tetap menunggu diberi hadiah kaus.
“Kalau dilihat dari komentar di medsos, sepertinya kebanyakan mereka sabar nunggu sampai tahun depan, ya. Banyak yang nge-chat kasih semangat ke gue dan tim, ‘Tabah, ya, Bang’ atau ‘Semangat hadapi 2021’. Terharu juga, sih,” kata Program Director Synchronize Fest Kiki Aulia, saat dihubungi pada Selasa (8/9/2020).
Menurut Ucup, panggilan Kiki Aulia, mereka masih memantau perkembangan pandemi sebelum memutuskan membatalkan penyelenggaraan. Keputusan itu diambil setelah menimbang risiko besar yang mereka emban jika festival tetap berlangsung.
“Kalau tetap jalan, berpotensi menimbulkan cluster baru. Akhirnya kami menurunkan ego dengan tidak menjalankan festival, agar semua pihak tetap sehat dan aman,” lanjut Ucup.
Ucup menyebutkan, festival ini akan berganti format untuk sementara. Informasi detilnya masih mereka rahasiakan, dan akan dibuka ke publik pada Jumat lusa. Kami pun penasaran akan seperti apa wajah “dadakan” Synchronize nanti.
Synchronize adalah salah satu festival musik skala besar yang dinanti-nanti. Festival ini memanggungkan artis-artis ragam genre dan generasi. Musik rock, pop, metal, disko, bisa bersisian dengan musik dangdut, keroncong, sampai qasidah. Tahun lalu, festival ini mampu menjual tiket sebanyak 69.000 lembar selama tiga hari penyelenggaraannya.
Sebelumnya, festival lain yang urung digelar adalah Hammersonic. Ajang musik keras ini semestinya berlangsung pada 27-28 Maret 2020 di Ancol, Jakarta. Penyelenggara “memindahkan” jadwal jadi 15-17 Januari 2021 di tempat yang sama, dengan bintang yang juga sama, di antaranya Slipknot, Lacuna Coil, Sinister, Trivium, dan Black Flag. Semoga Januari nanti kita sudah bisa bertemu muka tanpa was-was.
Pertengahan Agustus lalu, penyuka musik masa kini juga semestinya bisa tumpah ruah di ajang We The Fest. Lagi-lagi karena Covid-19, acara itu dibatalkan. Sebagai gantinya, penyelenggara bersiap “memanggungkan” We The Fest secara online pada 26-27 September ini. Daftar dulu saja di wethefest.com. Gratis, kok.
“Pindahkan” desa
Memindahkan keriuhan festival musik ke jagat online juga harus ditempuh penyelenggara festival musik jazz Ngayogjazz. Pada 21 November mendatang, festival ini akan kembali bergaung, tidak di desa seperti biasanya, melainkan di situs ngayogjazz.com. Slogan tahun ini mentereng, yaitu “Ngejazz Tak Gentar”.
Tantangan bermigrasi ke dunia maya cukup berat bagi festival ini, lantaran sudah kadung identik dengan nuansa pedesaannya. Betapa tidak, pengunjung festival ini biasanya tak cuma datang untuk menikmati musik, melainkan untuk berinteraksi dengan penduduk dan lingkungan desa tempat perhelatannya.
Keguyuban itu sangat terasa pada perhelatan Ngayogjazz tahun lalu yang diadakan di Dukuh Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Pengunjung festival, misalnya, bisa jajan dan mengaso di rumah warga. Atau bisa juga mengobrol perihal pembuatan genteng sembari menyimak penampilan band. Ngayogjazz tak semata-mata soal musik jazz, tapi juga perjumpaan.
Bagaimana memindahkan keguyuban itu ke tataran daring? “Pengalamannya tentu akan berbeda (dengan festival offline). Tapi kami berusaha mengangkat keterlibatan orang-orang desa setempat, kesenian lokal, mengangkat kuliner setempat. Ruang-ruang interaksi tetap dibuka di kanal online. Penonton, misalnya, bisa saja memesan makanan ala desa via online, nanti diantar pas pertunjukkan,” kata Novindra Diratara, Board Creative Ngayogjazz.
Vindra, panggilannya, menuturkan, siaran langsung pertunjukan musik akan digelar di sebuah desa di Sleman. Rencananya akan ada tiga panggung di desa itu bagi musisi dari Yogyakarta, atau bintang tamu tertentu. Sementara penampil dari luar Yogyakarta mengirimkan rekaman video penampilan mereka untuk disiarkan di website festival sesuai rundown pertunjukkan.
Jumlah pengunjung di lokasi dibatasi secara ketat; hanya untuk penampil, awak band dan produksi, tamu undangan terbatas, dan yang paling utama adalah warga setempat. Penonton dari luar desa itu disarankan menyimak lewat internet saja. Lebih aman, dan tak perlu bayar.
“Jadinya, Ngayogjazz tahun ini didedikasikan bagi warga desa setempat. Mereka adalah penonton utamanya,” lanjut Vindra.
Pendokumentasian
Festival lain yang urung terlaksana adalah Soundrenaline, yang biasanya berlangsung di minggu pertama September. Di penghunjung tahun, penikmat musik biasanya bisa menghadiri festival Djakarta Warehouse Project, atau Joyland Festival.
Penyelenggara Joyland, Plainsong Live, mengaku mustahil menjalankan festival itu di tahun ini. Persiapan seperti mengontak band dari luar negeri sudah dijalin sejak awal tahun. Namun memaksakan menggelar festival di tengah pandemi Covid-19 terkesan abai pada kesehatan, dan berpotensi melanggar aturan.
Sebagai gantinya, mereka mengerjakan video penampilan sejumlah band, untuk ditayangkan secara berseri di kanal Youtube. Seri itu diberi nama Plainsong Live Session yang mengudara setiap Sabtu, dua pekan sekali. Setiap episode menampilkan tiga band berbeda warna musik.
“Kami melibatkan Anggun Priambodo sebagai sutradara demi membuat tontonan yang menarik. Tayangan itu ibarat dokumentasi yang tetap relevan ditonton dua, tiga tahun lagi, misalnya,” kata Ferry Dermawan dari Plainsong. Anggun adalah sutradara film dan video klip banyak band indie.
Garapan Anggun terbilang unik. Dia membuat tontonan seolah-olah video itu dibikin sendiri oleh band terkait. Pada episode band White Shoes and the Couple Company, misalnya, drummer John Navid terlihat memasang sendiri kamera di studio. John juga tampak memanggil dua teman bandnya, yang sedang asyik main ping-pong. Penonton seolah-olah “dekat” dengan mereka, padahal terpisah layar.
Kalau seri Plainsong Live Session bisa disimak gratis, ada seri tayangan musik lain yang berbayar, seperti Soundstream dan Mellomaniac. Setiap seri itu punya ciri masing-masing. Mellomaniac besutan Java Festival Production (penyelenggara festidal besar seperti Java Jazz Festival) menyuguhkan musik-musik soul dan R&B.
Serial Soundstream menyuguhkan aksi band indie yang sedang jadi perbincangan. Pada sebuah episode Soundstream, band .Feast beradu dengan The Panturas. Di kesempatan lain, band Goodnight Electric bersanding dengan The Brandals. Tata cahaya mereka dirancang sedemikian rupa demi memanjakan mata.
Kukuh Rizal Arfianto, Creative Director Soundstream melibatkan banyak kamera, serta bekerjasama dengan seniman tata cahaya. Hal itu menjadi keniscayaan karena produk akhirnya adalah tayangan visual. Walau begitu, dia mengakui mustahil memindahkan pengalaman menonton konser secara langsung ke layar gawai.
Penikmat musik sepertinya harus lebih lama bersabar dengan kondisi seperti ini. Ketika Covid-19 menyingkir, konser dan festival musik pasti berbinar lagi.