Selama pandemi, ruang publik anak tempat mereka mengekspresikan diri tersedot ke dunia virtual. Padahal, di dunia maya selalu ada ruang-ruang gelap dan aneka kepentingan yang bermain di dalamnya.
Oleh
Budi Suwarna dan Ester Lince Napitupulu
·4 menit baca
Di manakah ”ruang publik” bagi anak-anak untuk mengekspresikan dunia mereka yang penuh nuansa saat ini? Seiring pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, ”ruang publik” anak-anak nyaris tersedot habis ke dalam rimba raya virtual.
Sejak menjalani kegiatan belajar dari rumah (learn from home) 4-5 bulan terakhir, Fahrezi, siswa kelas VII sebuah SMP di Tangerang Selatan, harus memaknai ulang apa yang disebut waktu belajar dan waktu bermain. Dalam kondisi normal, ia biasa pergi ke sekolah pukul 06.30 dan langsung bermain basket dengan teman-temannya. Setelah itu, ia mengikuti pelajaran di ruang kelas.
Saat waktu istirahat tiba, ia bermain basket lagi, mengobrol, jajan, atau makan bekal yang dibawa dari rumah bersama teman-teman. Dari pengalaman interaksi fisik itulah Fahrezi dan anak-anak lainnya belajar karakter berbagai macam orang, belajar bekerja sama, berempati, bertoleransi, dan mengatasi konflik.
Sekarang, semua kegiatan itu dipadatkan di ruang virtual dengan mediasi gawai atau laptop. Fahrezi pagi-pagi bermain basket sendirian di halaman rumah dan melaporkannya kepada guru melalui aplikasi. Setelah itu, ia mengikuti pelajaran di kelas virtual di kamarnya.
Di kelas virtual, guru menerangkan materi pelajaran, siswa mendengarkan. Guru bertanya, siswa menjawab. Guru memberikan lembaran soal dan lembaran kegiatan, siswa mengisinya. Sering kali siswa mencari jawaban instan dari Google untuk mengisi lembaran soal. Proses belajar-mengajar cenderung mekanistis dan berkutat pada penyampaian materi ajar. Kehangatan, empati, dan imajinasi yang terbangun dalam relasi fisik tidak kita temukan di sini.
Ketika kelar virtual jeda, Fahrezi mengobrol dengan teman-temannya melalui media sosial lalu bermain gim basket atau perang-perangan. Seusai kelas virtual selesai, ia hanyut menonton Youtube, mencari aneka tutorial, mengecek Instagram, atau bermain gim dengan aneka karakter artifisial. Hal seperti ini sekarang lazim dilakukan jutaan anak Indonesia.
Jauh sebelum era pandemi Covid-19, teknologi digital sudah jadi bagian keseharian anak-anak. Selama pandemi, mereka makin dalam tenggelam di jagat virtual. Ruang virtual menjadi ”ruang publik” utama tempat anak-anak belajar, bermain, dan mengekspresikan dirinya. Ia menggantikan ruang publik utama anak-anak, seperti sekolah, lingkungan rumah, taman, tempat olahraga, dan sanggar seni, yang ditutup selama pandemi.
Para ahli kajian budaya kontemporer menyebut situasi ini sebagai bertemunya the politics of education (politik pendidikan) dan the politics of pleasure (politik penciptaan kesenangan) yang sama-sama berorientasi pasar alias komersial. Dalam situasi ini, anak, orangtua, dan sekolah diposisikan sebagai konsumen dan pembeli. Di waktu luang, anak-anak jadi sasaran bujuk rayu aneka iklan dan hiburan virtual.
Saat mengikuti kelas virtual, mereka mesti memiliki gawai/laptop dan membeli kuota internet. Sekolah mesti memakai atau berlangganan aplikasi belajar virtual tertentu. Orangtua yang ingin anaknya lebih kompetitif digoda iklan-iklan aplikasi bimbingan belajar virtual yang intinya membentuk kesadaran instan bahwa belajar itu perkara memecahkan soal-soal dengan cepat dan mudah.
”Sungguh berbahaya jika konsep belajar dari rumah jadi bagian desain pendidikan jangka panjang kita. Kita akan didikte oleh liberalisasi pendidikan yang mengikuti arah pasar yang dikendalikan para pemilik modal. Kalau sekadar sebagai instrumen di masa pandemi, masih bisa dipahami,” ujar Idi Subandy, pakar komunikasi dan budaya, Senin (20/7/2020).
Budaya tanding
Teknologi memang seperti pisau bermata dua. Kehadiran teknologi komunikasi yang digadang-gadang akan meningkatkan kualitas hidup manusia nyatanya memiliki ruang-ruang gelap. Di ruang gelap itu, predator seksual, industri hoaks, industri pornografi, pembobol kartu kredit, dan teroris mencari korbannya.
Ruang digital juga menjadi jalan tol bagi globalisasi budaya yang disponsori kekuatan ekonomi dan politik global. Lewat ruang digital, mereka membentuk persepsi, cara berpikir, kebiasaan, perilaku, selera, dan gaya hidup yang seragam.
Dalam ”ruang publik” yang tak ramah dan sarat kepentingan itulah anak-anak Indonesia secara sangat intens didorong untuk belajar dan memanfaatkan waktu luang selama pandemi. Situasi ini membuat orang-orang yang bekerja di bidang literasi media dan budaya harus bekerja ekstrakeras.
Anis Suryani, pendiri Laboratorium Inspirasi Al Fatih di Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, makin susah payah menjauhkan anak-anak dari gawai serta mendorong mereka mengenalkan nilai-nilai budaya lokal dan permainan tradisional seperti egrang dan congklak.
Tantangan besar juga dihadapi Stefanie Augustin, pendiri majalah untuk anak-anak, Cahaya Inspirasi Anak, yang memperkenalkan kekayaan, karakter, nilai-nilai budaya, dan keseharian masyarakat Indonesia lewat media cetak. Ia menerbitkan majalah itu lantaran prihatin dengan minimnya bacaan untuk anak-anak dengan warga lokal.
Kerja-kerja literasi media dan budaya belakangan bertumbuhan di sejumlah daerah dalam bentuk komunitas dongeng dan sekolah informal. Namun, persoalan yang dihadapi mereka umumnya sama, yakni kurang dana, kurang dukungan, dan tidak menjadi bagian dari desain strategi budaya nasional.
Padahal, kerja-kerja seperti itu, menurut Idi, merupakan bentuk budaya tanding (counter-culture) yang mesti diperkuat untuk melawan dominasi budaya global yang merangsek hingga ke ruang-ruang pribadi setiap orang, termasuk anak-anak.
Tanpa upaya dan strategi, kita akan sulit merebut kembali anak-anak dari dekapan ruang virtual yang erat, tetapi tak hangat.