Aktor Butet Kartaredjasa menganggap pemutaran kembali lakon-lakon teater merupakan hal penting. Menurut dia, ragam kisah teater adalah representasi nilai dan budaya bangsa.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE DAN HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Arsip dokumentasi pertunjukan teater menjadi penuntas dahaga di kala pandemi Covid-19 tak kunjung reda. Penayangannya lewat internet adalah alternatif hiburan di tengah kejumudan tontonan virtual sebelum pintu gedung pertunjukan dibuka lagi.
Pementasan teater virtual dilakukan sejumlah kelompok dan komunitas. Galeri Indonesia Kaya, misalnya, menghidupkan teater virtual melalui program #NontonTeaterdiRumahAja. Pemutaran teater streaming sudah dilakukan sejak pertengahan April lalu. Setiap akhir pekan, pada Sabtu dan Minggu, Galeri Indonesia Kaya memutarkan satu judul teater secara gratis.
Pertunjukan yang disiarkan lewat kanal Youtube itu, sebagian besar merupakan arsip atau dokumentasi teater yang sudah pernah dipentaskan. Ini menjadi ajang menonton ulang bagi karya-karya populer, sekaligus menjadi kesempatan bagi mereka yang berhalangan hadir ketika teater dipentaskan.
Pada Sabtu (15/8/2020) hingga Minggu misalnya, ditayangkan dokumentasi pementasan teater berjudul Orde Omdo. Pentas garapan trio kreatif Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan mendiang Djaduk Ferianto ini sejatinya digelar pada 20-21 Desember 2013 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang hari ini sudah dibongkar itu.
Lakon Orde Omdo bernuansa politis dengan balutan komedi tebal. Ceritanya, seorang wali kota berniat melanjutkan pemerintahannya. Pejabat yang diperankan Susilo Nugroho itu berkampanye di pasar bernama Pasar Bebas, ditemani asistennya (Marwoto). Begini kecap Marwoto kepada pedagang pasar, “Di bawah kepemimpinan beliau, kemiskinan di kota ini menurun… menurun ke anak cucu.”
Gelak tawa penonton di dalam gedung terekam jelas di video dokumentasi itu. Bukan cuma ketawa saja, tapi bisik-bisik antarpenonton juga masuk lamat-lamat di video. Mungkin karena penempatan kameranya ada di area penonton.
Sepekan sebelumnya, Galeri Indonesia Kaya juga menyiarkan lakon Sabdo Pandito Rakjat untuk mengenang Ki Nartosabdo, maestro pedalangan wayang kulit dan karawitan. Pementasannya berlangsung pada 2 dan 3 Desember 2016 di gedung yang sama, juga disiarkan di Youtube dan situs resmi mereka.
Lakon yang disutradarai Sujiwo Tejo ini berkisah tentang seorang dalang yang mencoba bersikap teguh dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Ia ingin melakukan pembaruan, sekaligus tak mau tergoda selera orang banyak. Kisah ini terinspirasi dari karya-karya Ki Nartosabdo, serta riwayat hidupnya yang mengingatkan betapa pentingnya untuk mendengar "suara jernih" dan menjunjung tinggi moralitas.
Alternatif hiburan
Ada suasana berbeda menyaksikan Sabdo Pandito Rakjat secara langsung dan digital. Saat menonton di panggung pertunjukan, penonton bisa berinteraksi dengan pemain. Ada kalanya, pemain dan penonton berinteraksi di tengah-tengah pementasan. Interaksi spontan yang terjadi diluar skrip ini menghidupkan suasana pementasan.
Selain itu, suasana kekeluargaan dan kebersamaan juga terbangun di antara penonton. Berbagai detil panggung, seperti tata cahaya, tata letak perabotan, hingga mimik wajah dan gestur pemain, juga bisa diperhatikan. Begitu pementasan berakhir, penonton juga tidak terburu-buru pulang. Mereka bisa saling sapa dengan aktor-aktor idola.
Sementara, ketika menonton melalui layar digital ada banyak keterbatasan. Kadang kala, sinyal internet tidak berpihak kepada penonton dan penyelenggara. Akibatnya, gambar kabur, atau suara terputus-putus menjadi hal biasa. Selain itu, penempatan kamera—dengan tujuan dokumentasi—juga memengaruhi keasyikan menonton.
Meski tidak sebebas menonton langsung, alur cerita teater bisa tetap dinikmati dengan baik. Jalan cerita yang sangat kuat dengan akting para pemain yang hebat menjadi daya pikat pementasan virtual. Lakon ini dibintangi, antara lain, oleh Happy Salma, Marwoto, Inayah Wahid, Susilo Nugroho, Cak Lontong, dan Orkes Sinten Remen.
Gelak tawa penonton di gedung lagi-lagi menemani penonton di layar gawai masing-masing. Sehingga, lontaran komedi terasa berjalan dua arah. Penonton di rumah tak perlu malu ikut tertawa, karena orang-orang di gedung pertunjukan juga melakukannya.
Sejak April 2020, sebanyak 18 judul teater sudah ditayangkan. Galeri Indonesia Kaya bekerja sama dengan berbagai komunitas yang memiliki dokumentasi pementasan yang baik, seperti Yayasan Titi Mangsa, Indonesia Kita, dan Teater Koma. Kebesaran judul teater serta kondisi arsip menjadi pertimbangan untuk menarik minat penonton.
Keterbatasan pementasan virtual tidak menyurutkan antusiasme penonton menyaksikan peran aktor/aktris idola mereka. Hal itu terbukti dari jumlah penonton streaming yang mencapai 12.000 hingga 20.000 orang setiap pemutaran. Angka ini berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kapasitas gedung pertunjukan di Jakarta, yang tidak lebih dari 4.000 kursi.
“Pertunjukan teater digital menjadi alternatif hiburan masyarakat selama pandemi. Selain itu, selama ini pentas teater dikenal dengan harga tiket yang mahal. Dengan pemutaran virtual, penonton tak perlu membayar terlalu mahal, juga bisa disimak dari mana pun lokasi penontonnya,” kata Program Manager Galeri Indonesia Kaya Billy Gamaliel.
Pemutaran arsip oleh Galeri Indonesia Kaya masih akan berlangsung hingga beberapa pekan ke depan, dengan judul yang berbeda-beda. Menurut Billy, pemutaran arsip dokumentasi itu menjadi cara menjaga antusiasme penonton pada teater, dan sebagai alternatif pilihan hiburan masyarakat.
“Sambil menunggu pandemi berakhir dan seniman menyiapkan diri untuk bangkit, kami menjaga semangat penonton. Harapannya, begitu teater dimainkan kembali di gedung pertunjukan, penonton juga sudah siap menyambut,” kata Billy.
Aktor Butet Kartaredjasa menganggap pemutaran kembali lakon-lakon teater merupakan hal penting. Menurut dia, ragam kisah teater adalah representasi nilai dan budaya bangsa.
“Pementasan selalu menjadi upaya menyampaikan gagasan perihal keberagaman dan kebersamaan tentang Indonesia. Pentas menjadi sebuah jalan artistik dan kebudayaan untuk menumbuhkan sikap toleran dan menghargai keberagaman. Semoga penayangan pentas ini dapat diterima kembali oleh masyarakat yang lebih luas," kata Butet.
Selain menonton teater di rumah, Indonesia Kaya bekerjasama dengan Butet, Happy Salma, dan Ratna Riantarno, juga mengajak penikmat seni ikut berdonasi bagi pekerja seni panggung budaya. Pelarangan menggelar pertunjukan yang mengumpulkan massa membuat pekerja seni kehilangan pendapatan mereka.
"Donasi lewat kitabisa.com ini akan diberikan dalam bentuk dana ke pekerja seni. Kami harap, bantuan itu mengurangi beban hidup mereka, sehingga dapat berkarya lagi di kemudian hari," kata Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.