Menulis puisi tak perlu ada batasan. Siapa saja bisa merangkai kata-kata indah yang penuh makna.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Puisi sering membuat orang jatuh cinta. Tidak hanya karena untaian kata yang terkandung di dalamnya, tetapi juga kejernihan makna yang menggetarkan jiwa. Melalui puisi, manusia diajak mengintip jendela dengan cakrawala imajinasi. Di tengah kegelisahan akibat pandemi Covid-19, Sobat Muda mengobrol bersama Adimas Immanuel tentang puisi.
Pada Sabtu (25/7/2020), untuk pertama kali Kompas Muda bersama dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama menyelenggarakan pertemuan virtual untuk membahas serba-serbi menulis puisi. Dalam acara berjudul #MudaBertanya ”Tentang Puisi dan Rasa Lainnya”, Sobat Muda diajak berbincang-bincang bersama penyair muda Adimas Immanuel (29) mengenai cara menangkap ide dan menuangkan gagasan menjadi karya puisi memikat hati.
Acara ini dibuka dengan cerita-cerita Adimas ketika pertama kali mengenal puisi. Melalui penyair-penyair ternama Indonesia, seperti Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, dan Chairil Anwar, Adimas memahami puisi mempunyai keunikan berupa kata-kata yang ringkas, tetapi mampu menggetarkan hati manusia dan menawarkan imajinasi tak terbatas.
Bermain-main dengan kata dan imajinasi kemudian menggerakkan Adimas sehingga bisa menghasilkan empat buku berjudul Di Hadapan Rahasia, Pelesir Mimpi, Selfie(sh), dan Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali. Bermain dengan kata ini seperti bermain gim, ada keasyikan yang hanya bisa dirasakan pelakunya sendiri. Keasyikan menulis puisi itu kadang tidak dimengerti orang lain. Namun, karya yang dihasilkan bisa berbekas di ingatan pembaca.
Setelah 90 menit puas mendengarkan proses kreatif Adimas, peserta membacakan puisi mereka. Kemudian, Adimas memberikan komentar, mulai dari pemilihan diksi, gagasan yang terkandung dalam karya, hingga keunikan karya peserta. Adimas mengajak peserta memperkaya kosakata serta mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menulis puisi.
Peserta asal Yogyakarta, Michael (27), lulusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada tertarik dengan dunia tulis-menulis, terutama menulis puisi. Ia beberapa kali ikut kegiatan diskusi dan lomba menulis puisi. ”Makanya, ketika aku melihat poster kegiatan Kompas Muda, aku auto join,” katanya.
Menurut Michael, kegiatan ngobrolin puisi bersama Adimas ini sangat menyenangkan karena sesuai kebutuhan anak muda. Michael juga merasa punya kedekatan dengan Adimas karena sama-sama tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang sastra. Adimas merupakan lulusan dari Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Meski kuliah di bidang ekonomi, Adimas berhasil meramaikan dunia sastra Indonesia dengan karya-karya populer di kalangan anak muda. ”Adimas contoh berhasil bahwa menulis puisi itu bisa dilakukan oleh siapa saja,” kata Michael.
Michael tidak menyia-nyiakan kesempatan membacakan karya puisinya, yang berjudul ”Sebingkai Hujan di Pekarangan Sapardi”. Puisi ini dibuat sebagai bentuk apresiasi Michael terhadap penyair Sapardi Djoko Damono yang meninggal pada 19 Juli 2020 lalu.
Sama seperti puisi Sapardi yang berjudul ”Kolam di Pekarangan”, Michael juga membuat karya dalam tiga bagian. ”Maaf ya kalau puisinya panjang,” kata Michael. Ia kemudian menghela napas sejenak dan mulai membaca, ”Hujan yang masih dalam perjalanan itu sudah tidak lagi merindukan langit tempatnya berkelakar di dalam awan kemarin sore// Saat ia tiba subuh ini/ tidak juga ia merisaukan mengapa ia harus jatuh di situ// Diterimanya saja ia diturunkan oleh awan yang tidak sanggup lagi menahannya karena selalu saja mengundang banyak temannya yang berasal dari laut lepas itu hingga ia tumpah begitu saja ke bumi// Tidak juga ia tanyakan kepada tanah saat ia jatuh di atasnya Kenapa kamu diam saja tidak bergerak tidak menjauh tidak menghindar menerimaku jatuh begitu saja? Ia tahu tanah dan dirinya sama-sama tidak berhak bertanya siapa harus jatuh di mana menjatuhi siapa//.”
Bermain imajinasi
Restu Almalita (20), mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman Samarinda, juga merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan kelas virtual menulis puisi. Sebagai mahasiswa yang kuliah di luar Pulau Jawa, Restu sering tidak punya kesempatan yang sama untuk mempelajari sesuatu. ”Dengan webinar ini, meski fisik saya ada jauh di Kalimantan, tetapi saya bisa menyerap ilmu sesuai bidang yang saya suka,” katanya.
Restu membacakan karyanya yang berjudul ”Suara-suara Tak Bermuara”. Terhadap karya Restu, Adimas memberi masukan agar Restu lebih bermain-main dengan pilihan kata. Pilihan diksi ”birokrasi” dan ”oligarki”, misalnya, bisa diganti dengan kata-kata lain yang membangkitkan imajinasi pembaca.
Masukan Adimas ini seperti kata-kata yang pernah disampaikan Sapardi bahwa menulis puisi itu ibarat mengajak pembaca mengintip jendela dengan cakrawala imajinasi. ”Dari membaca puisi, kita bisa overthinking dalam pengertian bagus dan menyenangkan, ya, yaitu memunculkan imajinasi setelah membaca kata-kata yang ada,” kata Adimas.
Menurut Adimas, puisi yang berhasil itu merupakan komposisi yang pas dari kata-kata indah dan juga gagasan yang terkandung di dalamnya. Kalau banyak bertebaran kata-kata indah, maknanya tidak ada, pembaca akan bingung memahami puisi itu. Sebaliknya, kalau ada gagasan nyata tetapi tidak dituliskan dengan permainan kata-kata, maka hasilnya bisa seperti pamflet atau selebaran belaka. ”Paling penting adalah bagaimana menyentuh pembaca dengan kata dan gagasan yang terkandung di dalamnya,” katanya.
Dengan webinar ini, meski fisik saya ada jauh di Kalimantan, saya bisa menyerap ilmu sesuai bidang yang saya suka.
Ketika menuliskan puisi, Adimas juga selalu terkenang dengan masukan pendahulunya, yaitu Sapardi. ”Satu petuah yang saya ingat dari Sapardi adalah memberi jarak dari tulisan. Jangan terlalu dekat dengan tulisan kita. Kalau terlalu dekat, jatuhnya jadi curhat,” kata Adimas.
Untuk mempunyai kejernihan ketika menulis puisi, menurut Adimas, penyair perlu mengendapkan setiap emosi yang dirasakan, termasuk sedih, amarah, dan kecewa. Ketika emosi sudah menjadi sesuatu yang netral, maka bisa menjadi gagasan yang utuh untuk menulis karya. Di situlah biasanya karya tulis bisa diterima oleh pembacanya. ”Kecuali sejak awal kita memang kita ingin menulis untuk diri kita sendiri, ya tidak masalah,” kata Adimas.
Menurut Adimas, seorang penyair harus selalu berusaha mencari ide tulisan dari pengalaman atau peristiwa yang ditemui sehari-hari. Meskipun tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari, tetapi bagaimana penyair bisa menyajikan gagasan dalam cara-cara yang baru menjadi peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. Seperti ketika pandemi Covid-19 ini, banyak sekali yang bisa dijadikan ide untuk menulis. ”Tidak perlu pergi jauh-jauh untuk menangkap inspirasi,” kata Adimas.