Sunyi Sepi, Indekos yang Ditinggal oleh Penghuni sejak Pandemi
Sejak pandemi Covid-19 melanda, banyak rumah indekos yang kehilangan daya hidupnya karena ditinggal para penghuni yang pulang kampung.
Pandemi Covid-19 membuat rumah-rumah indekos di sekitar kampus ditinggal para penghuninya ke kampung. Lingkungan indekos yang biasanya ramai kini sepi. Kapan penghuninya akan kembali? Sepertinya masih jadi tanda tanya besar.
Rumah-rumah indekos di permukiman sekitar kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, seperti kehilangan daya hidup. Rumah-rumah indekos yang biasanya ramai oleh penghuni itu, Selasa (14/7/2020), tampak sunyi.
Beberapa rumah indekos—terutama indekos untuk mahasiswi—bahkan ada yang tidak berpenghuni sama sekali. Hal itu terjadi setidaknya sejak Maret 2020 ketika kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai diterapkan dan kampus-kampus mengalihkan kegiatan perkuliahan tatap muka ke perkuliahan virtual.
Sejak saat itu, tempat kos saya sepi banget kayak kuburan. Dari 50-an penghuni kos, yang tetap tinggal di kosan tinggal 6 orang.
”Sejak saat itu, tempat kos saya sepi banget kayak kuburan. Dari 50-an penghuni kos, yang tetap di kosan tinggal enam orang. Sisanya pulang kampung. Enggak ada lagi yang main gitar atau ngobrol bareng-bareng,” ujar mahasiswa UIN yang memilih bertahan di Kos Berkah di Jalan Tarumanegara, Ciputat, Senin (14/7/2020). Alhamdulillah, seminggu terakhir, ada beberapa teman indekosnya yang kembali.
Karena indekos kekurangan penghuni, lanjut Sidik, suasananya jadi seram dan muram. Lampu tidak dinyalakan sehingga kamar dan lorong indekos bertingkat tiga itu jadi gelap. ”Pernah saya pulang ke kos malam-malam dan enggak ada orang sama sekali. Sepi, gelap, dan horor banget. Saya langsung balik kanan dan pulang ke rumah orangtua di Ulujami (Tangerang Selatan),” tambahnya.
Apa yang dirasakan Sidik ternyata dirasakan juga oleh lima penghuni indekos lain yang masih bertahan. Mereka takut tinggal di indekos yang sepi itu. ”Kami koordinasi terus lewat WA grup untuk tahu siapa yang akan tidur di kosan. Kalau ada temannya, kami baru tidur di sana. Tidurnya ngumpul di satu atau dua kamar supaya rame, ha-ha-ha,” tutur Sidik.
Bayangkan Bang, sejak sebelum Lebaran saya sendirian di sini. Saking kesepiannya hampir setiap malam minggu saya sewa PS (Play Station) dan manggil teman-teman ke kosan ini supaya ramai.
Melki, alumnus UIN Jakarta, lebih kesepian lagi. Di indekosnya di Kelurahan Cireundeu, hanya dia seorang yang tinggal. Sebelas teman lainnya memutuskan pulang kampung sejak Maret lalu.
”Bayangkan Bang, sejak sebelum Lebaran saya sendirian di sini. Saking kesepiannya hampir setiap malam minggu saya sewa PS (Play Station) dan manggil teman-teman ke kosan ini supaya ramai. Mereka main sampai pagi, saya tidur, ha-ha-ha,” ujarnya diiringi derai tawa.
Indekos yang ditempati Melki tampak temaram dan muram. Pintu-pintu kamar di indekos terkunci rapat. Sejak ditinggalkan penghuninya, pintu-pintu kamar tidak pernah dibuka. ”Sudah lebih dari tiga bulan. Mungkin di dalam kamar barang-barangnya sudah jamuran semua,” ujar Melki.
Dia bisa sedikit bernapas lega karena teman satu kamar dan seorang tetangga kosnya sudah kembali. Cuma, lanjut Melki, mereka juga masih kesepian. ”Saking sepinya, temanku bikin konten video Youtube tentang kos-kosan yang suasananya jadi horor,” tambahnya.
Sekitar 40 meter dari indekos yang dihuni Melki, ada beberapa rumah indekos dengan belasan atau puluhan kamar yang juga ditinggal penghuninya. Salah satunya adalah Wisma Muslimah Fahrani. Yenny, penjaga indekos, mengatakan, sejak lima bulan yang lalu, penghuni indekos berbondong-bondong pulang kampung.
”Sekarang dari 15 kamar, hanya satu kamar yang dihuni. Itu pun karena penghuninya kerja, bukan mahasiswa lagi,” ujarnya.
Meski ditinggal oleh penghuninya, indekos itu terawat kebersihannya. Yenny mengaku seminggu sekali ia membersihkan kamar-kamar yang ditinggal penghuninya diminta ataupun tidak. Setidaknya, pintunya dibuka agar kamar tidak lembab.
Dilematis
Fenomena rumah-rumah indekos yang ditinggal para penghuninya tidak hanya terjadi di kawasan kampus di Ciputat, tetapi juga di daerah-daerah lain, seperti Yogyakarta, Malang, dan Surabaya. Sebagian mahasiswa perantau yang meninggalkan indekosnya kini menghadapi dilema antara melepas atau mempertahankan kamar indekosnya.
Jika dipertahankan, berarti mereka mesti membayar uang sewa untuk kamar yang tidak mereka huni. Melepas kamar indekos juga ada risiko. Jika tiba-tiba kampus menggelar kembali kuliah tatap muka, mereka akan kerepotan mencari kamar kos baru.
Terus terang aku ragu, mau cabut dulu atau enggak. Kalau tetap ngekos, berarti aku tiap bulan harus tetap bayar kos.
”Terus terang aku ragu, mau cabut dulu atau enggak. Kalau tetap ngekos, berarti aku tiap bulan harus tetap bayar kos. Padahal aku lagi tinggal di rumah ortu di Jakarta. Gimana coba,” ujar Syarifah Utami yang biasa dipanggil Ipeh, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Brawijaya, Malang, Jumat (3/7/2020). Ia meninggalkan indekosnya sejak Maret ketika pemerintah akan menerapkan PSBB.
Mau melepas tempat indekosnya sekarang di kawasan Sumber Sari Kota Malang, Ipeh tidak rela. ”Soalnya tempat kosku itu enak dan dekat dari kampus. Bapak kosnya juga baik. Kalau dilepas, belum tentu dapat tempat kos seperti ini lagi,” kata Ipeh yang menghuni kamar kos itu sejak semester awal hingga sekarang semester ke-7.
Akhirnya Ipeh memilih memperpanjang sewa kamar indekos yang akan habis Juli ini. Itu berarti ia mesti menyiapkan uang Rp 7 juta untuk sewa indekos selama satu tahun. Untungnya, sang pemilik kos baik hati. Ia membebaskan uang sewa kamar dari Agustus-Desember 2020. Ipeh hanya diminta membayar uang muka Rp 1 juta dan membayar uang sewa kamar secara penuh mulai Januari 2021.
Meski demikian, ada beberapa kawan satu indekos dengan Ipeh yang memutuskan melepas kamarnya karena merasa berat membayar uang sewa untuk kamar yang mereka tidak tinggali. ”Temanku yang cabut itu memang kesulitan ekonomi. Aku maklum sih, kan kayak buang uang selama tiga bulan,” tambahnya.
Seperti Ipeh, Indira Maretta Hulu, mahasiswi Jurusan Teknik Biomedis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, memilih mempertahankan kamar indekosnya yang ia tinggalkan sejak Maret lalu. Indira tetap membayar uang sewa kamar Rp 1,5 juta per bulan.
”Beruntung pemilik kos memberi keringanan kepada kami dengan tidak menarik biaya sewa untuk periode Agustus sampai Desember 2020. Jadi kami hanya bayar kos sampai Juli saja. Januari baru mulai lagi. Diskosnya lumayan besar dan bisa meringankan beban orangtua,” ujar gadis asal Jakarta yang indekos di kawasan Mulyorejo, Surabaya, tidak jauh dari kampusnya.
Potongan uang indekos juga diperoleh Elang Pratama, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, yang memutuskan pulang ke Pondok Gede, Bekasi. Ia diminta membayar Rp 1 juta per bulan untuk mempertahankan kamar yang ia tinggalkan sementara. Biasanya uang sewa Rp 1,8 juta per bulan.
Urusan sewa indekos sudah terselesaikan. Lalu bagaimana dengan nasib barang-barang di kamar yang sudah tiga bulan ditinggalkan? Elang mengaku, ketika ia meninggalkan indekos beberapa bulan yang lalu, ia tidak membawa barang miliknya seperti beberapa baju dan buku. Namun, ia tidak khawatir karena kamarnya rutin dibersihkan oleh petugas indekos.
Sementara itu, Ipeh merasa aman meninggalkan indekos karena barang-barang di kamarnya ia bungkus dengan plastik. Hanya sepeda motor saja yang tidak dia bungkus plastik. Selain itu, ia menabur banyak kapur barus di lemari, kolong tempat tidur, dan di beberapa sudut kamar. Ia belajar dari pengalamannya ketika kamar yang ia tinggal mudik terkena air hujan yang bocor dari atap. ”Buku dan bajunya banyak yang rusak ketika itu,” katanya.
Kini, para mahasiswa perantau ini mengaku sudah kangen dengan kamar indekos mereka. Sayang, pandemi Covid-19 bukannya mereda, malah makin parah. Untuk sementara, kamar-kamar indekos mereka tetap dibiarkan sepi tanpa penghuni. (JOE/DNA)