Sepak Terjang Joki Tugas Kuliah di Masa Pandemi
Joki masih bergentayangan di dunia pendidikan kita. Selama pandemi, jasa mereka makin dicari oleh mahasiswa yang malas mengerjakan tugas.
Dunia pendidikan Indonesia sudah sering dikotori oleh praktik perjokian. Ada joki yang beraksi pada ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru, ada joki pengerjaan skripsi hingga disertasi, dan kini di saat pandemi banyak berkeliaran joki tugas kuliah.
Nina, mahasiswa jurusan humaniora di sebuah universitas di Jawa Timur, mengatakan, saat kuliah virtual seperti sekarang, kebutuhan akan jasa joki lebih banyak. ”Itu terjadi karena mahasiswa panik gara-gara dapat banyak tugas dari dosen yang tenggat penyelesaiannya pendek. Akhirnya, mereka mencari jalan keluar yang cepat, yaitu minta jasa joki,” ujar Nina, pengguna jasa joki yang akhirnya menjadi joki.
Nina mengalami sendiri betapa paniknya melihat tugas dari dosen bertumpuk-tumpuk. ”Katakan dalam satu hari ada kuliah tiga mata kuliah. Dosen dua mata kuliah kemudian memberikan tugas mencari jurnal sesuai tema yang diajarkan. Besoknya, selesai kuliah daring, dosen yang lain juga kasih tugas. Emang pusing dah. Dosen kok hobinya ngasih tugas,” cetus Nina.
Tahun lalu, saat tugas banyak, ia jatuh sakit. Ia pun mengambil jalan pintas, yakni mencari joki untuk menyelesaikan tugas mencari dan mengkaji jurnal dengan topik dari dosen. ”Hasilnya tak memuaskan sih, karena akhirnya aku harus merevisi,” kata Nina.
Aku pernah mendapat upah dua kali lipat setelah selesai mengerjakan tugas kuliah salah satu mahasiswa. Dia puas dengan hasil pekerjaan saya.
Di awal pandemi Covid-19, justru Nina yang terjun menjadi joki tugas kuliah. Awalnya, ia merasa gabut karena tidak punya aktivitas. Iseng-iseng, dia mencari pekerjaan sampingan melalui media sosial. Di sana, ia menemukan banyak joki yang menawarkan jasa. Ia lalu mencoba menjadi joki untuk tugas yang sesuai dengan jurusan kuliahnya. ”Aku pernah mendapat upah dua kali lipat setelah selesai mengerjakan tugas kuliah salah satu mahasiswa. Dia puas dengan hasil pekerjaan saya,” ujar Nina (20), Minggu (19/7/2020).
Suatu ketika, ia pernah menceritakan pekerjaan sampingannya kepada ayahnya yang dosen. Bukannya memuji, tetapi sang ayah malah kecewa. ”Kata ayah, apa yang saya lakukan itu menyalahi etika akademis,” ujar Nina yang mengaku sudah bertobat tidak jadi joki lagi.
Seiring perkembangan teknologi komunikasi, para joki lebih leluasa menawarkan jasanya. Ketik saja frase ”jasa joki tugas” di beberapa aplikasi media sosial, maka aneka tawaran dari joki bermunculan. Tarif untuk jasa mereka mulai 2.000 per lembar sampai paket senilai jutaan rupiah. Harga tergantung jenis tugas yang dikerjakan.
Untuk mereka yang baru satu kali meminta jasa, sang joki biasanya menerapkan harga sesuai tarif. Jika sudah berlangganan, si joki akan memberi diskon sampai 20 persen. Sebaliknya, pemberi jasa, kalau puas, bisa memberi uang tips yang besarnya sama dengan tarif.
Rudy (19), mahasiswa jurusan ilmu politik di sebuah universitas di Surabaya, termasuk joki yang mempromosikan jasanya di media sosial. Rudy bekerja sama dengan Sari (19), mahasiswa psikologi di Jakarta yang dulu berstatus pacarnya. Sari gencar menawarkan jasa perjokian, Rudy yang banyak mengeksekusi pesanan. Mereka menggunakan Twitter dan Instagram. Tagar ”jokitugas”, ”jokikuliah” dipakai untuk memudahkan pencarian. ”Pekerjaan pertama yang aku kerjakan, pembuatan proposal,” jelas Rudy.
Mereka mulai beroperasi sejak Mei 2020 ketika perkuliahan sepenuhnya dilakukan secara daring akibat pembatasan sosial. Tugas pertama yang mereka peroleh adalah membuat proposal. Setelah itu, tugas-tugas lainnya terus mengalir, mulai dari membuatkan materi presentasi, video singkat, hingga proposal.
Untuk tugas membuat slide presentasi, Rudy membanderol Rp 3.000 per lembar. Proyek termahal sebesar Rp 400.000 ia peroleh dari seorang mahasiswa. ”Lumayan, dalam satu minggu pasti ada saja satu pekerjaan,” ujar Rudy yang mencari materi untuk menyelesaikan tugas dari klien dari dunia maya.
Selama pandemi, Rudy mengerjakan tugas-tugas dari kliennya di rumahnya di Bekasi. Kliennya bisa datang dari mana saja, mulai Jakarta, Depok, Tangerang, Malang, sampai Surabaya.
Joki senior
Jika Rudy, Sari, dan Nina masuk kategori joki baru, Herman (22), bukan nama sebenarnya, adalah joki senior dengan jam terbang tiga tahun. Proyek yang ia kerjakan bukan hanya tugas kuliah harian, melainkan sampai karya ilmiah dan skripsi.
Herman masuk ke dunia perjokian awalnya karena membantu dosen saat ia kuliah di sekolah keperawatan. Ia diberi tugas mengolah data, membuat sampel penelitian, dan menyusun laporan kegiatan ilmiah. Pengalaman itu ia gunakan untuk membuat kelas bimbingan gratis untuk adik-adik kelasnya. ”Namanya kelas bimbingan, pada akhirnya saya yang lebih banyak menuliskan karya ilmiah untuk orang lain,” katanya saat dihubungi di Yogyakarta, Senin (20/7/2020).
Setelah menyelesaikan skripsi, Herman dihubungi beberapa mahasiswa yang minta dibuatkan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan D-3 Keperawatan atau skripsi untuk mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan. ”Karena saya baru lulus dan belum mendapat pekerjaan, saya menerima dua tawaran itu,” ujarnya.
Ia mengerjakan tugasnya secara menyeluruh, mulai dari mencari topik karya ilmiah, membuat konsep tulisan, hingga menulis dan mengedit karya ilmiah. Ia juga yang menyusun dan menjilid tulisan. Setelah menyelesaikan dua karya ilmiah itu, nama Herman berkibar sebagai joki. Hasilnya, permintaan jasa perjokian pun mengalir deras.
Kalau ditotal, saya sudah mengerjakan karya ilmiah untuk lebih dari 40 mahasiswa.
Puncaknya, Herman mendapatkan proyek besar, yakni menulis karya ilmiah untuk 35 mahasiswa sekaligus. ”Kalau ditotal, saya sudah mengerjakan karya ilmiah untuk lebih dari 40 mahasiswa. Saya mendapat upah mulai Rp 500.000 untuk satu karya ilmiah,” jelasnya.
Herman mengatakan, kebanyakan kliennya adalah karyawan yang melanjutkan kuliah di bidang keperawatan agar bisa naik pangkat atau promosi jabatan. ”Mereka kuliah hanya karena perlu ijazah, tetapi tidak punya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas,” katanya.
Merusak moral
Wakil Kepala Program Pendidikan Universitas Sanata DharmaHarris Setiajid mengaku beruntung belum pernah menjumpai kasus di mana tugas kuliah mahasiswa dikerjakan oleh orang lain. Namun, ia kerap menjumpai tugas mahasiswa yang menyalin tulisan milik orang lain melalui internet.
”Ketika menemukan kalimat ’bagus’ dari mahasiswa, yang menurut saya tidak mungkin hasil tulisan mahasiswa, saya akan mengecek melalui Google. Di situ terlihat bahwa tulisan itu memang bukan karya asli mahasiswa, melainkan menyalin tulisan milik orang lain,” ujar Harris.
Selama pandemi ini, jumlah mahasiswa yang menjiplak tugas meningkat.
Harris menggunakan aplikasi pengecekan untuk mengetahui apakah tulisan mahasiswa itu bukan jiplakan. Ia menetapkan batasan 20 persen ambang kemiripan paper ilmiah. Apabila ditemukan tulisan yang menyerupai karya orang lain, Harris akan menegur keras dan meminta mahasiswa itu mengulang mengerjakan tugas. Ia juga mengurangi nilai si mahasiswa. ”Selama pandemi ini, jumlah mahasiswa yang menjiplak tugas meningkat,” ujarnya, sedih.
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, menilai, praktik perjokian tugas kuliah merugikan masyarakat dan merusak moral bangsa. ”Jangankan minta tolong orang mengerjakan tugas, menjiplak tugas orang lain saja tidak boleh. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita tidak memahami maksud belajar itu adalah untuk kepentingan diri sendiri,” katanya.
Dampak dari perjokian tugas kuliah, menurut Doni, dapat merugikan masyarakat. Seorang mahasiswa kedokteran yang tidak berkompeten, lanjutnya, tetap bisa lulus karena tugasnya dikerjakan joki. ”Kalau praktik perjokian masih ada, layanan publik kita akan diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Orang-orang berkompeten justru tidak akan mendapatkan posisi tinggi karena sudah diisi oleh mereka yang tidak berkompeten tadi,” katanya.
Doni menganggap mahasiswa yang menggunakan jasa joki adalah mahasiswa yang tidak memahami makna integritas akademik yang seharusnya sudah dipelajari sejak ia duduk di bangku SD. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tujuan universitas adalah mencari kebenaran universal, bukan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.
Ia menyadari praktik perjokian makalah ilmiah sering terjadi di perguruan tinggi. Pelakunya tidak hanya mahasiswa atau mahasiswa pekerja yang ingin mendapatkan jabatan tinggi di kantor mereka. Orang yang membayar orang lain untuk mengerjakan tugas kadang-kadang justru berasal dari tenaga pendidik itu sendiri, seperti dosen dan rektor kampus.
Oleh karena itu, menurut Doni, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi praktik tidak terpuji ini. Selain itu, pihak kampus juga harus lebih aktif untuk melakukan pelacakan dan penilaian untuk mencegah plagiarisme dan memastikan tugas-tugas dikerjakan otentik oleh mahasiswa.