Saat ini, banyak anak muda yang getol mengenalkan bahasa daerahnya melalui lagu. Mereka membuat lagu bahasa daerah yang mudah dimengerti sekaligus diikuti para penggemar musik.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Bagi anak muda ”zaman now”, kata kedaerahan memunculkan suatu kebanggaan tersendiri. Anak muda di berbagai belahan Nusantara justru mulai bergerak mempertahankan kearifan lokal dengan cara mereka masing-masing. Yang terbaru, mereka dengan bangga menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa daerah dengan genre populer.
Wandra Restusiyan (25), atau Wandra, adalah penyanyi keturunan Sunda yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Selama beberapa tahun terakhir, dirinya sedang naik daun karena keunikannya. Wandra terkenal karena sering menyanyikan lagu cinta bergenre pop dan koplo dalam bahasa Osing dan Jawa.
Lagu-lagu Wandra yang populer, antara lain ”Kelangan”, ”Ngobong Ati”, ”Salah Tompo”, ”Roso Welas”, dan ”Sing Kuat”. Wandra memiliki alasan sendiri untuk memilih menyanyikan lagu daerah. Sebelumnya, ia sering mendapati penikmat lagu bahasa daerah hanya orang-orang dewasa. Untuk itu, ia berupaya agar anak muda lainnya ikut tertarik.
”Saya ingin menjaga budaya dan tidak ingin anak muda malu dengan bahasa sendiri. Setelah muncul konsep ini, anak muda menerima lagu-lagu saya dan sekarang banyak penyanyi muda mau menyanyikan lagu Banyuwangi,” kata Wandra saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Komitmen Wandra membuahkan hasil. Tidak hanya terkenal di Banyuwangi, Wandra juga telah tampil di Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Hong Kong, Taiwan, dan bahkan Jepang. Popularitas Wandra ikut memacu produktivitas pencipta lagu daerah sehingga dia sudah menyanyikan ratusan lagu sejak 2012.
Sosok lainnya adalah Dian Sorowea (19), penyanyi muda asal Maumere. Dian terkenal karena menyanyikanlagu ”Karna Su Sayang” dalam dialek timur. Sejak itu, perempuan ini kerap menyanyikan lagu-lagu bahasa daerah, termasuk lagu bahasa Sikka berjudul ”Sadang Bui”.
”Saya ingin memperkenalkan daerah saya di kancah nasional. Dengan membawakan lagu daerah, orang luar akan tahu dan ingin tahu lagu ini judulnya apa, dari daerah mana asal lagu ini, dan siapa penyanyinya. Sejauh ini, pendengar menerima setiap karya yang saya buat,” katanya.
Upaya Dian juga terbantu berkat keberadaan teknologi digital, seperti layanan streaming di Youtube. Ia dapat mempromosikan lagu-lagunya lewat platform itu dalam bentuk lirik video. Untuk memudahkan pendengar dari daerah lain, ia juga biasanya mencantumkan penjelasan lagu di kolom deskripsi.
”Minat dan antusias masyarakat lokal sangat bagus karena menggunakan dialek kami sehari-hari. Itu juga yang membuat banyak musisi baru dan lama semakin semangat dalam berkarya. Kalau untuk minat masyarakat nasional, ya, sejauh ini bagus sih karena penjelasan tentang lagu membuat makna dari lagu itu bisa sampai ke mereka,” tuturnya.
Langkah strategis
Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Mataram Mahsun mengatakan, beberapa wilayah di Indonesia menghadapi ancaman kepunahan bahasa. Selama ini, ada beberapa cara yang biasanya dilakukan dalam mempertahankan bahasa daerah, seperti lewat jalur pendidikan formal dan pembinaan komunitas menggunakan medium bahasa.
Data dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 menunjukkan, sebanyak 11 bahasa daerah yang tersebar di wilayah Indonesia telah punah, 22 bahasa terancam punah, 4 bahasa dalam kondisi kritis, dan 16 bahasa stabil tetapi terancam punah. Sementara 2 bahasa daerah mengalami kemunduran dan hanya 19 bahasa terkategori aman (Kompas, 29/10/2019).
Mahsun melanjutkan, menggunakan lagu daerah untuk mempertahankan bahasa dan mempromosikan budaya lokal merupakan langkah strategis. Selain karena berbasis komunitas, lagu daerah dapat memotivasi anak muda untuk menghafal dan mendalami bahasa daerah.
”Semangat kedaerahan juga akan bangkit sehingga menghapus imej bahasa daerah sebagai lambang keterbelakangan. Lagu daerah yang menarik juga akan disenangi banyak orang lintas etnis sehingga memotivasi para penuturnya untuk memelihara,” ujar Mahsun.
Di Indonesia, contoh lagu daerah yang membawa kebanggaan lokal adalah ”Poco Poco” dari Ternate dan ”Gemu Fa Mi Re” dari Nusa Tenggara Timur. Lagu-lagu ini memperkenalkan provinsi dari wilayah timur Indonesia dan memperkuat semangat kebinekaan.
Mahsun melanjutkan, pada dasarnya, hanya ada satu unsur penting yang dapat mencegah kepunahan bahasa daerah, yakni motivasi dari penutur bahasa itu sendiri. Keinginan musisi daerah untuk menjaga bahasa daerah mereka merupakan contoh konkrit bagaimana penutur bahasa terlibat langsung dalam pemeliharaan bahasa.
Pasar besar
Chaken Supusepa (36), Musisi dari Ambon, menuturkan, musisi muda tidak perlu khawatir akan antusiasme pasar terhadap lagu daerah karena minat pasar masih besar. Di Maluku sendiri, rasa cinta kedaerahan yang kental membuat lagu dialek Melayu Ambon sangat diterima masyarakat, terutama di daerah pedalaman. Malahan lagu Ambon sekarang sudah diterima secara nasional.
Chaken secara umum sering bernyanyi lagu dangdut bercampur hip-hop dialek Melayu Ambon, seperti dalam lagu ”Maluku Satu Rasa”, ”Rindu Bupolo”, dan ”Pelakor”. Besarnya minat pasar membuat Chaken menjajal kesempatan menyanyikan lagu bahasa daerah dari provinsi lainnya. Ia juga menyanyikan lagu bahasa daerah dari Papua Nugini, Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan.
”Kalau kami bisa menyanyikan lagu bahasa daerah tertentu, kami bisa mencuri hati mereka. Saya biasanya meminta bantuan penulis lagu atau produser lain untuk mengecek akurasi lirik, tata bahasa, dan dialek bahasa daerah lain,” tutur pemuda yang telah berkarya sejak 2016 ini.
Eli Lomi Rihi, musisi senior asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, motivasi musisi muda Indonesia untuk berkarya juga tidak kalah dan justru semakin terlihat baik belakangan ini. Namun, tantangan utama musisi lagu bahasa daerah adalah meramu agar bahasa itu dapat menyampaikan makna lagu dengan tepat dengan lirik yang indah.
”Ada kata yang tidak mewakili isu dan perasaan tertentu, seperti kata dalam bahasa Sabu ja ta dai nga au untuk aku cinta padamu itu tak bisa mewakili suara hati karena terdengar kasar. Sedangkan kita lebih familiar kalau bilang I love you. Jadi ada kalimat rumit dan kita harus pintar mengakalinya,” kata Eli.
Menurut Eli, yang telah berkarya sejak tahun 1990-an, musisi daerah perlu terus merasa bangga dalam berkarya karena itu merupakan bentuk partisipasi mereka dalam pembangunan daerah. ”Kalau bukan kita sendiri yang mempromosikan budaya lokal, siapa lagi?” tuturnya.