Mencari Peluang, Hasilkan Uang
Pandemi virus korona membuat mahasiswa kehilangan pekerjaan sampingan. Tak mau berpangku tangan, mereka lalu mencari peluang untuk mendapat penghasilan.
Sebelum pandemi, banyak mahasiswa mencari penghasilan tambahan di sela-sela kuliah. Sayangnya, semua terhenti saat pandemi. Mereka yang baru lulus kuliah pun kesulitan mencari kerja. Berbagai usaha dilakukan, mulai dari membuka angkringan, menjual kue, sampai berjualan masker dan baju hazmat. Hasilnya, mereka bisa mendapat penghasilan yang lumayan, bahkan bisa menambah uang tabungan.
Rizki Hafidz Muntaz yang baru lulus dari Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Universitas Sebelas Maret, Solo, sukses mencuri peluang dengan menjual alat kesehatan. Pemuda asal Jakarta itu awalnya sering melihat berita di media yang memperlihatkan banyak pihak kesulitan mencari alat pelindung diri (APD), seperti masker dan baju hazmat.
”Bulan Februari, kebetulan uang sudah habis. Enggak pengin merepotkan orangtua lagi. Saat baca berita banyak orang dan instansi cari alat kesehatan, saya berpikir gimana kalau mencoba jualan masker,” ujar Hafidz pada awal Juni lalu.
Kebetulan, kakak kandung Hafidz menjadi dokter. Ia lalu berkonsultasi dengan kakaknya dan mendapat dukungan. Kakaknya memberi petunjuk kepada Hafidz mengenai APD yang memenuhi syarat Kementerian Kesehatan.
Hafidz segera mendatangi pabrik tekstil yang berada di Solo dan Karanganyar, Jawa Tengah. Di dua wilayah itu banyak terdapat industri tekstil, salah satunya PT Sritex yang sudah terkenal hingga mancanegara. ”Saya naik sepeda motor keliling ke pabrik tekstil. Satu-satu saya tanya, apakah mereka membuat masker dan baju hazmat,” kata Hafidz yang lulus pada Mei 2020.
Dia mendapat modal usaha dari orangtuanya sebesar Rp 8 juta. Dalam menjalankan usahanya, Hafidz beberapa kali mengirim contoh barang kepada kakaknya untuk diperiksa. Setelah disetujui, ia langsung memesan ke pabrik untuk memenuhi pesanan pembeli. Hafidz menawarkan APD lewat grup Whatsapp.
Saya naik sepeda motor keliling ke pabrik tekstil. Satu-satu saya tanya, apakah mereka membuat masker dan baju hazmat.
Jalur pertemanannya luas karena ia pernah menjadi Ketua BEM Fakultas Pertanian tahun 2018. Tak hanya kepada teman, Hafidz juga rajin melihat media sosial untuk mencari tahu lembaga yang butuh APD. ”Sejak itu order mulai masuk. Mulai dari puluhan, ratusan, sampai puluhan ribu unit,” katanya.
Untuk membantu memenuhi order yang bertubi-tubi, ia mengajak seorang temannya. Dengan cara itu, order terlayani, ujian skripsi secara daring juga sukses. Selama 2,5 bulan berbisnis alat kesehatan, Hafidz mendapat omzet sekitar Rp 100 juta. ”Lumayan, bisa buat nabung, he-he-he,” ujar Hafidz.
Kini, ia tak memikirkan untuk bekerja kepada orang lain. Pengalaman menjual masker dan baju hazmat makin menguatkan tekadnya untuk berwirausaha, bukan bekerja di perusahaan orang lain.
Upaya bisa segera mandiri dan tak ingin hanya menggantungkan diri kepada perusahaan pencari kerja juga membuat Sonia Setyawati dan enam kawannya membuka usaha berjualan sate Jepang. Sonia dan satu temannya baru lulus kuliah, sedangkan empat lainnya sudah bekerja, tetapi mengalami pemotongan gaji karena perusahaan terkena imbas pandemi Covid-19.
”Sate itu relatif mudah pembuatannya dan rasanya enak. Kami pakai bumbu dari kecap,’’ ujar Sonia soal pilihan jenis makanan yang ia jual bersama kawannya.
Harga per porsi (10 tusuk) Rp 27.5000, jika ditambah lontong harganya tambah Rp 5.000. Usaha yang mereka buka sejak satu setengah bulan lalu itu bermodal Rp 3,5 juta hasil patungan untuk membeli ayam, aneka bumbu, dan beras untuk membuat lontong.
Alat panggang, meja, dan gas meminjam dari Jovita, teman satu tim. ”Usaha kami baru mulai. Pembelinya sebagian kawan-kawan sendiri, lalu melebar ke saudara mereka,” ucap Raynita, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta.
Sebenarnya, Mei lalu, mereka pernah berdagang di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Pembeli mulai datang, tetapi muncul larangan berjualan agar tak memicu kerumunan orang. Kondisi itu membuat mereka hanya menerima pesanan dari rumah. Rata-rata tiga hari sekali ada yang memesan 50-75 tusuk, lalu diantar kepada pemesan lewat ojek daring.
Tukang masak utama adalah Jovita, sedangkan teman lain bergiliran membantu mengolah daging ayam sampai menjadi sate siap dibakar. Meski belum menikmati keuntungan besar, kelompok anak muda itu yakin kelak usaha mereka akan berjalan baik karena banyak orang mencari sate Jepang.
Menambah penghasilan
M Bagus Al Rafi, mahasiswa Jurusan Marketing Communication Universitas Bina Nusantara, Jakarta, juga tak mau lama menganggur. Cowok yang sejak awal kuliah menjadi tenaga pemasaran Binus itu otomatis kehilangan pendapatan dari honor menjadi tenaga pemasaran di Binus dan toko sandal. ”Semua sekolah tutup. Akibatnya, kami tak bisa lagi ke sekolah untuk promosi universitas. Mal juga tutup, toko sandalnya ikut tutup,” tutur Rafi pada Senin (6/7/2020).
Dari hasil bekerja di dua tempat itu, setiap bulan setidaknya anak pertama dari tiga bersaudara itu punya penghasilan tak kurang dari Rp 3,5 juta. Meski orangtuanya mampu memberi uang saku, Rafi memilih bekerja sambil kuliah agar tak minta uang bulanan kepada orangtua.
Ketika tak punya pekerjaan sampingan, Rafi memilih berjualan kue kering dan aneka penganan lain. ”Saya bekerja sama dengan Reston, pemilik kafe CLBK di Jatiwarna, Bekasi. Di kafe itu, saya berjualan kue kering, burger, kentang spiral, dan lainnya. Untuk pelengkap minum kopilah,” kata alumnus SMA 1 Nasional Bekasi tersebut.
Selain berjualan di kafe, Rafi juga menjual kue kering dengan harga Rp 10.000 per buah secara daring. ”Lumayan laku. Malahan lebih banyak orang beli kue kering lewat daring daripada makan di tempat. Burger, kentang goreng, kentang spiral yang harga rata-ratanya Rp 10.000 lebih laku di kafe,” ujarnya.
Usaha yang baru ia buka awal Juni lalu itu mulai memberi uang tambahan bagi dirinya dan saudaranya yang membantu membuat kue. Dari modal usaha sekitar Rp 2 juta, sekarang ia mulai meraup pendapatan kotor ratusan ribu rupiah per hari.
Angkringan
Keni, mahasiswa Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKPN, Yogyakarta, dan kawannya, Ida Bagus Surya Srinayana, juga tak mau diam saat berada di kampungnya, Negara, Bali. Begitu kampusnya ditutup sejak akhir Maret, ia pulang ke Negara. Oleh karena kuliah secara daring tak begitu padat, ia dan Surya membuka angkringan karena tak ingin lagi minta uang kepada orangtua.
”Malu rasanya. Sejak lima bulan lalu memang sudah enggak minta uang lagi kepada mama. Waktu di Yogyakarta saya jualan baju preloved, tetapi sekarang kurang jalan,” ujar Keni.
Keni dan Surya memulai berdagang dengan modal Rp 800.000 hasil patungan berdua untuk belanja makanan dan minuman. Alat kerja, seperti meja dan bangku, memakai milik temannya. Selain menjual nasi (seperti nasi kucing), lauk, sosis goreng, dan lainnya, Keni juga menjual aneka minuman. Harga nasi Rp 5.000 per bungkus, lauk dijual Rp 2.000. Ia hanya menjualkan nasi dengan lauk karena dua jenis makanan itu dipesan dari seorang ibu yang biasa berjualan bunga di pasar. ”Saya kerja sama dengan ibu itu sekalian membantunya,” lanjutnya.
Angkringan ia buka mulai petang sampai pukul 21.00. Keni dan keponakannya melayani mereka dari Senin sampai Sabtu. Kebanyakan pelanggannya anak muda yang senang bermain basket hingga malam hari. Seusai main basket, mereka makan dan minum di warung Keni. Pendapatan bersih satu malam berkisar Rp 100.000-Rp 200.000. Keni dan Surya berencana meneruskan usaha itu walau nanti Keni akan kembali ke Yogyakarta untuk kuliah.
Banyak peluang yang bisa dicari di tengah pandemi ini. Dengan memulai berwirausaha, mereka sudah menambah pengalaman apabila ingin membesarkan usahanya.