Jalan-jalan Virtual, Penawar Rindu Pelancong
Saat pandemi, perjalanan wisata banyak yang tertunda. Jalan-jalan secara virtual menjadi penawar rindu bagi para pelancong.
Bagi mereka yang hobi traveling, crisis Covid-19 pasti sangat menyiksa. Selama pandemi, hampir semua perjalanan tidak bisa dilakukan karena masyarakat dihimbau untuk di rumah saja. Tetapi, kini banyak kegiatan jalan-jalan secara virtual. Tubuh memang tidak kemana-mana, tetapi pikiran diajak bertualang mengunjungi tempat-tempat menarik.
Selama dua bulan terakhir, tawaran jalan-jalan virtual semakin menjamur. Komunitas Bersukaria Tour yang mengajak wisatawan domestik jalan-jalan mengenal seluk beluk Semarang. Ada juga Kesengsem Lasem yang mengajak peserta menyelami keindahan batik. Sedangkan, di Jakarta ada TelusuRI yang mengajak anak muda mengunjungi museum serta belajar sejarah Batavia.
Pada Minggu (21/6/2020) siang, komunitas Kesengsem Lasem bersama Traval.co mengajak peserta tur virtual mengunjungi Lasem, kota batik penghasil batik tiga negeri tertua di Indonesia. Selama dua jam perjalanan Kisah Batik Tiga Negeri Lasem, peserta diajak mengenal sejarah, asal usul, filosofi warna, makna motif dan fungsi batik untuk Indonesia.
Dengan menggunakan tampilan Google Earth, pembawa acara mengajak pesera tur melihat landskap Lasem dari sudut atas seperti pandangan mata dari seekor burung yang sedang terbang. Tampilan map kemudian diperbesar dan digantikan dengan video tur yang mengajak peserta memasuki lorong-lorong di Desa Karangturi, yang kaya dengan bangunan-bangunan ikonik gaya Pecinan. Selama perjalanan virtual itu, pencerita (story teller) memperkenalkan makna bangunan yang dilewati, tempat-tempat kuliner, hingga kebudayaan masyarakat setempat.
Video kemudian bergerak memasuki rumah-rumah batik yang bersejarah. Begitu sampai di rumah batik, peserta diajak bertemu dengan perajin batik Lasem, yaitu Renny Pricilla dari Rumah Batik Maranatha Ong’s Art, Ekawatiningsih dari Rumah Batik Lumintu, dan Rudi Siswanto dari Rumah Batik Kidang Mas.Perajin menjelaskan sejarah dan proses pembuatan Batik Tiga Negeri Lasem yang harganya bisa mencapai puluhan juta. Agar tidak bosan, kegiatan diselingi permainan interaktif dan pengalaman melipat kain tapeh (panjang) yang dipandu keluarga pembuat batik.
Ekawatiningsih dari Rumah Batik Lumintu mengatakan, ia merupakan generasi keenam keluarga yang berusaha melestarikan batik Lasem. “Kakek nenek saya dulu hanya membuat blangko (dasar pembuatan batik). Setelah kakek meninggal, sejak 1965 kegiatan membatik vakum, atau tidak ada proses membuat batik sama sekali. Setelah 50 tahun berlalu, saya baru mulai menghidupkan lagi usaha batik pada September 2016,” katanya.
Di awal usahanya Ekawatiningsih membuat batik yang berpola besar-besar atau lebih modern. Seiring berjalannya waktu, banyak wisatawan dari luar kota mempertanyakan ciri khas batik Lasem. Pertanyaan itu mengusiknya, sehingga ia mulai membuat batik tiga negeri Lasem. Selain motif alam, Ekawatiningsih juga membuat motif yang berasal dari ornamen bangunan rumahnya yang sudah turun temurun diwariskan dari nenek dan kakek.
Sementara itu, Rudi Siswanto dari Rumah Batik Kidang Mas mengatakan, ia sudah meneruskan usaha orang tua sejak 2014. Sejak puluhan tahun, rumah batik Kidang Mas selalu memproduksi batik dengan pakem lama. “Orang tua saya selalu mewanti-wanti agar batik yang kami buat ini melestarikan karya nenek moyang. Saya bersyukur sampai sekarang produk batik kami masih diminati karena budaya memakai batik masih kental,” katanya.
Agni Malagina dari komunitas Kesengsem Lasem mengatakan, ide membuat tur virtual muncul karena selama pandemi para perajin batik merasakan dampak luar biasa. “Banyak rumah batik tutup dan terpaksa merumahkan para pembatik. Padahal, mereka hidup dari pendapatan harian. Kalau tidak kerja tidak bisa makan,” katanya.
Atas dasar itulah, Agni dan kawan-kawan membuat tur virtual dengan tema batik Lasem. Kegiatan dengan platform digital dipilih untuk mendekatkan Lasem dan batik Batik Tiga Negeri dengan anak-anak muda. “Kami ingin menggaet anak-anak muda dalam misi pelestarian, regenerasi, dan kami percaya anak-anak muda menjadi agen perubahan yang kelak mampu menjaga tradisi,” kata Agni.
Untuk virtual tur ini, Agni dan kawan-kawan menyiapkan materi selama enam pekan. Menurutnyatantangan yang dihadapi anak muda lebih menyukai berkunjung ke tempat-tempat yang sudah lebih terkenal. Oleh karena itu, tur virtual masih didominasi peserta dewasa. Selanjutnya, dalam membuat topik perjalanan, Kesengsem Lasem berencana membuat topik perjalanan yang disesuaikan dengan kebiasaan anak muda.
“Contohnya tur virtual tentang kopi lelet Lasem karena melihat anak-anak muda sekarang suka ngopi. Kopi lelet kini menjadi sesuatu yang dinikmati anak muda,” kata Agni.
Wisata sejarah
Setiap komunitas yang menawarkan jalan-jalan virtual bisa menentukan tema yang dianggap menarik. Salah satunya, Bersukaria Tour dari Semarang yang menawarkan beragam tema. Dua pekan lalu, mereka menawarkan wisata kuliner Suka Jajan ala Surabaya dan Semarang. Pekan berikutnya, mereka menawarkan virtual walking tour dengan wisata sejarah dengan tokoh Oei Tiong Ham (Radja Goela) dan Thomas Karsten.
Perjalanan wisata bertema Radja Goela berlangsung melalui Zoom pada Sabtu (20/6/2020) sore. Dengan dipandu pencerita Teresa Astrid, peserta diajak berkeliling Kota Semarang selama dua jam. Dengan gaya bertutur yang enak, Astrid mengisahkan asset-aset pengusaha Oei Tiong Ham yang tersebar di Semarang. Dia menggunakan bantuan Google Map dan beberapa foto Bersukaria saat berkunjung ke kediaman Oei Tiong Ham atau Istana Gergaji. Sesekali peserta bertanya melalui forum percakapan.
Keesokan harinya, Minggu (21/6) peserta jalan-jalan virtual diajak mengenal Thomas Karsten. Pencerita Alifati Hanifah menggunakan Google Map dan dokumentasi foto sebagai alat bantu visual dalam menyampaikan narasi tentang Karsten. Peserta datang dari berbagai daerah, seperti Semarang, Ponorogo, dan bahkan ada yang sedang berada di Berlin, Jerman.
Alifati memulai perjalanan dengan cerita asal usul dan latar belakang Karsten. Cerita berlanjut bagaimana Karsten bekerja sebagai arsitek di Belanda dan kemudian pindah ke Hindia Belanda, tepatnya Semarang di Indonesia.
Pemandu juga menjelaskan mengenai pemikiran, karya, dan kehidupan Karsten di Indonesia hingga akhir hayatnya. Gambar karya Karsten yang ditunjukan antara lain, Gedung Jiwasraya, Puri Wedari, dan Pasar Jatingaleh di Semarang.
Apabila peserta ketinggalan, pemandu menyempatkan diri untuk mengulang dan merangkum penjelasan. Selesai acara, pemandu dan peserta berfoto bersama dan mengucapkan salam perpisahan. Pemandu lalu mengirim nomor rekening dan QR Code ke aplikasi pesan peserta agar peserta dapat memberikan tip seikhlasnya.
Founder Bersukaria Tour, Dimas Suryo Harsonoputro mengatakan, sebagai perusahaan tur yang berorientasi pada sejarah, tur virtual seperti itu telah berjalan sejak pandemi terjadi. “Selain untuk menjaga brand, tur virtual ini tujuannya menjadi hiburan bagi orang yang ada di rumah kalau kangen jalan-jalan,” ujarnya, secara terpisah.
Bersukaria Tour memiliki dua program tur virtual, yaitu walking tour yang membahas topik sejarah yang luas, seperti topik Kerajaan Majapahit, dan open trip yang membahas topik dengan cakupan lebih kecil, seperti biografi Thomas Karsten itu.
Selama April hingga pertengahan Juni, Bersukaria Tour telah mengadakan sedikitnya 20 tur virtual. Menurut Dimas, rata-rata peserta yang mengikuti tur ini adalah anak muda dengan usia antara 25-34 tahun. Mereka berasal dari, antara lain Semarang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang, Bali, dan Jember. Rata-rata ada 20 orang peserta untuk setiap tur.
“Tur ini akan kami adakan terus walaupun sudah normal baru karena ternyata bisa menjangkau orang lebih luas. Jadi mereka bisa gunakan ini sebagai referensi sebelum berkunjung ke tempat wisata asli. Memang tidak bisa menggantikan real experience yang memainkan lima panca indera, seperti ramai pasar, bau becek. Tur virtual seperti ini kita hanya butuh inder mata sama telinga saja,” katanya.
Wisata sejarah juga ditawarkan oleh TelusuRI dari Jakarta. Pendiri TelusuRI Jovita Ayu menggandeng Revo Indonesia untuk jalan-jalan ke Museum Wayang di Kota Tua Jakarta. Jalan-jalan virtual yang berlangsung pada akhir pekan lalu itu diikuti oleh banyak siswa SMA yang sedang berlibur. Selain itu, TelusuRI juga menggandeng Jakarta Good Guide untuk acara Tur Virtual Menelusuri Ibu Kota Tempo Dulu untuk merayakan ulang tahun Jakarta yang ke-493.
“Sebelumnya, kami mempunyai program Sekolah TelusuRI yang pergi ke daerah-daerah. Karena pandemi, kegiatan itu tertunda, sehinga kita mikir apa ya yang bisa dilakukan. Dan, mulailah pada awal Mei, bikin jalan-jalan tur ke Kota Lama Semarang,” kata Jovita.
Menurut Jovita, uang yang diperoleh dari program jalan-jalan virtual itu disumbangkan untuk tempat wisata atau pelaku wisata yang terdampak pandemi. Misalnya, saat program jalan-jalan ke Raja Ampat, Papua, mereka berdonasi untuk Kampung Wisata Arborek.
“Animo peserta lumayan besar, bahkan dari feedback peserta, mereka meminta destinasi yang lainnya. Kami juga sekaligus mempromosikan destinasi wisata domestik. Sekarang ini alam sedang istirahat, nanti kalau sudah normal, pasti alamnya akan lebih cantik. Pokoknya, kita jangan sampai lost hope,” katanya.
“Sebelumnya, kami mempunyai program Sekolah TelusuRI yang pergi ke daerah-daerah. Karena pandemi, kegiatan itu tertunda, sehinga kita mikir apa ya yang bisa dilakukan. Dan, mulailah pada awal Mei, bikin jalan-jalan tur ke Kota Lama Semarang,” kata Jovita.
Menambah pengalaman
Selama masa pandemi, anak muda tidak kekurangan akal untuk menemukan cara baru untuk mencari kegiatan menarik dari rumah. Selain menjalani kegiatan kegemaran masing-masing, mereka bisa berjalan-jalan ke berbagai tempat pariwisata secara virtual.
Basa Nova Siregar (24), mahasiswa Fakultas Kehutanan ITB, sangat terkesan dengan virtual tur ke Lasem. “Acaranya menyenangkan sekali, banyak kejutan. Aku dapat banyak informasi penting, dan jadi sadar budaya kita kaya banget,” katanya.
Perjalanan virtual ini, menurut Basa mengingatkan perjalanan nyata yang pernah dilakukannya beberapa tahun lalu di Lasem. Melihat video perjalanan Lasem, mengingatkan ia ketika menelusuri lorong-lorong sederhana di Lasem. “Dulu aku fokus dengan wisata kuliner, jadi belum banyak mengunjungi rumah-rumah batik. Perjalanan virtual ini melengkapi pengalaman wisata aku sebelumnya,” kata Basa, yang menyaksikan tur virtual ini dari Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.
Basa menilai, perjalanan virtual ini sangat berguna untuk orang-orang yang gemar melakukan perjalanan. “Selama tidak bisa kemana-mana, orang yang hobinya traveling pasti bisa rusak mentalnya karena kangen melakukan perjalanan. Dengan tur virtual ini bisa mengobati rasa rindu akan perjalanan. Tur ini juga berguna untuk orang-orang yang sehari-hari beraktivitas di dunia pariwisata, jadi bisa menambah pengalaman,” katanya.
Hal senada disampaikan Ardelia Jesika Cungwin (22), mahasiswa arsitektur ITB juga merasa sangat senang bisa mengikuti tur virtual. “Acara ini asik karena beberapa bulan ini, saya di rumah saja. Dengan tur virtual ini, saya seolah-olah diajak jalan-jalan ke tempat yang jauh,” katanya.
Informasi yang dibagikan secara interaktif, menurut Ardelia sanga tberguna untuknya yang sedang menyusun skripsi tentang rumah-rumah gaya Pecinan. “Aku sangat tertarik dengan batik Lasem karena ini menjadi salah satu hal yang bisa menambah nilai Lasem,” jelasnya.
Jalan-jalan virtual juga bisa mengisi waktu di antara kejenuhan saat harus berada di rumah saja. Anastasia Dwirahmi (33) tertarik mengikuti kegiatan virtual walking tour yang diselenggarakan Bersukaria Tour. Pada Minggu (21/6), sejak pukul 15.30, ia memantau laptop dari rumahnya di Semarang demi mengenal lebih dekat Thomas Karsten, seorang arsitek asal Belanda yang berkarya di Indonesia sejak masa penjajahan.
“Aku ikut acara ini buat ngisi waktu luang di rumah dan kebetulan aku kenal penggagas acaranya. Aku sendiri juga praktisi sendiri di bidang pengelolaan cagar budaya dan pernah buat pameran soal Karsten itu,” kata Anastasia yang akrab disapa Ami, seusai acara.
Tur virtual ini merupakan pengalaman pertama bagi Ami. Selain murah, Ami cukup mengikuti acara bersama keluarga di rumah dengan santai. Ia juga dapat berkenalan dengan peserta tur lain dari daerah lainnya karena memiliki jangkauan yang luas.
Namun, ia juga tidak menampik tur virtual ini menawarkan pengalaman yang berbeda dengan tur langsung pada umumnya. Tur virtual tidak menawarkan pengalaman “asli”.
“Kurang ada interaksi langsung, padahal yang ditunggu dari sebuah tur itu cerita dan pengalamannya ya. Kita tidak bisa melihat lokasi secara langsung dan merasakan suasananya. Makanya tur virtual ini tantangannya ada di narasi, kalau storyteller kurang paham, sama saja kita bisa cari di Wikipedia,” katanya.
Saat jalan-jalan virtual dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, kita bisa mengumpulkan referensi destinasi wisata sebanyak-banyaknya. Siapa tahu saat kondisi sudah normal, kita bisa menikmati langsung keindahan tempat wisata.