Kerja Keras untuk Menurunkan Angka Tengkes di Tengah Pandemi Covid-19
Perlu kerja keras untuk menurunkan angka tengkes (stunting) di Indonesia yang masih tinggi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus tengkes (stunting) yang masih tinggi di Indonesia harus mendapat perhatian dan penanganan serius. Perlu kerja keras yang melibatkan banyak pihak untuk menekan angka tengkes di Indonesia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, pada 2018 prevalensi tengkes atau kondisi gagal tumbuh kembang anak akibat kurang gizi kronis di Indonesia sekitar 30,8 persen. Tahun lalu, prevalensi tengkes turun menjadi 27,7 persen. Meski terjadi penurunan, prevalensi tengkes masih tinggi karena rata-rata 1 dari 3 anak balita di Indonesia mengalami tengkes.
”Indonesia telah melakukan banyak hal sehingga angka stunting turun. Akan tetapi, adanya pandemi Covid-19 bisa meningkatkan lagi risiko (kenaikan) stunting. Jadi, perlu evaluasi agar penurunan angka stunting tetap bisa dipertahankan,” ujar Eddy Henry, Head of Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation, dalam acara KompasTalk lewat lewat Instagram Live @hariankompas bertajuk ”Demi Anak, Kenali dan Cegah Stunting”, Sabtu (11/7/2020).
Sumber lain yang hadir di acara ini adalah Mona Ratuliu, selebritas dan orangtua yang menaruh perhatian pada isu-isu pengasuhan anak. Bincang-bincang dipandu oleh wartawan harian Kompas, Deonisia Arlinta.
Tanoto Foundation merupakan lembaga filantropi yang terjun pada upaya peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Langkah yang diambil antara lain ikut serta dalam mengurangi angka tengkes di Indonesia. Lembaga ini bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, Bank Dunia, Unicef, dan lain-lain. Salah satu program yang dijalankan adalah membantu pola pengasuhan dan pencegahan tengkes lewat Program Keluarga Harapan. Program ini bekerja sama dengan Kementerian Sosial.
Sejauh ini, Presiden Joko Widodo menargetkan angka tengkes di Indonesia pada 2024 menjadi 14 persen atau turun sekitar 13 persen dari angka tengkes 2019. Menurut Eddy, target itu tergolong ambisius. Namun, apa pun harus dilakukan untuk menurunkan angka tengkes. Jika tidak, persoalan ini akan merugikan negara sebanyak 3 persen dari GDP per tahun. Selain itu, Indonesia akan kesulitan mendapat manfaat dari bonus demografi yang puncaknya pada 2030-2040 karena sumber daya manusia yang ada kurang berkualitas.
Untuk mencapai target ambisius itu, lanjut Eddy, pemerintah harus memasukkan persoalan tengkes sebagai prioritas penting. Pemerintah juga perlu menyinergikan semua pihak yang ikut dalam kerja penurunan tengkes, termasuk melibatkan peran orangtua dalam mengoptimalkan 1.000 hari pertama kehidupan anak.
Kasus tengkes tidak hanya dialami anak-anak di pedesaan yang jauh dari akses layanan kesehatan, tetapi juga dialami anak-anak yang tinggal di kota. Eddy mencontohkan, di DKI Jakarta saja ada sekitar 35.000 anak balita yang mengalami tengkes. Sepertiganya berada di wilayah Jakarta Timur.
”Itu terjadi karena masih banyak orangtua tidak mengetahui secara benar bagaimana menjaga kesehatan ibu selama masa kehamilan. Bisa juga ketika anak lahir, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan tidak optimal, hingga pemberian makanan tambahan setelah ASI eksklusif (MPASI) yang gizinya tidak seimbang. Jadi, banyak faktor yang perlu disadari dalam isu stunting di masyarakat,” ujar Eddy.
Eddy menekankan pentingnya memaksimalkan masa pertumbuhan anak hingga usia lima tahun. Sebab, usia ini merupakan usia emas (golden age) sehingga harus dipastikan otak anak berkembang secara baik dan fisik tumbuh baik. ”Tak ketinggalan menstimulasi anak secara baik,” kata Eddy.
Pencegahan tengkes, lanjut Eddy, bisa dilakukan dengan dua intervensi, yakni intervensi gizi spesifik seperti pemberian makanan bergizi, ASI. Namun, itu hanya menyelesaikan 30 persen dari kasus. Sejumlah 70 persen lagi perlu intervensi gizi sensitif, antara lain menguatkan pola hidup sehat dan bersih.
Gagal tumbuh kembang
Eddy menjelaskan, tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh kembang anak yang dapat dilihat dari kondisi fisik dan perkembangan otak akibat kekurangan gizi kronis dan lama. Dugaan awal tengkes bisa dilihat dari anak baru lahir dengan panjang kurang dari 48 sentimeter dan berat badan kurang dari 2,5 kilogram.
”Semakin anak bertumbuh, ternyata pertumbuhannya enggak sesuai dengan standar usia. Nah, dengan melihat pertumbuhan anak di bawah dua standar deviasi, seharusnya sudah bisa diduga stunting. Dilihat juga perkembangan otak, yang semestinya di usia sampai 5 tahun sudah berkembang sekitar 80 persen. Kalau ternyata enggak sesuai, misalnya lambat belajar dan respons terhambat, perlu diwaspadai. Jadi, orangtua atau pengasuh perlu jeli melihat respons anak,” tutur Eddy.
Mona Ratuliu, selebritas yang juga penulis buku Digital ParenThink, sepakat isu tengkes perlu disosialisasikan terus kepada masyarakat. Pasalnya, banyak orang belum paham mengenai tumbuh kembang anak dan gizi.
Orangtua, lanjut Mona, perlu disadarkan bahwa mereka mengemban tugas yang penting. Orangtua membesarkan anak-anak secara baik, termasuk memastikan tumbuh kembang yang berkualitas sejak dini, bukan hanya untuk kepentingan keluarga, melainkan juga untuk membantu negara menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul.
”Orangtua itu harus jadi makhluk pembelajar dengan mencari informasi terbaru. Di saat pandami, ketika orang khawatir ke dokter, teknologi digital bisa dipakai orangtua untuk belajar soal pengasuhan yang baik. Ini mesti dimanfaatkan betul supaya orangtua semakin kreatif dalam mengasuh anak sejak usia dini,” ujar Mona, ibu empat anak ini.
Selain orangtua, menurut Eddy, remaja juga perlu mendapat edukasi soal tengkes. Pasalnya mereka adalah calon orangtua di masa depan. Remaja perlu dibiasakan hidup sehat, memahami kesehatan reproduksi, dan tumbuh kembang anak yang berkualitas. Remaja laki-laki juga perlu disadarkan perannya kelak sebagai ayah yang mau mendukung istri dan gerakan ASI eksklusif enam bulan.
”Ini aku baru tahu lagi ternyata untuk remaja juga perlu disiapkan supaya nanti jadi orangtua bisa menghasilkan generasi berikut yang berkualitas,” ujar Mona merespons penjelasan Eddy.