Remaja putri yang akan menjadi calon ibu masa depan diharapkan bisa memutus rantai tengkes. Selama ini pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan kasus tengkes.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Remaja putri berperan penting sebagai pemutus lingkaran tengkes yang telah berlangsung lintas generasi di Indonesia. Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan perlu terus memupuk kesadaran dan meningkatkan pemahaman mereka tentang kesehatan sejak dini.
Dokter umum dan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Reisa Broto Asmoro, mengatakan, remaja putri adalah calon ibu di masa depan. Pembekalan ilmu mengenai asupan gizi, kesehatan reproduksi, dan parenting harus diberikan kepada mereka secara konsisten sejak memasuki masa pubertas pada usia 10-19 tahun.
Reisa melanjutkan, masa pubertas merupakan masa terjadinya perubahan fisik, psikis, dan kehidupan sosial pada remaja. Mereka akan memiliki rasa keingintahuan tinggi. Untuk itu, sekolah dan orangtua perlu mengisi rasa ingin tahu itu dengan hal-hal yang bermanfaat.
”Kalau sejak remaja tidak memperoleh ilmu, akan sulit ke depannya karena berdampak pada kualitas keluarga. Perempuan memegang penting 1.000 hari pertama setelah janin terbentuk sehingga risiko anak stunting lebih besar kalau ibu tidak sehat,” kata Reisa dalam diskusi virtual ”Saatnya Remaja Berperan Cegah Stunting” yang diselenggarakan Tanoto Foundation di Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Dengan memiliki pengetahuan kesehatan dan melakukan konsumsi gizi yang baik, remaja putri dapat terhindar gangguan kesehatan di masa depan. Gangguan kesehatan yang umum terjadi pada calon ibu yang tidak memperhatikan gizi dan kesehatan adalah keguguran, kematian ibu dan bayi, serta kelahiran bayi prematur atau di bawah berat normal.
Adapun pemerintah selama ini telah berusaha menangani tengkes melalui berbagai program. Pada bulan ini, Presiden Joko Widodo meminta semua kementerian dan lembaga fokus menangani tengkes di 10 provinsi yang memiliki prevalensi tengkes tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Sejauh ini, kasus tengkes turun menjadi 27,6 persen pada 2019 dari 37 persen pada 2013. Presiden menargetkan penurunan menjadi 14 persen pada akhir masa jabatannya (Kompas.id, 5/8/2020).
Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation Indiana Basitha menyebutkan, pihaknya tengah menjajaki sejumlah program untuk menyukseskan peningkatan kesadaran dan penanganan tengkes di Indonesia, misalnya dengan mengadakan kompetisi menulis atau membuat aplikasi edukatif bagi ibu muda.
”Kami juga sedang membuat studi mengenai cara remaja mengakses informasi dari wilayah-wilayah pelosok yang menjadi prioritas pemerintah. Kami akan mengembangkannya menjadi kampanye cegah stunting berskala nasional,” tuturnya.
Basitha menambahkan, Tanoto Foundation juga tengah bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk mengevaluasi modul bagi pendamping Keluarga Harapan. Materi modul itu akan dibuat menjadi lebih spesifik agar lebih berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Agen perubahan
Melinda Mastan, Tanoto Scholar 2017 dan Sarjana Gizi Universitas Indonesia, menambahkan, remaja juga perlu terlibat aktif dalam menghentikan tengkes. Remaja dapat menjadi agen perubahan dengan cara berbagi ilmu mengenai asupan gizi dan kesehatan kepada satu sama lain.
”Banyak lembaga, seperti WHO, mengatakan kelompok pemuda adalah entry point program yang efektif. Sebab, di masa remaja, kita sering berkumpul, seperti di sekolah, karang taruna, dan organisasi kepemudaan. Anak muda juga bisa membangun awareness melalui media sosial atau berbagai saluran lainnya, mungkin bisa dikaitkan soal diet, pola makan, dan kecantikan serta kaitannya dengan gizi agar menarik,” ujarnya.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, sebanyak 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 tahun berada dalam kondisi kurus serta sangat kurus. Sementara itu, Global School Health Survey pada 2015 melaporkan, sebanyak 65,2 persen remaja tidak selalu sarapan dan 93,6 persen kurang mengonsumsi serat sayur buah.
Melinda melanjutkan, anak muda yang berkiprah di dunia kesehatan juga tidak perlu segan menjadi sukarelawan dalam berbagai proyek kesehatan yang ada di sekitar, misalnya pos pelayanan terpadu (posyandu). Apalagi, regenerasi petugas kesehatan di posyandu termasuk lambat.
Basitha menyebutkan, penanggulangan isu tengkes tidak hanya menjadi tugas remaja putri, tetapi juga remaja laki-laki. ”Peran peer educator perempuan dan laki-laki penting. Ini karena remaja putra juga akan menjadi calon ayah di masa depan yang berperan sebagai partner dalam rumah tangga,” tuturnya.