logo Kompas.id
MudaKetika K-Popers Bersekutu...
Iklan

Ketika K-Popers Bersekutu dengan Gerakan Black Lives Matter

Ketika penggemar K-Pop bersekutu dengan gerakan Black Lives Matter, perlawanan atas anti-rasisme menjadi lebih bertenaga.

Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/C2_grCpMTO-fAH7QFW93eOdkvmo=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F7d14f015-19c7-49bf-a5df-21e8dbc52a92_jpg.jpg
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Ratusan penggemar grup K-Pop, TVXQ, mengantre untuk masuk ke area konser bertajuk ”TVXQ Concert Circle #With” di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Sabtu (31/8/2019).

Gemerlap K-Pop semakin cemerlang beberapa tahun terakhir ini. Tak hanya ekspansi dalam industri musik global, K-Pop juga menelurkan jutaan penggemar berdedikasi. Dalam senyap, basis penggemar K-Pop tumbuh menjadi kekuatan besar yang bahkan bias ikut  mengguncang dunia politik global.

Tingkah laku para penggemar K-Pop atau K-Popers menjadi sorotan di tengah riuhnya gerakan Black Lives Matter (BLM) pada pertengahan tahun ini. Mereka muncul sebagai sekutu penting dari gerakan BLM yang tengah bergelora di Amerika Serikat.

Seperti yang diketahui, warga AS menggelar rentetan aksi unjuk rasa di sejumlah negara bagian menyusul kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam, di bawah dengkul seorang polisi berkulit putih pada 25 Mei 2020. Para K-Popers pun berusaha membantu menjaga keselamatan para pengunjuk rasa dari kekerasan polisi.

Salah satunya dengan membanjiri aplikasi polisi iWatch Dallas dari Dallas Police Department, Texas, pada 1 Juni 2020. Dallas Police Department sebelumnya meminta  masyarakat agar melaporkan aksi unjuk rasa BLM yang dinilai ”ilegal” melalui aplikasi iWatch Dallas secara anonim.

https://cdn-assetd.kompas.id/Rl9po3XjUFAp-yHKnXgqqxEUkj8=/1024x641/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_10316029_2_0.jpeg
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktor asal Korea Selatan, Lee Min Ho, menghibur para penggemarnya dalam Lee Min Ho Global Fan Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Sabtu (23/3/2013). Penampilan salah satu bintang K-Pop yang populer lewat film Boys Before Flowers tersebut merupakan yang pertama kali di Indonesia.

K-Popers membanjiri aplikasi itu dan akun Twitter Dallas Police Department dengan berbagai konten, seperti video artis yang direkam penggemar (fancams), video penampilan idola, atau meme. Padahal, selama ini, K-Popers dianggap menyebalkan karena tingkah laku itu di media sosial, terutama Twitter. Namun, kali ini respons warganet berbeda.

”Penggemar K-Pop membuat aplikasi the Dallas Police Department crash dengan mengirim fancams sebagai spam. Ternyata aplikasi ini digunakan untuk melaporkan para pengunjuk rasa dan mereka baru saja membuatnya crash,” cuit seorang pengguna bernama @itskeyon di Twitter.

K-Popers juga memobilisasi gerakan untuk beradu tagar dengan pihak yang mengkritik gerakan BLM di sejumlah platform media sosial. BLM sendiri merujuk pada gerakan menghapus diskriminasi sosial, ekonomi, dan politik terhadap masyarakat kulit hitam dan menyamakan kedudukan mereka dalam hierarki sosial.

Selain BLM, gerakan bertagar AllLivesMatter (merujuk pada seluruh ras), #BlueLivesMatter (merujuk pada keselamatan polisi), dan #WhiteLivesMatter (merujuk pada ras kulit putih) kembali bermunculan di Twitter dan Instagram. Tiga gerakan ini dianggap tidak sensitif terhadap diskriminasi kepada orang kulit hitam. Apalagi, struktur sosial selalu menempatkan orang kulit putih sebagai ras terbaik.

Untuk membendung tiga gerakan itu, K-Popers membanjiri timeline di sejumlah akun media sosial dengan tagar serupa. Namun, mereka menyertakan gambar atau video fancams, gambar artis, atau meme. Hal ini dilakukan agar pencarian tiga tagar itu tidak memunculkan gambar dan pesan yang merujuk pada gerakan anti-BLM.

K-Popers dengan semangat ikut mengumpulkan dana untuk BLM dan membantu komunitas orang kulit hitam. Penggalangan dana yang paling menonjol dilakukan oleh organisasi dari Army, nama penggemar grup BTS, bernama One In An Army, yang berhasil menggalang dana sebesar satu juta dollar AS untuk BLM, sehari setelah BTS mengumumkan donasi pada 6 Juni 2020.

Tak sampai di situ. K-Popers, bersama pengguna TikTok, kemudian menyerbu kampanye Presiden AS Donald Trump di Tulsa, Oklahoma, pada 20 Juni 2020. Trump belakangan semakin disorot karena cuitannya di Twitter menyiratkan dukungan terhadap rasisme dan kekerasan terhadap pengunjuk rasa BLM.

Menjelang kampanye di Tulsa, Trump mengklaim telah menerima kabar akan ada satu juta pendukung yang datang. Namun, K-Popers dan pengguna TikTok ternyata mendorong warganet untuk mendaftar, tetapi kemudian tidak menghadiri kampanye itu. Alhasil, jumlah pendukung yang datang bahkan tak sampai 19.000 orang.

https://cdn-assetd.kompas.id/G3NBZ64I9FXrlwBIzKHvUPRvxXU=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2FTrump-Rally_1594197317.png
REUTERS/LEAH MILLIS/FILE PHOTO

Seorang pendukung Presiden AS Donald Trump merekam video dengan telepon genggamnya dari atas arena stadion yang sepi saat Trump sedang berpidato dalam kampanye pemilihan ulang pertamanya setelah wabah penyakit Covid-19 di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, AS, pada 20 Juni 2020.

Manajer kampanye Trump, Brad Parscale, hanya berkomentar, insiden itu menunjukkan warganet tidak mengetahui cara kerja kampanye Trump. Selain itu, timnya tidak pernah mempertimbangkan pendaftaran palsu itu.

Beberapa pejabat legislatif, yang memusuhi Trump, balik mengapresiasi aksi para warganet itu. ”Sekutu K-Pop, kami melihat dan menghargai kontribusi Anda dalam perjuangan untuk keadilan juga,” cuit Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS dari Demokrat.

Keberadaan penggemar

Sejumlah pihak mungkin menyoroti aksi K-Popers tersebut. Namun, orang yang mengenal K-Pop pasti sudah tidak asing bahwa mayoritas penggemar K-Pop bergabung dalam fandom (kepenggemaran) dari grup yang mereka sukai. Sudah bukan barang baru bagi mereka untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang kerap diorganisasi secara daring.

Iklan

Sejatinya, perusahaan hiburan tempat grup K-Pop bernaung memfasilitasi keberadaan fandom. Mereka memberi nama resmi fandom dan menjual atribut grup untuk penggemar guna mempererat ikatan. Sebut saja Yellowkies untuk penggemar Sechskies, V.I.P untuk penggemar BIGBANG, Blink untuk penggemar Blackpink, EXO-L untuk penggemar EXO, dan Once untuk penggemar Twice.

Keberadaan fandom K-Pop sangat aktif, baik di dunia nyata maupun dunia maya. K-Popers aktif mempromosikan idola dalam berbagai kesempatan. Mereka rajin membuat tagar setiap kali idola mereka berulang tahun, merilis lagu baru, dan melakukan streaming.

K-Popers juga berinteraksi dengan membuat kompilasi gambar dan video idola atau bahkan membuat kuis untuk bersenang-senang. K-Popers paling banyak bersosialisasi di Twitter.

Baca juga : Kekuatan Album K-Pop dan Produk-produk Turunannya (Bagian 1)

Di kehidupan nyata, mereka biasanya tidak segan menunggui idola ketika memiliki jadwal tampil hingga membanjiri idola dengan hadiah mahal. Namun, tren ini mulai bergeser sejak beberapa grup meminta agar hadiah diberikan kepada badan amal.

Sejak itu, K-Popers kerap mengorganisasi kegiatan sosial atas nama artis. Cakupan kegiatan juga meluas setelah K-Pop terkenal secara internasional. Blackjack, penggemar 2NE1, mendonasikan pohon mangga ke Sudan Selatan pada 2013 untuk merayakan konser grup, sedangkan Block B Club (BBC), penggemar Block B, berdonasi untuk membangun sumur di Kamboja pada 2015 guna merayakan debut grup.

”Para penggemar melakukan kegiatan seperti itu tidak hanya untuk amal lokal, tetapi juga sebagai cara mempromosikan bintang mereka. Sementara fandom K-pop dapat ”menciptakan gangguan” secara daring, mereka juga dapat mengarah pada bentuk-bentuk baru aktivisme sosial,” tulis Sun Jung dari National University of Singapore dalam sebuah laporan penelitian pada 2012.

Forbes menulis, saat ini jumlah penggemar Korean Wave, terdiri atas K-Pop, film, televisi, dan bahasa, telah mencapai 89,19 juta orang di seluruh dunia pada 2018 menurut Korea Foundation. Jumlah itu tumbuh 22 persen dari 73,12 juta orang pada 2017.

Tidak politis

Keterlibatan K-Popers dalam kegiatan sosial bukanlah hal yang mengejutkan. Akan tetapi, jurnalis The Korea Herald Hyunsu Yim menyoroti, aksi mereka dalam politik merupakan hal baru meskipun tidak semua K-Popers terlibat dalam gerakan itu.

”K-pop itu sendiri tidak progresif. Bahkan pada umumnya bersifat apolitis. Ini adalah penggemar K-pop internasional, yang sebagian besar adalah orang kulit berwarna, perempuan, dan LGBT, kelompok-kelompok yang sudah progresif,” cuit Yim di Twitter.

Dalam industri K-Pop, banyak idola yang berdiam diri terkait gerakan BLM, misalnya. Padahal, K-Pop sendiri banyak terpengaruh oleh musik dan budaya orang kulit hitam, seperti rap, R&B, hip hop, dan jazz.

Beberapa idola telah menyuarakan dukungan terhadap isu sosial di luar negeri, tetapi sering diam ketika membahas isu serupa yang terjadi di Korea Selatan. Salah satu faktor yang memengaruhi perilaku ini adalah ketakutan terhadap reaksi penggemar konservatif.

Faktor lainnya adalah agensi tempat mereka bernaung memiliki kontrol kuat terhadap citra dan opini idola. Akun Instagram Denise Kim, anggota grup Secret Number, ditutup setelah dia menyuarakan dukungan terhadap BLM.

Baca juga : Kesetiaan Penggemar terhadap K-Pop (Bagian 2)

Di tubuh fandom sendiri, perdebatan mengenai rasisme masih eksis. Banyak cerita yang menunjukkan penggemar K-Pop berkulit hitam mendapat diskriminasi dari fandom yang sama. Walhasil, mereka pun meninggalkan K-Pop.

Army, fandom BTS sendiri, memopulerkan tagar #BlackARMYSMatter dan #BlackARMYSEquality di Twitter pada 2018 ketika ada penggemar yang mengaku mendapat perlakuan rasis. Tagar itu kembali muncul pada akhir Mei lalu setelah insiden serupa muncul ketika ada perdebatan mengenai lagu satu personel BTS yang menyertakan pidato seorang pelaku kekerasan terhadap warga kulit hitam.

https://cdn-assetd.kompas.id/fdjolbCNw1L2MRGpJa93DO1fpLc=/1024x665/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2FKPOP_1594197040-e1594197133438.png
REUTERS/MIKE BLAKE

Para peserta dan penggemar K-pop berpartisipasi di KCON USA, sebuah konvensi budaya dan musik Korea Selatan terbesar di dunia, di Los Angeles, California, AS, pada 10 Agustus 2018.

CedarBough T Saeji, assistant professor tamu di Asian Languages and Cultures, Indiana University, Bloomington, sepakat, K-Popers yang terlibat dalam aksi BLM atau melawan Trump kebanyakan berasal dari komunitas termarjinalkan. Namun, ada hal yang perlu dilihat dari fenomena keterlibatan mereka dalam isu politik itu.

”Intisari sebenarnya dari kesuksesan penggemar K-Pop ini tidak selalu berarti kekuatan fandom K-pop, tetapi kekuatan orang-orang muda. Orang muda sekarang tahu bagaimana mengorganisasi sesuatu secara online. Mereka memiliki opini politik, tertarik pada politik, dan membuat perubahan politik,” tuturnya.

Terlepas dari hal itu, keterlibatan sebagian K-Popers dalam politik tidak bisa diremehkan karena ternyata bisa membuat perbedaan. Fandom ternyata berisi lebih dari sekadar penggemar yang obsesif. Yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana industri K-Pop mulai berbenah diri untuk menjadi lebih progresif agar tidak ketinggalan. (CNN/BBC)

Editor:
budisuwarna
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000