Banyak siswa tak punya telepon seluler sehingga tak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh selama pandemi ini. Untuk membantu mereka agar bisa mengikuti PJJ, sejumlah wartawan mengumpulkan donasi ponsel untuk pelajar.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA/DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Di sela-sela kesibukan meliput, sejumlah wartawan muda yang tergabung dalam komunitas Wartawan Lintas Media menggalang sumbangan telepon seluler bekas untuk pelajar dari keluarga tidak mampu. Tujuannya, agar mereka bisa mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh atau PJJ yang diterapkan selama pandemi Covid-19.
Awalnya, komunitas itu menggalang solidaritas dengan menyalurkan bantuan makanan dan uang tunai dari donasi masyarakat kepada kelompok masyarakat yang paling terdampak pandemi Covid-19, seperti buruh pabrik, pemijat tunanetra, pemulung, dan pekerja informal lainnya.
Setelah beberapa lama program berjalan, mereka mendapati seorang pemulung mencari ponsel bekas untuk anaknya agar bisa mengikuti PJJ. Dari situ, komunitas Wartawan Lintas Media sepakat bergerak mengumpulkan ponsel bekas atau baru bagi siswa SD, SMP, dan SMA dari keluarga tidak mampu. Kesepakatan itu muncul pada 18 Juni 2020. Setelah itu, mereka mengampanyekan gerakannya melalui media sosial dengan tanda pagar PonselPintarUntukPelajar.
Enggak semua anak bisa mengikuti sistem belajar itu karena enggak semua punya handphone.
”Enggak semua anak bisa mengikuti sistem belajar itu karena enggak semua punya handphone. Padahal, seharusnya mereka hanya perlu tahu belajar dengan giat untuk mencapai mimpinya, tapi kenyataannya enggak seperti itu. Jadi, untuk mendukung mereka, aku dan teman-teman lain membantu mencarikan handphone,” tutur Mery Handayani (26), wartawan Era.id, saat dihubungi di Jakarta, Senin (10/8/2020).
Wartawan Lintas Media saat ini memiliki anggota inti 11 wartawan dari sejumlah media, antara lain The Jakarta Post, harian Kompas, majalah Tempo, CNN Indonesia TV, Tirto.id, dan Era.id.
Gerakan itu memicu antusiasme masyarakat untuk membantu. Wartawan Lintas Media sejauh ini telah memperoleh donasi sekitar 200 ponsel bekas dan baru. Sebagian ponsel-ponsel itu telah disalurkan kepada anak-anak yang tersebar di Jabodetabek, Aceh, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Secara berkala, mereka mengumumkan progres kegiatan melalui Instagram dan Twitter.
Komunitas itu juga kembali mengumpulkan dana melalui platform kitabisa.com untuk membeli gawai dan sarana pendukung pembelajaran lainnya. Dana yang terkumpul telah mencapai lebih dari Rp 300 juta saat ini. Mereka juga mengajak masyarakat menjadi Relawan Teman Belajar para siswa yang akan menerima ponsel donasi guna memastikan penerima ponsel menggunakan ponsel sesuai tujuan.
Haris Prabowo (25), wartawan Tirto.id, mengatakan, gerakan itu juga muncul karena alasan yang lain. Selama masa pandemi, mereka melihat pemerintah lamban dalam menanggapi isu-isu yang muncul akibat pandemi.
”Kami melihat kebijakan pemerintah enggak optimal, penyediaan infrastruktur untuk PJJ tidak ada, terutama untuk anak tidak mampu dan di daerah. Ini catatan kritis kenapa pendidikan di Indonesia sangat bias di perkotaan dan Jawa karena memukul rata semua metode pendidikan hanya bisa via online,” katanya.
Selama gerakan berjalan, Haris melihat banyak warga semakin sadar kebijakan pemerintah masih kikuk dalam penanganan Covid-19, terutama terkait penyaluran bantuan sosial dan pendidikan. Pengambilan kebijakan bersifat satu pintu tanpa melihat konteks dan situasi di daerah.
Alifah Nayla Saputri, pelajar kelas III SDN Utan Kayu Selatan 05, tertolong berkat donasi ponsel itu. Pendapatan keluarganya pas-pasan karena ayahnya bekerja sebagai petugas keamanan pabrik dan ibunya adalah pekerja rumah tangga. ”Selama ini, aku belajar memakai satu ponsel, gantian dengan kakak. Sekarang bisa pakai sendiri,” kata anak yang tinggal di daerah Rawamangun, Jakarta Timur, ini.
Refleksi gerakan
Margareth S Aritonang (38), wartawan TheJakarta Post, menjelaskan, gerakan itu menunjukan sikap saling membantu masyarakat Indonesia masih kuat. Para donatur membantu dengan menyumbang semampu mereka, baik itu dengan nominal Rp 10.000 hingga Rp 100 juta.
”Dengan kisaran itu, kami melihat bahwa masyarakat kelas bawah hingga ke atas ingin membantu. Kebaikan hati tidak melihat kelas. Bahkan, ada instansi pemerintah dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari kampus luar Jakarta ikut mengumpulkan ponsel dan donasi untuk kami salurkan,” ujar Margareth.
Menurut dia, ada dua refleksi utama dari gerakan itu. Pertama, pelayanan fasilitas publik, seperti pendidikan dasar dan kesehatan, belum inklusif. Kedua, masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa selama pengelolaan dana mengedepankan akuntabilitas, transparansi, dan integritas.
”Kami komunitas wartawan selama ini jago mengkritik pemerintah. Lewat gerakan ini, kami belajar tantangan mengelola dana publik secara akuntabel. Dengan langkah sederhana ini, kami memacu semangat publik untuk berbagi dan membantu. Apabila negara benar-benar akuntabel, orang tidak akan segan membayar apa yang menjadi kewajibannya,” tuturnya.
Haris menambahkan, pemerintah perlu mengubah orientasi kebijakan agar mementingkan agenda publik, seperti penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Selama ini, tuturnya, arah kebijakan pemerintah terkesan mengedepankan agenda komersial. Ini membuat pemerintah kewalahan ketika menghadapi krisis, seperti ketika pandemi terjadi.
”Paradigma pembangunan harus kembali sesuai amanat undang-undang yang menjamin kebutuhan dasar warga. Makanya, belakangan, kita lihat ada rapid test berbayar mahal dan anak-anak di sekolah pelosok yang membutuhkan ponsel untuk PJJ,” ujarnya.
Mery mengingatkan, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya, di samping faktor-faktor lain, seperti sumber daya alam, infrastruktur, sosial budaya, dan kestabilan politik. SDM memiliki peran untuk mengelola semua komponen.
”Kalau sumber daya manusia di suatu negara berkualitas tinggi, sudah dapat dipastikan pengelolaan sumber daya alam akan maksimal dan menghasilkan kesejahteraan bagi bangsa. SDM unggul harus dipersiapkan oleh negara sejak dini melalui pendidikan. Jadi, sistem pendidikan di Indonesia juga harus dibenahi agar semua masyarakat mendapatkan pendidikan layak tanpa terkecuali,” tuturnya.