Media Sosial Bisa Memperkuat Persatuan, Bisa Juga Memicu Perseteruan
Media sosial seperti pisau bermata dua. Teknologi ini bisa memperkuat konektivitas sekaligus bisa memecah belah masyarakat.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
Apabila digunakan dengan cara yang tepat, teknologi informasi dan media sosial bisa menjadi alat untuk mempererat persatuan bangsa. Jika tidak, teknologi ini malah memicu perseteruan.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/8/2020), menjelaskan, teknologi itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi apabila dipakai dengan baik, teknologi bisa mempercepat kolaborasi, membagikan informasi, dan pengetahuan, mempercepat penyelesaian masalah ekonomi dan sosial. Akan tetapi, di sisi lain, teknologi juga bisa memudarkan rasa kemanusiaan, menciptakan potensi kesalahpahaman antarindividu dan kelompok, serta mempertebal segregasi.
Oleh karena itu, menurut dia, teknologi harus dipandang sebagai alat pendukung semata, bukan untuk menggantikan interaksi antarmanusia sepenuhnya. ”Kalau interaksi kita diganti dengan teknologi seluruhnya, rasa kemanusiaan akan pudar dan menambah potensi kesalahpahaman. Di Whatsapp, salah memberikan emotikon aja bisa berkonflik,” katanya.
Kita harus menggunakan teknologi untuk mendorong persatuan. Tanpa itu, teknologi tidak ada artinya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia terdiri atas masyarakat yang beragam. ”Ketika kita berinteraksi di media sosial, seharusnya mindset keberagaman dan toleransi yang muncul. Kita harus menggunakan teknologi untuk mendorong persatuan. Tanpa itu, teknologi tidak ada artinya,” tuturnya.
Di Indonesia, berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat 6.361 isu berita bohong atau hoaks sepanjang Agustus 2018-Juli 2020. Dalam periode 2010-2020, sebanyak 1.050.103 konten pornografi dan 221.027 konten perjudian dibagikan di media sosial. Data ini didapatkan dari Seminar Online Nasional ”Strategi Menghadapi Hoaks dan Ujaran Kebencian di Era Revolusi Industri 4.0”, Rabu.
Septiaji menjelaskan, dengan atau tanpa niat buruk, internet dan media sosial mempunyai potensi untuk mematik perseteruan di antara masyarakat. Apalagi, Indonesia terdiri atas masyarakat dengan beragam kelompok dengan berbagai pandangan sosial.
”Hoaks dan ujaran kebencian berkelindan seperti lingkaran setan. Kalau itu dibiarkan, akan mempertebal kebencian, kecurigaan, sehingga berujung konflik, permusuhan, dan perkelahian di masyarakat,” ujarnya.
Untuk memerangi hoaks, Mafindo aktif melakukan periksa fakta terhadap isu-isu yang beredar di masyarakat yang berpotensi meresahkan dan membahayakan persatuan masyarakat. Pada 2019, periksa fakta aktif melacak isu-isu terkait politik dan pemilu. Pada 2020 ini, isu yang banyak diperiksa terkait penyebaran wabah Covid-19.
Isu-isu tidak benar terkait pandemi telah mengarah ke konflik sosial, pendekatan pengobatan keliru yang membahayakan keselamatan, dan mengurangi kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Isu-isu tidak benar terkait pandemi telah mengarah ke pendekatan pengobatan keliru yang membahayakan keselamatan.
Mafindo juga berusaha mengatasi problem mendasar mengenai minimnya literasi dan cara berpikir kritis di masyarakat dengan memberikan pelatihan membaca informasi digital. Selain itu, kolaborasi antarlembaga untuk membuat sistem edukasi literasi digital dilakukan.
Saat ini, ada tujuh orang yang bekerja penuh waktu di Mafindo dengan dukungan 500 sukarelawan yang tersebar di 17 kota di Seluruh Indoensia. Perkumpulan ini juga memiliki 70.000 anggota dari berbagai latar belakang yang bergotong royong menangkal berita bohong.
Septiaji menjelaskan, untuk mengatasi persoalan yang mengancam persatuan di negara ini, dibutuhkan kekuatan masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi di Indonesia. Perang terhadap berita bohong tidak bisa dilakukan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum semata.
Perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat dan warga biasa untuk secara aktif menangkal berita bohong. ”Kunci menangkal hoaks adalah kecepatan menanggapi informasi tidak benar dengan informasi akurat. Klarifikasi di media sosial, grup Whatsapp, dan grup-grup komunikasi lainnya bisa membantu meredam informasi yang berpotensi merusak semangat kebangsaan,” ujarnya.