Mencari Peluang Kuliah di Luar Negeri
Kesempatan untuk kuliah di luar negeri semakin terbuka dan banyak pilihan. Mahasiswa bisa kuliah dengan uang sendiri ataupun mencari beasiswa. Untuk bisa menjalani kuliah dengan baik, banyak hal harus disiapkan.
Status mahasiswa internasional bisa menjadi kesempatan untuk memahami budaya negara lain ataupun dunia. Selain itu, banyak kesempatan untuk bisa berkolaborasi. Peluang kuliah di luar negeri bisa dimulai dari jenjang SMA, S-1, sampai pascasarjana. Ketika impian untuk kuliah di luar negeri sudah menghampiri kita, tentu persiapan matang jadi kunci menembus perguruan tinggi impian.
Namun, jangan khawatir karena informasi kuliah di luar negeri bisa didapatkan dari berbegai sumber, termasuk media sosial. Bahkan, saat pandemi Covid-19, informasi kuliah di luar negeri semakin mudah ditemui.
Menteri Riset, Teknologi, dan Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan, mengirim anak-anak muda kuliah ke perguruan tinggi ternama di negara maju dilakukan beberapa negara, seperti China, Korea Selatan, dan India.
”Kita bisa belajar dari India. Banyak warga India menjadi CEO di perusahaan telekomunikasi dunia merupakan anak-anak muda yang belajar di luar negeri. Anak-anak muda menjadi diaspora untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya, lalu diterapkan bagi kemajuan negerinya,” ujar Bambang di webinar Forum Cendekia Kelas Dunia yang digelar Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4).
Hidup jauh di negeri orang untuk menimba ilmu tebersit di hati David Tanugraha (27) ketika keluarganya berlibur ke Eropa dan mengunjungi Belanda. David mempersiapkan diri selama setahun untuk bisa meningkatkan kemampuan bahasa Inggris sehingga bisa diterima di program sarjana di Fontys Hogensholen bidang Electrical and Electronics Engineering di Eindehoven, Belanda, tahun 2011.
”Setelah dibanding-bandingkan, kuliah di Belanda bisa lebih murah daripada di Australia dan Amerika Serikat. Kuliah di kampusku bahasa pengantarnya Inggris. Di Belanda tidak usah terlalu khawatir jika kemampuan bahasa Belanda terbatas,” kata David yang saat ini tinggal di Delf yang dihubungi hari Minggu (23/8/2020).
David bercerita, dirinya dan teman-temannya pernah ke restoran dan mencoba berkomunikasi dengan bahasa Belanda, tetapi akhirnya dilayani dengan bahasa Inggris. ”Mungkin karena didengar cara ngomong kami jelek banget. Kemampuan orang Belanda untuk berbahasa Inggris termasuk baik, sih. Tetapi, di awal kuliah, mahasiswa internasional dapat mata kuliah dasar berbahasa Belanda,” kata David yang kuliah dengan biaya dari orangtua.
Menjadi mahasiswa internasional membuat David bergaul dengan banyak mahasiswa dari negara lain. Dia pernah tinggal di asrama kampus bersama mahasiswa dari Singapura, China, dan Eropa Timur. Pada kesempatan lain, dia menyewa apartemen bersama sesama mahasiswa asal Indonesia. ”Untuk kerja paruh waktu juga bisa. Mahasiswa internasional di Belanda dikasih waktu satu tahun jika mau kerja di sini seusai lulus,” kata David.
Menurut David, dari sejak masuk hingga tamat kuliah, mahasiswa internasional bisa mendapatkan beasiswa potongan biaya kuliah jika nilainya bagus. ”Kalau nilai kita sudah memenuhi kriteria tertentu, kita bisa dapat potongan biaya kuliah. Selama kuliah, aku manfaatkan kesempatan ini dengan belajar sebaik-baiknya,” ujar David yang kini bekerja di perusahaan yang memproduksi charger untuk kendaraan listrik di Belanda.
David yang lulus pada Juli 2015 memilih bertahan di Belanda. Dia melamar bekerja dan mendapat pekerjaan paruh waktu hampir enam bulan di gudang pemilahan pengiriman paket di Belanda. Kesempatan mencari pekerjaan di Eropa jadi terbuka, David kemudian diterima bekerja di kantor pusat Toyota di Eropa yang berlokasi di Brussels, Belgia. Pekerjaannya membawa dia sering berkeliling ke Eropa dan Jepang. Namun, David tak berpuas diri, dia terus menantang dirinya untuk pindah kerja dan sejak November 2019 kembali bekerja di Belanda.
Pilihan kuliah di sejumlah negara Eropa bisa dipertimbangkan untuk menghemat biaya. Andrea Dianca Pararetha, mahasiswa di Fakultas Kedokteran Johannes Gutenberg University of Mainz di Jerman, berbagi kisah di suka-duka kuliah kedokteran di webinar yang digelar Euro Management Indonesia pada Juli lalu.
Kita bisa belajar dari India. Banyak warga India menjadi CEO di perusahaan telekomunikasi dunia merupakan anak-anak muda yang belajar di luar negeri. Anak-anak muda menjadi diaspora untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya, lalu diterapkan bagi kemajuan negerinya.
Andrea awalnya galau untuk kuliah Fakultas Kedokteran di luar negeri karena membayangkan biayanya yang sangat mahal, belum lagi biaya hidup. Di Indonesia, Fakultas Kedokteran termasuk yang paling mahal, apalagi jika kuliah di swasta. ”Aku dapat infromasi kalau kuliah kedokteran di Perancis dan Jerman lebih murah dari Australia dan Inggris. Setelah disarankan memilih Jerman, aku langsung gabung untuk belajar bahasa Jerman di Euro Management sejak kelas 2 SMA,” kata Andrea.
Berbekal kemampuan bahasa Jerman, Andrea bisa mendapat college (persiapan untuk kuliah di luar negeri) di Berlin ketika masih di Jakarta. Menurut Andrea, bergabung di college jadi bekal untuk siap kuliah. Apalagi kemampuan bahasa Jerman mutlak untuk bisa mengikuti perkuliahan di S-1 kedokteran. ”Kemampuan bahasa percakapan dengan untuk pembelajaran, kan, beda. Memang harus ditingkatkan,” ujar Andrea.
”Masuk college itu kayak persiapan setahun sebelum masuk ke universitas. Aku mendaftar di 30 kampus yang ada FK. Hanya empat yang dapat respons, akhirnya keterima di kampus sekarang,” kisah Andrea.
Andrea menjadi satu-satunya mahasiswa asing dari Asia Tenggara di angkatannya. Satu angkatan ada 200 orang, yang mahasiswa dari luar Jerman hanya sembilan orang.
Andrea menambahkan, kemampuan bahasa Jerman penting untuk bisa bertahan hidup. Jika orang Jerman tahu yang berbicara mahasiswa internasional, mereka tidak mau melayani dalam bahasa Inggris, termasuk untuk urusan di bank.
”Aku masih terus belajar, kadang-kadang masih pakai Google Translate untuk memahami bahasa Jerman lebih baik lagi,” ujar Andrea.
Andrea mengatakan, kuliah di FK di kampusnya memang gratis. Dia hanya membayar 300 euro per semester, tetapi biaya itu untuk kebutuhan tiket naik bus atau kereta yang gratis. ”Selama menjalani kuliah, aku sudah bedah mayat, tetapi tidak ada biaya mayat,” tutur Andrea yang alumnus SMAN 8 Jakarta ini.
Kesempatan berkuliah kedokteran di Jerman bakal dimanfaatkan Andrea hingga ke jenjang spesialis. Dia tertarik mengambil spesialis kulit. ”Kalau di sini untuk spesiails, nanti gabung sama dokter d klinik atau rumah sakit. Nanti kita malah dibayar sebab mahasiswa spesialis di sini, ya, asisten dokter yang bisa dibayar. Jadi, sayang kalau aku enggak sampai mendapatkan spesialis sebelum kembali ke Indonesia,” ujar Andrea.
Berburu beasiswa
Memiliki gelar sarjana, magister, atau doktor dari perguruan tinggi ternama di luar negeri kini tidak hanya mimpi. Justru berawal dari mimpilah semua bisa diwujudkan, termasuk mengatasi masalah keterbatasan finansial. Berburu beasiswa jadi salah satu cara yang populer untuk kuliah di luar negeri demi mengejar impian menikmati pendidikan internasional.
Rachmad Adi Riyanto (29) kini sedang menyelesaikan program doktor di Gifu University, Jepang. Adi melebarkan sayap mimpinya kuliah ke luar negeri ketika menemui kenyataan bahwa dia yang berasal dari keluarga tidak mampu tetap bisa berkuliah di Universitas Sebelas Maret di Solo berkat beasiswa Bidikmisi dari pemerintah.
Ketika Adi sudah punya target untuk bisa dapat beasiswa kuliah ke luar negeri, dia pun rajin mencari infromasi di internet dan ikut grup pejuang beasiswa di media sosial agar termotivasi. Awalnya, Adi berjuang untuk tembus S-2 di King Saud University di Riyadh, Arab Saudi. Namun, pengumuman tak kunjung datang hingga hampir setahun.
Tak putus asa, Adi berjuang untuk ikut beasiswa LPDP dari Pemerintah Indonesia. Dia masih bersikeras untuk kuliah di Arab Saudi, tetapi tak juga ada kabar diterima. Setelah membuka diri melirik negara lain, pilihan jatuh ke Leeds University di Inggris. Dia bergabung di School of Food Science and Nutrition tahun 2016.
”Aku tertarik jadi dosen. Kuliah lagi ke S-2 sangat perlu. Pilihan ke Leeds karena lokasinya di tengah Inggris. Kuliah magister di sini cmua satu tahun,” ujar Adi.
Meksipun hanya setahun berkuliah di Leeds University, Adi tak hanya menghabiskan waktu untuk urusan kuliah. Dia sempat bergabung sebagai sukarelawan di kegiatan Get Out Get Active yang memberi kesempatan dia menjelajahi sebanyak 60 desa/kota di Inggris Raya. Termasuk pula jadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Leeds.
Saat dinyatakan lulus, Adi tidak bisa ikut wisuda pada Desember 2017 karena jatah beasiswa LPDP sudah selesai. Namun, kampus punya solusi bagi mahasiswa internasional yang lulus, tetapi tidak bisa bergabung wisuda. Dokumentasi sebagai wisudawan bisa diajukan jauh sebelum lulus sehingga mahasiswa inetrnasional tetap bisa merasakan pakaian wisuda ala Leeds University.
”Kita bisa mencari kampus sekaligus berburu beasiswa. Sekalian jalan saja ngerjain-nya karena kadang ada yang sama. Seperti beasiswa LPDP, kan, ada waktu sampai setahun untuk bisa mendapat letter op acceptance/LOA dari kampus yang dituju,” ujar Adi yang kemudian mendapat beasiswa doktor dari Monbukagusho/MEXT dari Pemerintah Jepang.
Menurut Adi, dirinya sebenarnya ingin mengabdi menjadi dosen dulu di UNS, tetapi lowongan belum terbuka. Kampus UNS punya kerja sama untuk mendapatkan beasiswa MEXT, lalu Adi mencoba. Kuliah doktor yang lebih fokus untuk riset dijalani dengan bahasa inggris.
”Tapi, tetap bahasa Jepang perlu, ya. Untuk pemakaian alat, kan, petunjuknya masih pakai bahasa Jepang. Tantangan bahasa Jepang, kan, beda di lisan dan tulisan, jadi harus ekstra. Tapi, sekarang sih bisa terbantu dengan Google Translate, ya,” ujar Adi yang target selesai September 2021.
Kuliah di Negeri Tirai Bambu dengan beasiswa dilakoni Ruth Kirana (21), mahasiswa S-2 Master of Public Administration in Internastional Development di Tsinghua University. Ruth mendapat beasiswa kuliah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia yang bekerja sama dengan Tsinghua University yang berlokasi di Beijing.
”Aku tadinya enggak terpikir untuk kuliah di China. Kalau kuliah di luar negeri merasa yang lebih baik kalau di Amerika atau Eropa gitu. Ternyata aku salah. Pas aku jadi finalis bidang teknologi di Beijing, aku baru terbuka kalau kemjauan teknologi China juga leading dan enggak kalah dari negara maju di AS dan Eropa,” ujar Ruth yang juga Presiden Tsinghua University Indonesian Student Associaton (Thisua).
Ruth mengatakan, China patut dilirik untuk pilihan belajar anak muda Indonesia. Di webinar Thisua Talks bertajuk ”Potensi Mahasiswa Indonesia di Tiongkok” tampil sebagai pembicara Wakil Duta Besar RI untuk Republik Rakyat China merangkap Mongolia Dino Kusnadi, pengusaha Mochtar Riady, dan Ketua Harian Perhimpunan Persahabatan Alumni Tiongkok (Perhati) Adi Harsono. Para pembicara mengingatkan mahasiswa Indonesia di China yang akhir tahun 2019 terdata sekitar 16.000 orang untuk mempelajari kemajuan China hingga menjadi kekuatan ekonomi dunia yang diperhtiungkan.
”Kuliah di Tsinghua University ini aku enggak bisa santai-santai. Mahasiswa lokalnya rajin dan kompetitif. Jadinya, kami terpacu juga. Tak heran yang namanya perpustakaan selalu penuh untuk tempat belajar. Kita mesti reservasi online dulu di sembilan perpustakaan yang ada, termasuk perpusatkaan Mochtar Riady yang ada di kampus ini,” ujar Ruth yang kini berkuliah jarak jauh dari Jakarta.
Ruth mengatakan, Pemerintah China menyediakan banyak beasiswa penuh dari jenjang S-1 hingga pascasarjana bagi mahasiswa asing. Di kampus yang memliki mahasiswa internasional, ada yang sudah menerapkan kuliah dengan pengantar bahasa Inggris, seperti di kelas Ruth.
”Tapi, kan, rugi kalau tidak mendalami bahasa Mandarin. Selain penting untuk kehidupan sehari-hari di sini, kan, berguna juga untuk dunia kerja nanti karena bahasa Mandarin jadi salah satu bahasa internasional,” ujar Ruth yang alumnus S-1 Sastra Inggris di Universitas Terbuka, Jakarta.
Baca juga: Mahasiswa Indonesia Bersinar di Kompetisi Virtual Internasional
Presiden Euro Management Indonesia Bimo Sasongko mengatakan, anak muda Indonesia perlu didorong untuk kuliah di luar negeri. Terpaaan pendidikan internasional membuat anak-anak muda Indonesia dapat menikmati pendidikan yang baik dan membuka jaringan global dengan mahasiswa internasional dari banyak negara.
Untuk bisa tembus ke perguruan tinggi berkualitas di luar negeri, tentunya perlu persiapan matang. Salah satunya kemampuan bahasa asing, yang wajib bahasa Inggris dan bahasa pengantar negara yang dituju. ”Kami punya program memberi beasiswa belajar bahasa asing bagi anak muda Indonesia yang sekarang lewat daring. Kami beri gratis supaya anak muda Indonesia termotvasi untuk kuliah di luar negeri, baik dengan biaya sendiri maupun dengan beasiswa,” kata Bimo yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie,
Menurut Bimo, untuk jenjang S-1 di luar negeri, beasiswa masih terbatas. Namun, kendala finansial bisa diakali dengan memilih negara maju yang biaya kuliah gratis, seperti di Jerman. ”Kami mendorong supaya Pemerintah Indonesia juga menyediakan beasiswa kuliah ke luar negeri untuk lulusan SMA, seperti yang dulu dilakukan lewat beasiswa program Habibie,” ujar Bimo.